Wayang kulit merupakan salah satu kesenian tradisi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Jawa. Lebih dari sekadar pertunjukan, wayang kulit dahulu digunakan sebagai media untuk permenungan menuju roh spiritual para dewa. Konon, “wayang” berasal dari kata “ma Hyang”, yang berarti menuju spiritualitas sang kuasa. Tapi, ada juga masyarakat yang mengatakan “wayang” berasal dari tehnik pertunjukan yang mengandalkan bayangan (bayang/wayang) di layar.
Wayang kulit diyakini sebagai embrio dari berbagai jenis wayang yang ada saat ini. Wayang jenis ini terbuat dari lembaran kulit kerbau yang telah dikeringkan. Agar gerak wayang menjadi dinamis, pada bagian siku-siku tubuhnya disambung menggunakan sekrup yang terbuat dari tanduk kerbau.
Wayang kulit dimainkan langsung oleh narator yang disebut dalang. Dalang tidak dapat diperankan oleh sembarang orang. Selain harus lihai memainkan wayang, sang dalang juga harus mengetahui berbagai cerita epos pewayangan seperti Mahabrata dan Ramayana. Dalang dahulu dinilai sebagai profesi yang luhur, karena orang yang menjadi dalang biasanya adalah orang yang terpandang, berilmu, dan berbudi pekerti yang santun.
Sambil memainkan wayang, sang dalang diiringi musik yang bersumber dari alat musik gamelan. Di sela-sela suara gamelan, dilantunkan syair-syair berbahasa Jawa yang dinyanyikan oleh para pesinden yang umumnya adalah perempuan. Sebagai kesenian tradisi yang bernilai magis, sesaji atau sesajen menjadi unsur yang wajib dalam setiap pertunjukan wayang.
Sesajian berupa ayam kampung, kopi, nasi tumpeng, dan hasil bumi lainnya, serta tak lupa asap dari pembakaran dupa selalu ada di setiap pementasan wayang. Tapi, karena banyak yang menganggap sesajian tersebut merupakan suatu hal yang mubazir, belakangan ini sesajian dalam pementasan wayang juga diperuntukkan bagi penonton dalam bentuk makan bersama.
Wayang kulit merupakan kekayaan nusantara yang lahir dari budaya asli masyarakat Indonesia yang mencintai kesenian. Setiap bagian dalam pementasan wayang mempunyai simbol dan makna filosofis yang kuat. Apalagi dari segi isi, cerita pewayangan selalu mengajarkan budi pekerti yang luhur, saling mencintai dan menghormati, sambil terkadang diselipkan kritik sosial dan peran lucu lewat adegan goro-goro. Tidak salah jika UNESCO mengakuinya sebagai warisan kekayaan budaya Indonesia yang bernilai adiluhung. [AhmadIbo/IndonesiaKaya]