Kota Tarim atau biasa dibaca ‘Trim’ termasuk kota lama. Nama Tarim menurut satu riwayat diambil dari seorang nama raja bernama Tarim bin Hadramaut. Tarim juga disebut Tarim al-Ghanna artinya kota Tarim yang rindang karena banyak pepohonan dan sungai. Kota tersebut juga dikenal dengan nama kota al-Shiddiq karena gubernurnya Ziyad bin Lubaid al-Anshari ketika menyeru untuk membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, penduduk Tarim adalah yang pertama mendukungnya dan tidak ada seorang pun yang membantahnya hingga khalifah Abu Bakar mendoakan penduduk Tarim dengan tiga permintaan: agar kota ini menjadi makmur, airnya berkah dan dihuni oleh banyak orang-orang shaleh (Tim Majelis Khoir Murrotil Qur’an Wattahfidh, hal. 06).
Menurut suatu catatan dalam kitab al-Ghurar ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Ali bin Alawi Khirid, bahwa keluarga Ba’alawi pindah dari Kampung Bait Jubair ke Kota Tarim sekitar tahun 521 Hijriyah. Setelah kepindahan mereka ke Kota Tarim dikenal dengan kota budaya dan ilmu. Pada waktu itu Tarim ada sekitar 300 orang ahli fiqih, bahkan pada barisan yang pertama di masjid agung Kota Tarim dipenuhi oleh ulama fiqih kota tersebut. Adapun orang pertama dari keluarga Ba’alawi yang hijrah ke Kota Tarim adalah Syaikh Ali bin Alwi Khali’ Qasam dan saudaranya Syaikh Salim, kemudian disusul oleh keluarga pamannya yaitu Bani Jadid dan Bani Basri. Terdapat tiga keberkahan pada Kota Tarim yakni: keberkahan pada setiap masjidnya, keberkahan pada tanahnya dan keberkahan pada pegunungannya (Tim Majelis Khoir Murrotil Qur’an Wattahfidh, hal. 06-07).
Keberkahan masjid yang dimaksud adalah setiap mesjid di Kota Tarim pada waktu sesudah kepindahan Ba’alawi menjadi universitas-universitas yang melahirkan ulama-ulama terkenal pada masanya. Di antara masjid-masjid di Kota Tarim yang bersejarah adalah Masjid Bani Ahmad yang kemudian dikenal dengan Masjid Khala’ Qasam setelah beliau berdomisili di kota tersebut.
Masjid Khala’ Qasam dibangun dengan batu, tanah dan kayu yang diambil dari desa Bait Jubair karena tanah dari desa tersebut dikenal sangat bagus, kemudian Masjid Ba’alawi nyaris sebagian tiangnya roboh dan direnovasi oleh Muhammad Shahih Mirbath. Pada awal abad ke-9 hijriyah, Syaikh Umar Muhdhar merenovasi kembali bagian depan dari masjid tersebut (Tim Majelis Khoir Murrotil Qur’an Wattahfidh, hal. 07).
Dengan keberkahan dari Kota Tarim itu juga, hingga akhirnya Islamic Educational. Scientific, and Cultural Organization (ISESCO) menentukan pilihannnya dengan penetapan Kota Tarim, sebuah kota di Hadramaut, Yaman. Sebagai ibu kota kebudayaan Islam tahun 2010.Tarim menjadi salah satu dari tiga kota yang terpilih menjadi ibu kota kebudayaan Islam. Selain Tarim dari wilayah Arab, ada Monroni, Komoro yang mewakili Afrika, dan Dusbande, ibu kota Tajikistan yang mewakili wilayah Asia.
Menteri Kebudayaan Yaman, Mohammad Abu Bakr al-Maflahi, mengatakan terpilihnya Tarim sebagai ibu kota budaya Islam bukan tanpa sebab. Selama ini, Tarim dikenal karena perannya dalam melestarikan kebudayaan Islam. “Di antaranya pula sekolah-sekolah agama yang bertebaran dan berkembang di Tarim,” ungkapnya seperti dikutip Arab News. Sekolah-sekolah ini dikembangkan dengan pengajaran yang transparan dan terbuka.
Dirjen ISESCO, Abd. al-Aziz al-Twajiri mengatakan ada sejumlah hal yang menjadi pertimbangan sebuah kota menjadi ibu kota budaya Islam. Kota tersebut merupakan kota bersejarah yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan dan pelestarian kebudayaan Islam. Kota tersebut memiliki monumen atau bangunan bersejarah serta catatan kontribusi manuskrip dan tradisi ilmiah. “saya berharap, penduduk Tarim akan mengikuti jejak ayah-ayah mereka dalam menyebarkan Islam” katanya.
Menurut al-Twajiri, masyarakat Tarim kelak mestinya mampu terus menyebarkan Islam dengan baik dan memlihara kebudayaan Islam yang selama ini telah ada. Ini sebagai sebuah warisan peradaban Islam yang harus terus dijaga. Tarim dianggap memiliki peran sebagai kota intelektual baik di tingkat nasional maupun internasional. Tarim berperan dalam penyebaran Islam dengan cara damai ke negara-negara yang ada di wilayah Asia Timur. Ini terjadi sejak akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 (Ruslan & dkk, 2011, hal. 226).
Penyebab agama Islam dilakukan oleh sejumlah sarjana, pedagang, dan buruh yang meninggalkan Tarim menuju India, Indonesia, Singapura, dan Afrika Timur. Bahkan, banyak orang di wilayah-wilayah itu yang memiliki moyang dari Tarim. Tarim pun menjadi salah satu kota yang memiliki tingkat literasi yang tinggi. Sebab, Tarim telah lama menjadi pusat pendidikan Islam dan semua orang di sana bisa mengakses pendidikan tersebut. Lembaga pendidikan juga banyak berdiri di sana.
Banyak madrasah yang menjadi tempat tujuan bagi pelajar dari luar negeri. Salah satu lembaga pendidikan Islam modern di sana adalah Dar al-Musthafa yand didirikan tahun 1993 dan dikelola oleh seorang cendekiawan bernama Syekh Ali al-Mansyur bin Hafizh (Ruslan & dkk, 2011, hal. 227).
Ada pula Rubat Tarim, yang merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional, yang mengajarkan agama dan ilmu pengetahuan. Lembaga ini dibuka pada 1887 Masehi. Rubat Tarim memainkan peran penting dalam mengajarkan ilmu kepada ribuan siswanya baik dari mapupun luar Yaman. Di sana berdiri pula Mesjid al-Muhdhar, mesjid ini memiliki menara setinggi 40 meter dan menjadi salah satu tujuan wisata yang menarik. Masjid ini dirancang oleh Abu Bakar bin Shihab dan dibangun pada 1801 Masehi oleh Awadh Sulaiman Afif dan saudara-saudaranya (Ruslan & dkk, 2011, hal. 228).
Dengan demikian, sangat pantas Kota Tarim dinobatkan sebagai Ibu Kota Kebudayaan Islam, karena masyarakatnya selain diberi keberkahan dalam kehidupan mereka juga telah melaksanakan syariat Islam dan menyebarkan kepada seluruh manusia dari berbagai penjuru dunia. Hingga akhirnya orang banyak berdatangan untuk menuntut ilmu dan mengikuti kebudayaan Islam sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.