MALANG – Pembangunan Masjid At Thohiriyah di Bungkuk, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang pada rekonstruksi ketiga menemukan sejumlah struktur bangunan batu bata yang diduga peninggalan Kerajaan Singasari. Saat itu rekonstruksi Masjid At Thohiriyah yang menjadi Masjid tertua di Malang Raya dilakukan demi menambah kapasitas masjid, imbas kian banyaknya masyarakat yang memanfaatkan masjid di Jalan Bungkuk, Kelurahan Pagentan, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Penasehat Takmir Masjid At Thohiriyah KH. Moensif Nachrawi mengungkapkan, rekonstruksi ketiga masjid tertua di Malang raya yang mempengaruhi penyebaran agama Islam dilakukan pada 2008. Masjid dirombak total dengan rekonstruksi diubah menjadi dua lantai demi menampung jamaah lebih banyak dan lebih beraksen modern.
Baca juga: Menelusuri Masjid Tertua di Malang, Dibangun Pengikut Pangeran Diponegoro pada Abad XVIII
“Masjid dibongkar total pada 2008, 14 tahun lalu yang lalu karena sudah nggak muat lagi, nggak nampung jamaahnya karena makin lama makin besar. Masjidnya dijadikan lantai dua dengan 41 pondasi, yang dibikin, satu pondasi untuk menara yang lebih dalam 3 meter 30 sentimeter, yang lain-lain 2 meter 20 sentimeter,” ucap KH. Moensif Nachrawi.
Cerita menarik mengiringi pembangunan Masjid At Thohiriyah atau yang dikenal dengan Masjid Bungkuk. Dimana saat kabar pembangunan rekonstruksi dilakukan ratusan warga baik dari wilayah Masjid Bungkuk dan sekitarnya berbondong-bondong datang. Mereka datang membawa peralatan pertukangan mulai dari cangkul, sekop, hingga linggis.
“Orang berdatangan subuh dengan bawa linggis, bawa pacul, bawa apa saja yang dia punya, bukan orang jamaah sini, saya tahu betul bukan orang sini, ternyata dengar orang datang dari mana-mana, untuk ikut beramal ikut macul – macul bikin pondasi, memang sudah ditetapkan 41 lubang dikasih kayu. Jadi orang sudah milih lubang sendiri-sendiri,” papar generasi keempat dari pendiri Masjid At Thohiriyah ini.
Saat proses pengerjaan pondasi masjid, dikatakan Moensif sejumlah temuan struktur bangunan bata merah kuno terlihat. Penemuan struktur batu bata yang diduga merupakan peninggalan Kerajaan Singasari ini berada di kedalaman tiga meter.
“Menemukan tembok bata biasa kira-kira tiga meter tingginya sampai di bawah, sampai pondasi bata, bata ukurannya lebar 10 sentimeter, tiap bata dibongkar pakai kuas hancur lagi, dibongkar utuh, mau dikeluarkan hancur lagi, kenapa ini sisa-sisa Kerajaan Singosari yang saya bilang tadi,” katanya.
Sontak saja penemuan rekonstruksi batu bata yang diiga peninggalan candi bangunan era Kerajaan Singasari mengundang kedatangan tim dinas purbakala dan pihak Museum Singhasari. Namun sayang dari beberapa struktur batu bata pada bangunan hampir sebagian besar aus dan tak bisa diselamatkan.
“Kerajaan Singosari dibangun di abad 12 dan punah di abad 13, kalau saja pagar Ini dibikin di abad 13, artinya apa, sekarang sudah 700-800 tahun iya maklum sudah aus,” tambahnya.
Dari beberapa struktur batu bata yang ditemukan saat penggalian pondasi, disebut Moensif hanya beberapa bebatuan yang bisa diselamatkan. Selain struktur batu bata ada sebuah batu yang diduga batu gilang yang menjadi bagian dari sebuah bangunan candi. Bebatuan itu kini dibawa oleh pihak Museum Singhasari untuk disimpan.
“Batu gilang batu yang dibuat untuk candi itu jadi cantik itu dibikin dari potongan-potongan batu ditumpuk di jejer – jejer. Batu-batu itu batu Candi diketemukan ketika bikin pondasi, salah satu ada batu persegi panjang, kira-kira 3 meter tembok ini tebalnya, itu itu kira-kira 1 meter 80 sentimeter, waktu bikin pondasi di sebelah utara diangkat delapan orang pakai tali, sampai di atas,” terangnya.
Menurutnya, penemuan struktur batu bata yang diduga bangunan candi Kerajaan Singasari ini tak mengherankan. Pasalnya ketika masjid ini dibangun di abad 18 sudah merupakan hutan belantara, tetapi dari perkiraan lokasi candi memang menjadi area kekuasaan Kerajaan Singasari.
Tak hanya itu pembangunan masjid di abad 18 oleh Kiai Hamimuddin juga menandai mulai berakhirnya dominasi Hindu dan tergantikan dengan masuknya Islam di kawasan Singosari.
“Bangunan masjid yang tahap kedua yang sudah semi permanen itu sebetulnya adalah awal dari punahnya agama Hindu di Singosari. Tidak ada paksaan (memeluk agama Islam), orang datang sendiri. Sejak itu dinyatakan oleh pihak museum sendiri saat akhir dari habisnya orang Hindu di sini,” paparnya.
Selain penambahan kapasitas, rekonstruksi bangunan di tahun 2008 ini juga untuk merekonstruksi empat tiang soko tatal yang menjadi warisan Masjid At Thohiriyah yang sudah ada sejak abad 18. Empat kayu yang sebelumnya terbungkus triplek saat renovasi kedua pada tahun 1960-an dengan semi permanen dibongkar.
“Kemudian di masjid yang baru ini (empat tian) dibungkus dengan kayu jati yang berukir. Ini sama sekali tidak ada hubungannya, ini sudah konstruksi modern tidak perlu kayu tapi itu yang disisakan dari peninggalannya masjid Kiai Hamimuddin,” tukasnya.
(msd)
#Kisah #Penemuan #Struktur #Bangunan #Peninggalan #Candi #Kerajaan #Singasari #Masjid #Tertua #Malang #Raya