Referensi
Penyebab Putusan Arbitrase Internasional Tidak Diakui atau Dilaksanakan
Published
4 tahun agoon
[ad_1]
Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Dengan demikian dengan Indonesia melakukan ratifikasi berarti Indonesia mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional, dalam hal ini yakni Konvensi New York 1958.
Namun tidak semua putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan tentu telah memenuhi persyaratan dan prinsip-prinsip, asas-asas eksekutorial.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk pengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification).
Agar suatu Putusan Arbitrase Asing dapat diakui serta dilaksanakan di Indonesia, harus terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Baca Pendaftaran dan Pencatatan Putusan Arbitrase Internasional
Khusus untuk Putusan Arbitrase Asing agar putusan tersebut dapat dimintakan pengakuan dan eksekusinya harus terlebih dahulu memenuhi ketentuan-ketentuan dan persyaratan sebagaimana telah ditentukan dalam Konvensi New York 1958, UUAAPS, PERMA Nomor 1 Tahun 1990 untuk memperoleh perintah pelaksanaan (eksekuatur)
Mochtar Kusumaatmadja, mantan Menteri Luar Negeri, mengatakan bahwa Indonesia lebih condong pada sistem negaranegara Eropa Kontinental, yang pada intinya mengatakan bahwa apabila Indonesia telah menandatangani suatu perjanjian internasional, maka Indonesia terikat dan wajib melaksanakan serta mentaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan, tanpa perlu adanya peraturan pelaksanaan (implementing legislation).
Putusan Arbitrase Internasional Tidak Diakui
Ada beberapa alasan yang menyebabkan suatu putusan arbitrase tidak dapat diakui atau dilaksanakan yang salah satunya adalah dikarenakan masih adanya upaya hukum pembatalan atau penolakan terhadap putusan arbitrase itu sendiri.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dari:
Pertama, berdasarkan proses dan alasan untuk pembatalan (annulment/set aside) putusan arbitrase diatur dalam peraturan perundang-undangan suatu negara dan tidak diatur dalam sebuah perjanjian internasional; sedangkan proses dan alasan penolakan (refusal) Putusan Arbitrase Asing justru diatur dalam perjanjian internasional yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional.
Kedua, berdasarkan konsekuensi hukumnya, pembatalan putusan arbitrase berakibat pada dinafikannya (seolah tidak pernah dibuat) suatu putusan arbitrase dan pengadilan dapat meminta agar para pihak mengulang proses arbitrase (re-arbitrate). Sementara itu, penolakan putusan arbitrase oleh pengadilan, tidak berarti menafikan putusan tersebut. Penolakan mempunyai konsekuensi tidak dapatnya putusan arbitrase dilaksanakan di yurisdiksi pengadilan yang telah menolaknya.
Terhadap suatu putusan arbitrase dimungkinkan untuk dilakukan pembatalan, dengan para pihak mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase di negara tempat putusan dijatuhkan.
UUAAPS mengatur syarat pembatalan Putusan Arbitrase Nasional dalam Pasal 70, yakni jika (1) surat yang digunakan dalam pemeriksaan arbitrase, setelah putusan dijatuhkan ternyata palsu; (2) ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau (3) putusan diambil dari hasil tipu muslihat salah satu pihak.
Pasal 70 UUAAPS ini alasan pembatalan yang diperuntukkan untuk Putusan Arbitrase Nasional saja, yakni putusan arbitrase yang dijatuhkan di wilayah Indonesia.
Konvensi New York 1958 tidak mengatur masalah pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dikarenakan konvensi ini sama sekali tidak bertujuan untuk mengatur pembatalan putusan melainkan mengatur masalah pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (foreign arbitral award).
Kalaupun ada ketentuan tentang pembatalan putusan arbitrase hanya dalam konteks pengadilan yang diminta untuk melaksanakan eksekusi dapat menolaknya atas dasar adanya proses pembatalan putusan arbitrase di suatu competent authority.
Jadi, berbicara pembatalan hanya dilakukan di negara tempat dimana Putusan Arbitrase Internasional dibuat atau dijatuhkan, sedangkan berbicara penolakan maka yang berwenang menolak melaksanakan putusan ialah negara dimana tempat Putusan Arbitrase Internasional akan dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Pasal V ayat (2) Konvensi New York 1958.
Pasal V Konvensi memberi kemungkinan bagi suatu negara untuk menolak atau maybe refused pelaksanaan eksekusi Putusan Arbitrase Asing. Akan tetapi, setiap penolakan harus didasarkan atas alasan-alasan yang disebut secara limitatif dalam Pasal V ayat (1) Konvensi.
Pasal ini menetapkan 5 (lima) alasan yang dapat dimanfaatkan oleh suatu pihak untuk memberikan perlawanan terhadap suatu putusan arbitrase. Dua alasan lainnya diberikan pula untuk dapat diajukan oleh pihak atau yang ditetapkan oleh pengadilan di negara dimana pelaksanaan itu diminta atas inisitatifnya (ex-officio)
Pasal V ayat (1) Konvensi New York menetapkan bahwa pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase dapat ditolak atas permohonan salah satu pihak terhadap putusan yang ditetapkan jika pihak yang bersangkutan mengajukan satu atau lebih pembelaan kepada pejabat yang berwenang dimana pengakuan dan pelaksanaan putusan dimohonkan.
Alasan-alasan ini bersifat alternatif bukan kumulatif. Salah satu diantaranya, cukup memiliki daya sebagai dasar alasan permohonan.
1. Perjanjian Arbitrase Tidak Sah
The agreement is not valid demikian penegasan Pasal V ayat (1) huruf a. Para pihak atau salah satu pihak berada dalam keadaan under incapacity membuat perjanjian atau melakukan tindakan hukum: disebabkan yang bersangkutan masih di bawah umur; atau masih berada di bawah pengampuan.
2. Tidak Memperoleh Kesempatan Melakukan Pembelaan
Dalam proses pemeriksaan penyelesaian sengketa di muka forum arbitrase, harus ditegakkan asas audi et alteram partem artinya kepada para pihak harus diberi kesempatan yang sama dan cukup untuk membela kepentingan masingmasing.
Dalam hal ini Pasal V ayat (1) huruf b menjelaskan: Apabila kepada salah satu pihak tidak diberitahu secara wajar penunjukkan arbiter atau tidak member kesempatan yang wajar kepada salah satu pihak mengajukan pembelaan, putusan arbitrase yang bersangkutan dianggap telah diselesaikan secara tidak wajar atau improper. Dianggap para arbiter yang menjatuhkan putusan bersikap parsial atau berat sebelah.
3. Putusan Tidak Sesuai dengan Penugasan
Konvensi membolehkan suatu pembelaan terhadap pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase dengan bahwa putusan tidak sesuai atau tidak termasuk ke dalam kasus-kasus atau sengketa-sengketa yang harus diputus oleh badan arbitrase (Adolf, 2015)
4. Susunan atau Penunjukkan Arbiter Tidak Sesuai dengan Kesepakatan yang Dijanjikan Para Pihak
Alasan selanjutnya yang dapat dijadikan dasar permohonan penolakan pengakuan dan eksekusi Putusan Arbitrase Asing, susunan mahkamah arbitrase atau penunjukkan maupun proses pemeriksaan yang diterapkan dalam penyelesaian sengketa, tidak sesuai dengan yang disepakati para pihak. Bisa juga, putusan yang diambil didasarkan atas persetujuan yang tak sesuai dengan sistem tata hukum dari negara tempat dimana putusan dijatuhkan (Harahap, 2004)
5. Putusan Belum Mengikat Para Pihak
The award has not yet become binding on the parties or has been set a side or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made.
Inilah yang diatur dalam Pasal V ayat (1) huruf e Konvensi New York 1958. Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa ada beberapa alasan yang menyebabkan suatu putusan arbitrase tidak dapat diakui atau dilaksanakan yang salah satunya adalah dikarenakan masih adanya upaya hukum pembatalan pihak yang kalah di tempat putusan arbitrase dijatuhkan atau penolakan terhadap putusan arbitrase itu sendiri.
Adanya upaya hukum pembatalan atau penolakan putusan arbitrase ini menjadikan Putusan Arbitrase Asing tersebut belum berkekuatan hukum tetap atau belum final dan belum mengikat para pihak secara otomatis putusan ini tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.
Semua alasan yang terdapat dalam Pasal V ayat (1) huruf a sampai e, dapat dimohonkan oleh pihak termohon eksekusi, dalam hal ini pihak yang kalah ke pengadilan tempat Putusan Arbitrase Asing akan dilaksanakan.
Pemohon penolakan pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing ini atau pihak yang menentang pelaksanaan putusan arbitrase asing harus dapat membuktikan bahwa ada satu saja syarat dalam Pasal V ayat (1) huruf a sampai e telah terjadi sehingga Pengadilan di Indonesia, yakni Pengadilan Negeri Jakarta Pusat harus menolak untuk dapat dilaksanakannya Putusan Arbitrase Asing tersebut, apalagi manakala suatu Putusan Arbitrase Asing ternyata belum final karena telah dikesampingkan atau sudah tidak mengikat para pihak karena telah dibatalkan oleh pengadilan dimana Putusan Arbitrase Asing dijatuhkan.
Kalau putusan pembatalan telah ada berarti putusan telah dikesampingkan, pejabat yang berwenang memberi pengakuan dan eksekusi, dapat menolak atau menunda pelaksanaan eksekusi dalam kasus yang seperti ini, guna untuk melindungi pihak tereksekusi.
Di Amerika Serikat, sebuah putusan arbitrase mengikat seketika majelis arbitrase telah menyelesaikan persoalan-persoalan yang diajukan kepadanya dan tidak ada lagi proses arbitrase yang sedang berjalan. Adapun di Inggris, mensyaratkan putusan arbitrase harus final dan mengikat sebelum pengadilan melakukan pengakuan dan pelaksanaan atas putusan tersebut.
Dalam kasus Baker Marine Ltd (Nigeria) v Chevron Ltd (Nigeria) dan Chevron Corp Inc, pengadilan New Cork menolak melaksanakan putusan arbitrase karena putusan itu telah dibatalkan oleh pengadilan tinggi Nigeria tempat putusan arbitrase itu dikeluarkan.
Konvensi New York Tahun 1958 inilah yang dapat dipergunakan untuk membatalkan Putusan Arbitrase Internasional yaitu dimohonkan di negara di mana putusan itu dijatuhkan. Sedangkan Pasal V ayat (1) dan (2) Konvensi New York Tahun 1958 adalah dasar hukum penolakan terhadap pelaksanaan (eksekusi) Putusan Arbitrase Internasional.
Makna dalam Pasal V ayat (1) Konvensi New York 1958 menegaskan pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dapat ditolak atas permohonan pihak yang diminta untuk melaksanakan putusan tersebut (pihak yang kalah). Majelis hakim PN Jakpus maupun MA dapat menjatuhkan putusan non eksekuatur terhadap Putusan Arbitrase Internasional yang dimohonkan untuk dieksekusi di Indonesia, jika termohon tereksekusi dapat membuktikan di sidang pengadilan hal-hal yang tercantum dalam Pasal V (1) Konvensi New York Tahun 1958.
Sumber: Cindy Wijaya. Pendaftaran Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing yang Belum Final. Jurnal Mercatoria XII, Desember 2019
Putusan Arbitrase Internasional Tidak Diakui
[ad_2]
Sumber Berita