Ibrahim Al-Kurani dan Aceh Abad ke-17 – Bagyanews.com
Connect with us

Kilas Balik

Ibrahim Al-Kurani dan Aceh Abad ke-17

Published

on

[ad_1]

Jika berbicara mengenai Aceh abad ke-16 hingga 17, salah satu tema yang menarik tentunya tentang keberagamaannya. Bahkan, barang kali tema itulah yang terlintas paling pertama di benak kita.

Aceh pada masa itu memang menarik karena pemikiran keagamaannya yang bercorak sufistik. Letak perbincangan hangatnya terletak pada pertentangan dua pemikiran tasawuf yang diwakili oleh pemikiran Hamzah al-Fansuri di satu sisi, dan Nuruddin al-Raniri di sisi yang lain. Al-Raniri yang menjabat sebagai mufti Kerajaan pada masa itu memandang bahwa tasawuf wujudiyyah atau wahdah al-wujud al-Fansuri merupakan ajaran yang menyimpang. Dia kemudian memberikan fatwa kesesatan paham tersebut dan mencap pengikutnya sebagai zindiq (orang-orang yang menyimpang dari agama) bahkan kafir.

Buku Kiai Said

Pada perkembangan selanjutnya, para pengikut al-Fansuri yang meyakini kebenaran ajaran wujudiyyah tetap bertahan mengikuti paham tersebut. Akibatnya, terjadi klaim kebenaran oleh kedua pihak hingga beberapa dekade lamanya.

Di tengah konflik pemikiran itu kemudian muncul Abdurrauf al-Singkili, seorang alim yang telah menghabiskan sekitar 19 tahun belajar agama di Jazirah Arab. Al-Singkili yang tidak ingin terlibat dalam konflik pemikiran tersebut, meskipun memiliki kapabilitas keilmuan yang sangat mendalam, memutuskan untuk hidup sebagai seorang nelayan biasa di pinggiran Aceh.

Singkat cerita, al-Singkili pun dikenal oleh Sultanah Shafiatuddin (1641-1675 M) dan ia dipercaya untuk menduduki posisi mufti Kerajaan setelah al-Raniri pulang ke tanah kelahirannya di India. Dalam menanggapi tasawuf wujudiyyah di atas, al-Singkili berusaha mencari jalan tengah. Meskipun dia tidak setuju dengan paham yang ada, dia tidak mengkafirkan para pengikutnya, apalagi sampai memberikan hukuman mati.

Di sinilah letak pengaruh Ibrahim al-Kurani dalam keberagamaan, bahkah politik, di Aceh. Kebijakan al-Singkili untuk tidak mengkafirkan paham wujudiyyah merupakan kebijakan yang diambilnya setelah membaca surat dari al-Kurani, salah seorang gurunya di Madinah dulu. Al-Kurani dikenal sebagai alim yang ahli di bidang fikih. Bukan hanya itu, dia juga merupakan wakil dari Ahmad al-Qusyasyi, seorang mursyid tarekat Syattariyah dan Qadariyyah di masanya.

Kembali pada masalah tasawuf, dalam sebuah risalah yang berjudul Ithaf al-Dzaki (Persembahan kepada yang Cerdas) al-Kurani memandang bahwa para pengikut aliran wujudiyyah tidak layak untuk mati. Risalah ini ditujukan kepada orang-orang yang Jawa yang pada saat itu terlalu terpengaruhi oleh pemikiran Ibnu ‘Arabi yang dibawa oleh al-Burhanpuri.

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Prof. Azyumardi Azra menyatakan bahwa sebenaranya tidak disebutkan siapa yang meminta al-Kurani untuk menulis risalah tersebut. Namun, dia berasumsi, sebagaimana yang disarankan oleh John, bahwa yang memintanya adalah al-Singkili. Alasannya adalah bahwa al-Singkili pernah beberapa kali meminta pendapat al-Kurani mengenai masalah-masalah yang terjadi di Aceh (Azra, 2016, hal. 248).

Pengaruh al-Kurani lainnya terhadap Aceh dapat dilihat dalam masalah fikih kepimimpinan. Aceh yang pada saat itu dipimpin oleh empat sultanah (ratu) berturut-turut, dimulai dari Sri Ratu Safiatuddin (1641-1675) hingga Sri Ratu Zainatuddin (1688-1699), membawa angin tak segar oleh penentangnya. Mereka kemudian bertanya kepada al-Singkili tentang kebolehan perempuan menjadi pemimpin.

Terhadap pertanyaan tersebut, al-Singkili tidak memberikan jawaban yang jelas. Beberapa orang kemudian menerkan alasan mengapa al-Singkili bersikap demikian. Salah satu pendapat menyatakan bahwa al-Singkili telah nyaman hidup di bawah kepempimpinan seorang Sultanah, sehingga dia tidak berani mengusiknya. Pendapat lain, termasuk Prof. Azyumardi Azra, menyatakan bahwa itulah salah satu pandangan dan sikap moderat al-Singkili.

Mengenai masalah ini, lagi-lagi dapat kita lacak keterpengaruhan al-Kurani di dalamnya. Semasa hidupnya, al-Kurani dikenal sebagai pribadi yang dekat dengan para ulama Mesir. Dalam pandangan ulama Mesir pada saat itu, bukanlah sebuah masalah apabila suatu negara atau kerajaan dipimpin oleh seorang perempuan. Permasalah utama dalam kepemimpinan adalah adil atau tidakkah seorang pemimpin, terlepas dari jenis kelamin yang dimilikinya.

Pendapat di atas diperkuat oleh Michael Laffan dalam bukunya Sejarah Islam Nusantara yang mencatat pendapat Mansur bin Yusuf, seorang pelayat dari Mesir yang pernah menginjakkan kaki di tanah Melayu, mengenai kepemimpinan Sultanah Safiatuddin. Oleh Mansur bin Yusuf, sang Sultanah dipuji sebagai “muslimah yang ramah dan sempurna”. Dia bahkan terkesan dengan komitmen orang-orang Jawa (baca: Melayu) pada Islam dengan menyerahkan kepemimpinan kepada seorang pemimpin yang adil dan bijaksana (Laffan, 2015, hal. 18).

[ad_2]

Sumber Berita

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved