Boen Hian Tong yang kini lebih dikenal dengan nama Perkumpulan Sosial Budaya “Rasa Dharma” ini merupakan perkumpulan sosial budaya peranakan Tionghoa tertua di Semarang bahkan bisa jadi di Indonesia yang masih aktif hingga saat ini. Pada tanggal 9 Februari 2021 lalu, perkumpulan ini berusia 145 tahun. HUT-nya baru saja diperingati bersamaan dengan hari raya Cap Go Meh 2572, penggal akhir bulan Februari lalu.
Disigi dari beberapa pustaka, tercatat, Boen Hian Tong berdiri pada tanggal 15 Cia Gwee Imlek 2427 pada malam Cap Go Meh (Shi Wu Jie) atau bertepatan dengan tanggal 9 Februari 1876 di sebuah rumah di Gang Gambiran.
Pendirian komunitas ini diprakarsai oleh Luitenant de Chinezen Tan Ing Tjong bersama beberapa tokoh Tionghoa di Semarang seperti; Be Bie Siang, Liem Kiem Ling, Tan Tjong Tien, Auw Yang Djie Kiauw, dan Oen Tiauw Kie sebagai dewan pendiri Boen Hian Tong (BHT).
Di tahun 1876 itu jugalah pada akhirnya ‘vereneeging’ (perkumpulan) ini mendapat pengakuan dan hak ‘rechtspersoon’ dari pemerintah Belanda ketika itu.
Perkumpulan yang bermarkas di Jalan Gang Pinggir, Nomor 31-31A, Semarang, ini memiliki kisah panjang dan ikut mewarnai sejarah kaum Tionghoa di Semarang. Gedung Rasa Dharma (Boen Hian Tong) ini juga merupakan salah satu tempat persemaian akulturasi budaya.
Ketua Boen Hian Tong, Harjanto Halim, memaparkan makna Boen Hian Tong bila dijabarkan, Boen berarti budaya atau kesenian, Hian berarti keindahan, Tong berarti rumah. Jadi terjemahan bebasnya sebagai rumah atau perkumpulan untuk berkesenian atau dapat diartikan juga dengan perkumpulan kaum budayawan.
Awal didirikannya, terang Harjanto, kumpulan ini bertujuan mempererat tali persaudaraan dengan jalan mengembangkan seni tetabuan Tionghoa, karena pada waktu itu, musik Barat waktu itu belum begitu dikenal di kalangan etnis Tionghoa. Musik Lam Kwan biasanya yang dimainkan secara rutin setiap tanggal 1 dan 15 Imlek.
Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini
Meskipun mula-mula didirikan sebagai klub hiburan bagi anggautanya, , dengan memainkan Lam Kwan, lambat laun perkumpulan seni budaya ini berkembang , dalam kalangan yang lebih luas dengan memberikan pertolongan dan bantuan pada anggota-anggotanya yang tertimpa kesusahan. Pada perkembangannya Boen Hian Tong yang semula perkumpulan berkesenian bermetamorfosa menjadi perkumpulan sosial dan budaya.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo punya pengalaman yang mengesankanketika suatu kali datang ke Rasa Dharma diluar ekspektasinya ternyata di perkumpulan Boen Hian Tong yang sudah berusia ratusan tahun ini pengurusnya komplit, ada yang bermata sipit, melotot, bahkan ada yang kudungan (maksudnya –berjilbab).
Kemudian di dalam gedung di altar utama persembahyanagan ada papan Sin Ci (papan silsilah) Gus Dur yang terukir tulisan KH Abdurrahman Wahid dalam aksara Hanzi kalimat; ‘Yin Hua Zhi Fu, Fu Ruo Guo Zhi’” yang artinya, “Bapak Tionghoa Indonesia, Guru Bangsa, Pendukung Minoritas”.
Menurut Ganjar Pranowo, ini benar-benar luar biasa dan membuatnya merinding. Betapa seorang Gus Dur itu betul-betul bisa menjadi jembatan, kalau ini menghubungkan dua tempat. Menjadi lem kalau ini harus merekatkan. “Gus Dur bisa melegakan, membuat semua orang ayem, tenang dan ora gelutan,” ujar Gubernur Jateng suka cita.
Maka tidak hanya Sincinya saja, lanjut Ganjar, tetapi nilai-nilai yang ditunjukkan di situ. Di sRasa Dharma tidak ada ada aktor-aktor yang mengibarkan bendera merah putih dengan teriak-teriak. Menyampaikan pesan Bhinneka Tunggal Ika tanpa harus teriak-teriak, dan juga menyampaikan pesan kemanusian dengan asik-asik aja.
Ganjar Pranowo mengaku lebih terkesan lagi ketika dipaksa duduk untuk bersama-sama menikmati makanan yang disediakan. Dari kuliner saja kita bisa bercerita bagaimana akulturasi itu berjalan. Sebagai anak bangsa suasana ini membuat saya merasa mungkin ini yang dimaksud para pendiri bangsa agar kita berindonesia,.
Harjanto Halim, juga mengakui kondisi perkumpulan mulai memudar. Namun, dia masih tetap optimistis dengan organisasi yang dipimpinnya itu. Saat ini, ada sekira 500 anggota perkumpulan Rasa Dharma.Pasang surut organisasi atau perkumpulan, menurut dia merupakan hal yang wajar.
Semua pasti mengalaminya, tinggal bagaimana mengatasinya. Perkumpulan ini kan berubah ubah, dari perkumpulan seni menjadi sebuah yayasan kematian. Kini berubah lagi menjadi perkumpulan sosial budaya, dengan tidak meninggalkan apa yang sudah ada. Pelayanan kematian juga akan tetap ada.
Harjanto juga mengakui untuk mencari anggota merupakan hal yang sulit. Apalagi, mencari anggota yang bersedia menjadi pengurus. Harjanto bertekad bersama pengurus lainnya akan membuat Rasa Dharma lebih menarik untuk diikuti. “Ke depan Boen Hian Tong akan dijadikan pusat buadaya di Pecinan, nantinya ada artefak-artefak budaya, kuliner peranakan, semacam live museum lah,” terang CEO Marifood Group ini.
Rasa Dharma akan menggelar berbagai acara bernuansa seni. Di Boen Hian Tong juga akan kembali dikenalkan tradisi dan budaya leluhur kepada kaum muda. Pentas Potehi Tolak Pagebluk Covid – 19, dalam rangka hari raya Imlek digelar tradisi “Bakti Basuh Kaki”.
Untuk kemajuan perkumpulan dibutuhkan pemikiran kaum muda yang tak melulu keturunan Tionghoa. Sekarang ada beberapa orang dari etnis lain yang ikut bergiat di Boen Hian Tong. Tetapi tentunya tidak meninggalkan apa yang sudah dibangun sejak awal,” tekad Harjanto.
Berbagai kegiatan yang diselenggarakan dengan bekerjasama dengan komunitas lainnya pun sering dilakukan di Boen Hian Tong. Berbagai kegiatan seni digelar antara lain; Pameran Sketsa Pecinan, Bedah Buku, pentas Wayang Potehi kerja Yayasan Fu He An, Jombang, dan pentas Wayang Geger Pecinan kerjasama dengan UKSW, musik Lam Kwan.
Di Boen Hian Tong, kalau tak sedang ada pandemi setiap hari Selasa disediakan makan gratis untuk kaum papa/dhuafa. Kegiatan sosial “kantin kebajikan” ini sudah berjalan selama empat tahun lebih. Di BHT juga ada fitnes Centre dan Seperangkat gamelan Jawa.
Peringatan HUT Boen Hian Tong ke-45, Jumat (26/2/2021), yang diadakan dengan sederhana gegara pandemi Covid -19 digelar acara Doa Bersama yang dihadiri para pengurus, Lurah Kranggan, Semarang Tengah, Kota Semarang, Lusina Chandra Juni R dan Ketua LPMK Markus Djulipurwnto dan tokoh-tohoh masyarakat antara lain; Widya Widjajanti dan Mick Lo.
Lurah Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Lusina Chandra Juni R, berharap budaya peranakan yang mewarnai Pecinan lewat Boen Hian Tong bisa ditumbuhkembangkan dan dilestarikan. Kegiatan sosial yang diinisiasi Rasa Dharma seperti, kantin kebajikan bisa bergulir kembali karena sangat bermanfaat dan dibutuhkan masyarakat setempat.
Wenshe Andi Gunawan dalam doanya saat HUT perkumpulann ini berharap Boen Hian Tong, ke depan tetap bisa merawat nilai-nilai kemanusian, toleransi, keberagaman, bermuara memakmurkan persatuan dan kesatuan di NKRI.(*)