Imah Bali hari itu nampak tidak seperti biasanya. Saat itu, rumah milik Abah Maki ini terlihat ramai oleh pengunjung. Rumah yang bersebelahan dengan Masjid Raya Sindang Barang ini memang menjadi sentral dimulainya ritual helaran dongdang. Helaran dongdang merupakan ritual puncak dalam tradisi seren taun, yaitu mengarak dongdang berisi hasil bumi dan kerajinan untuk kemudian diperebutkan bersama-sama. Uniknya, hasil bumi berupa sayur mayur, buah-buahan, makanan, dan beraneka macam kue yang sudah dihias dalam dongdang merupakan sumbangan sukarela dari masyarakat sendiri.
Bakaran kemenyan dan lantunan doa menjadi pertanda dimulainya arak-arakan dalam ritual helaran dongdang. Seorang kokolot kemudian mencipratkan air suci ke dongdang-dongdang yang nanti akan diarak. Air suci tersebut merupakan gabungan dari tujuh mata air yang diambil dan disatukan dalam ritual Ngala Cai Kukulu beberapa hari sebelumnya. Tidak hanya dongdang, air suci juga dicipratkan kepada masyarakat yang sudah berkerumun siap mengarak beraneka dongdang. Bagi mereka, terkena cipratan air suci akan mendatangkan berkah yang tak terhingga.
Setelah air suci dicipratkan, arak-arakan dongdang pun dimulai. Para kokolot sambil membawa bakaran kemenyan berada di barisan paling depan diikuti oleh para pembawa rengkong. Rengkong adalah pikulan padi yang terbuat dari bambu berdiameter besar. Pada bagian ujung-ujungnya digantungkan padi, sehingga apabila dipanggul dan digoyang-goyangkan akan menghasilkan suara khas seperti kayu reyot. Suara yang dihasilkan pembawa rengkong ini menjadi sangat meriah karena jumlah mereka yang banyak.
Selain rengkong, angklung gubrag juga menjadi pengiring arak-arakan dongdang. Alat musik yang lahir dari kebudayaan agraris ini dimainkan oleh para ibu dengan mengenakan baju kampret, yaitu pakaian hitam-hitam khas Kasepuhan Sunda yang dilengkapi dengan penutup kepala atau iket. Angklung gubrag terus dimainkan sepanjang perjalanan menempuh jarak sekitar 2 km dari Imah Bali hingga sampai ke Alun-Alun Kampung Budaya Sindang Barang.
Sampai di Kampung Budaya Sindang Barang, berbagai dongdang tersebut dikumpulkan di Alun-Alun. Sebelum dongdang diperebutkan, para kokolot dipimpin oleh tetua adat melaksanakan ritual Majieken Pare Ayah dan Pare Ambu, yaitu ritual mengawinkan hasil panen dan dimasukkan ke dalam lumbung padi sebagai persediaan pangan selama setahun. Di depan lumbung, sesorang kokolot memimpin doa bersama, di hadapannya tersaji kue dan kembang tujuh rupa, selain juga terdapat sirih, kelapa, satu sisir pisang, dan bakaran kemenyan.
Suasana hening berubah menjadi riuh sesaat para kokolot mempersilahkan masyarakat yang sudah berkurumun untuk mengambil apapun yang tersaji dalam dongdang. Gelak tawa dan canda pun berbaur dalam keriuhan, anak-anak hingga orang tua saling berebut mendapatkan hasil dongdang. “Ini cuma dapat sayuran gini, yang penting kan berkahnya,” kata Kang Hadi yang ikut berebut dongdang hasil bumi. Mereka percaya, secuil yang mereka dapatkan dalam parebut dongdang hasil bumi akan mendatangkan berkah yang tak terhingga.
Helaran dongdang menjadi ritual puncak dalam tradisi Seren Taun yang digelar setiap bulan Muharram oleh Kampung Budaya Sindang Barang. Ritual adat yang menggambarkan pesta rakyat yang bersumber dari rakyat untuk kembali kepada rakyat. Helaran dongdang merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat Sindang Barang atas hasil panen dan kesejahteraan melimpah yang diberikan oleh Tuhan. Sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda yang patut dijaga dan dilestarikan sebagai bentuk kekayaan kebudayaan luhur yang dimiliki manusia Indonesia. [AhmadIbo/IndonesiaKaya]