Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur’an,
Pensyarah Kitab Dalail Khairat
Kaum muslimin selalu dibuat repot dengan perdebatan Hadis Dhaif setiap kali masuknya bulan Rajab, Sya’ban hingga Ramadhan. Sudah menjadi kebiasaan bagi umat Islam setiap masuknya Rajab mulai bersemangat berbenah mempersiapkan diri dengan cara meningkatkan amaliah-amaliah sunnah, seperti puasa doa dan zikir di bulan Rajab.
Seiring itu pula, bermunculan berbagai tudingan terkait larangan tidak boleh beramal dengan amaliah yang bersumber dari hadits-hadits dhaif dari kelompok-kelompok yang seringkali mempersoalkan dan memperdebatkan permasalahan klasik yang sejatinya telah selesai ratusan tahun yang lalu.
Baca Juga: Pesan Habib Umar Bin Hafizh di Bulan Rajab
Ditambah lagi, ada pula orang-orang awam yang baru “melek” mengaji pun ikut berbicara dan berkomentar tentang kualitas hadits dhaif. Padahal mereka sejatinya orang awam yang belum lagi pernah mengenal apa itu Ilmu Musthalahul Hadits.
Kadang lucu juga, ada orang yang ujug-ujug mengatakan, “Ini hadits dhaif, tidak boleh diamalkan!” Lantas, begitu kita bertanya balik, “Apa itu definisi hadits dhaif? Apa saja pembagian hadits-hadits Dhaif itu? Bagaimana sebuah hadits menjadi turun peringkatnya menjadi hadits dhaif?”
Sampai di sini, si penuding akan tetap keukeh, “Pokoknya sekali dhaif ya tetap dhaif! Tidak boleh diamalkan!”
Nah, menghadapi pemahaman seperti ini, kita akan dibuat repot dengan orang yang ingin berbicara hukum syariat, akan tetapi tidak memahami metodologi hukum. Argumentasinya cuma “pokoknya” atau “pokoke”. Selain tidak ilmiah, tidak objektif, juga tidak akan bisa “Nyambung”.
Baik, mari kita gelar tikar pembahasan kajian ilmu hadits secara singkat. Para ulama Ushul menyepakati bahwa definisi hadits itu adalah segala sesuatu yang bersumber dari atau disandarkan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم, baik itu qaulan (perkataan), fi’lan (perbuatan) maupun taqriran (isyarat) dan ada pula yang menambahkan shifat/sifat.