Mursyid dalam Tarekat, Ternyata Jenis Ini yang Diikuti Buya Arrazy Hasyim – Bagyanews.com
Connect with us

arrazy hasyim

Mursyid dalam Tarekat, Ternyata Jenis Ini yang Diikuti Buya Arrazy Hasyim

Published

on

[ad_1]

BagyaNews.com Syaikh al-Tahkim, Syaikh al-Tarbiyah, Syaikh al-Ta’lim, Syaikh al-Tarqiyah/al-Tabarruk. Ternyata jenis ini yang diikuti oleh Buya Arrazy Hasyim.

Model tarekat yang diikuti oleh Buya Arrazy Hasyim digugat banyak pihak. Diduga banyak kejanggalan dalam tarekat tersebut. Unsur-unsur kejanggalan itu terutama disampaikan oleh orang-orang yang pernah ikut lalu keluar dari komunitas Buya Arrazy Hasyim.

Para ‘mantan murid’ itu ‘membongkar kejanggalan-kejanggalan’ yang umumnya terkait dengan guru/mursyid yang diikuti oleh Buya Arrazy Hasyim. Mereka mempertanyakaan konsep kemursyidan seperti apa yang dikembangkan sang guru spiritual tersebut yang menuntut kepatuhan mutlak. Terkadang terasa janggal.

Apakah ada referensi yang menjadi rujukan kepatuhan mutlak kepada guru semacam itu dari literatur khazanah tasawuf? Berikut adalah catatan dari saudara Musa Wardi dalam laman Facebooknya tentang bagaimana perspektif ‘orang dalam’ melihat sengkarut antar pengamal tarekat belakangan. Musa Wardi adalah salah satu murid Buya Arrazy Hasyim.

Dalam tulisan ini, kita akan bersinggungan dengan istilah: Syaikh al-Tahkim, Syaikh al-Tarbiyah, Syaikh al-Ta’lim, Syaikh al-Tarqiyah/al-Tabarruk; Suhbah Khaasshah, Suhbah ‘Ammah, al-Sahib.

Pertama, kita harus berpijak pada kaidah dasar, bahwa sesuatu yang menurut akal mungkin saja ada/terjadi, haruslah TIDAK diposisikan sebagai sesuatu yang mustahil atau wajib.

Kedua, dalam melihat suatu kasus, haruslah diperhatikan konteksnya. Ia harus dilihat dari sisi yang semestinya. Jika tidak, wajar jika menghasilkan kesimpulan yang berbeda.

Ketiga, persoalan yang mengemuka jika terkait dengan suhbah murid dengan syaikhnya, haruslah dilihat dari kacamata keilmuan tasawuf, biar dapat dimaklumi, tanpa mengingkari aturan syariat.

Di sini saya coba tanggapi tulisan-tulisan yang dikirimkan saya, yang ditulis oleh orang-orang baik yang bertujuan baik (baik di sini adalah dalam arti yang sesungguhnya), berdasarkan pengetahuan yang saya miliki, dengan menggunakan 3 referensi seperti gambar. Tiga referensi tersebut, alhamdulillah sudah saya baca hampir semua isinya. Dua di antaranya (al-Bahrul Maurud & Qawaid al-Tasawuf) saya baca dengan Buya Arrazy harfan-harfan, dan 1 sisanya saya baca sendiri.

Di dalam dunia tasawuf, posisi seorang syaikh mursyid itu setidaknya ada 3 macam. Masing-masingnya punya kriteria tersendiri yang berbeda-beda. Yaitu:

a) Sebagai Syaikh Tahkim (Istilah yg digunakan oleh Imam al-Haddad) atau Syaikh al-Tarbiyah (dalam Istilah Imam Ahmad Zaruq/Zarwaq al-Fasi). Syaikh sebagai pembimbing untuk sampai pada maqam Ihsan tertinggi (Maqam Ihsan sebagaimana dalam hadis Jibril).

b) Syaikh Ta’lim, guru sebagai pengajar keilmuan tertentu.

c) Syaikh al-Tarqiyah atau Syaikh lit Tabarruk.

Terkait dengan syaikh tahkim, sikap seorang murid terhadap syaikh ini haruslah seperti mayat di hadapan orang memandikannya. Masyhur dalam kalam sadah ba’awalaiyah bahwa sebagai syarat berguru pada syaikh tahkim haruslah: Ka al-mayyit baina yaday al-ghasil. Dan itu tidak berlaku pada syaikh yang lainnya.

Bisa saja, seorang syaikh oleh sebagian muridnya dijadikan syaikh tahkim, namun oleh muridnya yang lain hanya sebatas syaikh ta’lim atau bahkan sekedar tabarruk. Maka perlakukan syaikh kepada murid-muridnya bisa berbeda.

Dari sini, bila ada pengakuan dari seorang murid kepada kita tentang perlakuan syaikh tahkimnya terhadap dia, maka hal itu harus dipahami dalam konteks ini. Di samping juga memposisikan sebuah informasi sebagai sesuatu yang mungkin saja benar dan mungkin saja bohong.

Dalam pelajaran (’Ahd) ke-2 dalam kitab Al-Bahr al-Maurud karya Al-Imam Abdul Wahhab al-Sya’raniy, menjelaskan suatu persoalan penting tentang bagaimana seharusnya sikap syaikh mursyid dalam menyikapi muridnya yg menginginkan shuhbah khasshah.

Sebelumnya, jangan lupa, Imam al-Sya’rani yang wafat tahun 973 H adalah tokoh penting yang maqbul (diterima) di kalangan para kibar ulama. Seorang sufi, ahli fikih, ahli akidah, ahli sejarah, ahli hadis. Karya-karya beliau hingga sekarang banyak dijadikan panduan oleh para ulama.

Beliau (Imam al-Sya’rani) menyampaikan pesan, bahwa mursyid tidak boleh menerima begitu saja seseorang untuk mendapatkan shuhbah khasshah kecuali jika sudah memberikan imtihan (ujian) yang dapat menampakkan kekuatan mahabbahnya.

Dari istilah suhbah khasshah, mengindikasikan adanya shuhbah ‘ammah. Suhbah khasshah itu dengan bimbingan spesial, khusus, istimewa, dengan kedekatan yang spesial pula tentunya. Dan seorang murid untuk sampai pada kespesialan itu, syaikh harus mengujinya terlebih dahulu, dengan ujian yang dapat membuktikan bahwa murid tidak lebih mendahulukan mahabbahnya kepada keluarga, pasangan, anak, harta dll, ketimbang mahabbahnya pada syaikh. Ini tentu berat sekali.

Bahkan di situ dinyatakan, cara mengujinya itu sampai pada tahap seolah-olah lisan hal Syaikh menyampaikan:

من كان منا فلا يأخذ عن أحد إلا عنا.

Murid yang lulus ujian tersebutlah yang boleh diterima untuk mendapatkah shuhbah khasshah. Sedangkan jika dari ujian tersebut, ia justru ia berpaling, maka kata Imam Sya’raniy, si murid adalah kadzib (bohong). Dia bukan lagi shahib, melainkan hanya al-Mu’arif saja, hanya sekedar tahu saja. Lalu, Imam Al-Sya’rani menjelaskan argumentasi dalil dan pendalillnya. Silahkan dibaca sendiri.

Jika hubungan seseorang salik dengan syaikh tersebut bukan menjadikannya sebagai syaikh tahkim, atau tidak menginginkan shuhbah khasshoh, tentu syaikh memperlakukannya berbeda, tidak memberikan ujian dahsyat. Jika memposisikan syaikh tersebut sebagai teman saja, perlakuannya akan berbeda lagi tentunya.

Coba kita bayangkan, betapa beratnya seorang murid untuk mendapatkan shuhbah khasshah ini. Kalau saya sendiri ngakui belum kuat. Saya sangat lemah. Angkat tangan. Berharap rahmat Allah saja.

Jika sudah dipahami konteks ini, maka wajar bila ada ditemukan kasus murid-murid yang menganggap syaikhnya bermasalah, aneh, dan sebagainya, setelah ia diberi ujian tidak biasa. Dan orang yang kemudian mendengar laporan murid, wajar juga jika menganggap hal itu bermasalah. Tetapi orang yang mengerti konteksnya, tentu bisa memahami.

Berat sangat untuk mendapatkan shuhbah khasshah atau untuk benar-benar menjadikan seseorang sebagai syaikh tahkim, sekalipun itu bagi seseorang yg sebelum bertemu dengan syaikhnya, ia sudah terlebih dahulu berdo’a dengan tulus untuk mendapatkan tarbiyah dari seorang mursyid yeng spesial, lalu ia pun mengalami isyarat lewat mimpi tak hanya sekali, bertemu dengan sosok orang yang belum pernah ia bertemu, yang kemudian si murid mempersembahkan dirinya untuk ditarbiyah oleh orang tersebut.

Apa yang disampaikan dalam kitab ini, jika dijadikan media membaca persoalan yg diutarakan, kiranya dapat dimaklumi masalahnya. Dan pelajaran penting lainnya adalah tidak usahlah kita meminta ditarbiyah oleh seorang mursyid dengan suhbah khosshah, jika belum sanggup dengan konsekuensi sebagaimana yang disampaikan Imam Haddad dan Imam Sya’aroni. Beraat.. Apalagi bila orang yang mau dijadikan guru itupun memperlihatkan tampilan yang membuat orang tak yakin padanya untuk dijadikan guru, yang seakan-akan ia sendiri dengan tampilannya itu sudah mengingatkan untuk tidak usah diikuti.

Kalau tanpa guru tahkim, apakah seseorang tidak selamat? Tentu tidak demikian. Dengan konsisten mengamalkan syariat insyaAllah aman. Seorang mukmin (yang beriman) yang menjalankan imam dan Islamnya dengan baik, di akhirat akan mendapatkan balasan dari Iman dan Islamnya itu, sekalipun tidak mendapatkan nikmat Ihsan yang jauh lebih besar. Sebagaimana hadis dari Riwayat Sahabat Jabir tentang seseorang yang bertanya kepada Rasulullah, apakah ia bisa masuk sorga hanya dangan mengerjakan shalat fardu saja, puasa ramadhan, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, dan tidak menambahnya lagi. Rasulullah menjawab: bisa.

Kembali kepada tujuan tulisan, menjawab pertanyaan kawan-kawan. Jika antum percaya dengan apa yang disampaikan oleh Imam al-Sya’roniy dan Imam Al-Haddad itu, maka kiranya antum bisa memaklumi. Dari situlah masalah-masalah lainnya kemudian diangkat.

Atau mungkin pemahaman saya yang keliru dalam memahami teks-teks beliau, maka saya bersyukur jika ada yang mau meluruskannya



[ad_2]

Sumber Berita harakah.id

#Mursyid #dalam #Tarekat #Ternyata #Jenis #Ini #yang #Diikuti #Buya #Arrazy #Hasyim

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved