Alasan Mengapa Shalat Jumat Virtual Tidak Perlu – Bagyanews.com
Connect with us

IT

Alasan Mengapa Shalat Jumat Virtual Tidak Perlu

Published

on

Alasan Mengapa Shalat Jumat Virtual Tidak Perlu

[ad_1]

Setelah mempelajari tulisan-tulisan terkait Shalat Jumat Virtual, kesimpulan saya adalah tidak perlu ada shalat Jumat virtual. Berikut ini alasannya.

Pertama, keputusan dan anjuran yang dikeluarkan Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, MUI DKI Jakarta, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), sudah cukup jelas terkait beribadah pada masa pandemi. COVID-19 sudah menjadi pengetahuan bersama dan menjadi hujjah bahwa kondisi kita saat ini memasuki fase darurat. Hal ini sudah menjadi mujma’ alaih di tingkat ilmuwan maupun agamawan. Khusus untuk shalat Jumat, bila tak bisa dilaksanakan maka bisa diganti dengan shalat Dhuhur di rumah.

Kedua, secara teknis keputusan poin nomor pertama ini mudah sekali untuk dilaksanakan siapa pun. Tidak perlu ada upaya berlebih bagi seseorang untuk melaksanakannya. Pilihannya adalah ke masjid yang melaksanakan protokol kesehatan; bila tak bisa maka cukup dengan shalat duhur di rumah. Ini sangat mudah dan praktis. Sesuai dengan kaidah:

الدين يسر ولا تكن من المنفرين

Agama itu mudah, jangan menjadi bagian orang yang membuat orang lain lari dari agama.

Ketiga, tidak ada definisi yang menjelaskan secara gamblang tentang apa itu shalat Jumat Online atau shalat Jumat virtual. Dalam tulisan Muhammad Abdullah Darraz misalnya, hanya disebutkan demikian:

“…beberapa kalangan telah juga memberikan solusi alternatif yang memungkinkan tetap dilaksanakannya shalat Jumat di tengah pandemi, yakni yang dilaksanakan dengan menggunakan media internet dan perangkat platform pertemuan online yang bisa mempertemukan antara imam dan jamaah/makmum dalam sebuah medium interaksi bersama. Dan hal ini model pelaksanaan ibadah shalat Jumat seperti ini disebut sebagai shalat Jumat online atau shalat Jumat virtual.”

Definisi ini masih rancu. Bagaimana kalau jamaah hanya menggunakan media internet, sementara redaksi di atas menggunakan diksi “dan”, bukan “atau”. Yang artinya, keduanya (media internet dan perangkat platform) menjadi syarat. Apa perbedaan antara keduanya dan apa persamaannya?

Kalau mengacu kepada definisi, internet biasanya disebut sebagai jaringan (network), bukan media internet. Yang termasuk ke media internet adalah email dan laman.

Di setiap bidang kajian, definisi yang jelas diperlukan untuk menggambarkan sebuah masalah. Tanpa definisi yang jelas, pembahasan sebuah masalah tidak pernah akan mencapai titik terang. Apalagi dalam kajian fiqih, definisi adalah hal penting karena menjadi penentu sebuah keputusan hukum. Kita bisa lihat dari perdebatan para Imam Madzhab mengenai definisi quru’. Dari definisi ini akan lahir batasan-batasan.

Ketiadaan definisi ini membuka banyak sekali peluang yang bahkan jauh dari bayangan dan tujuan utama ibadah shalat Jumat ini, yaitu berkumpul di dalam satu tempat. Bisa jadi akan membuat jamaah yang berada di tempat dan waktu yang berbeda, lantas ikut shalat Jumat virtual. Seperti Imam berada di Jakarta, tetapi makmun berada di Makassar atau Kalimantan. Padahal, ketiga daerah ini memiliki perbedaan waktu yang signifikan; Waktu Indonesia Barat (WIB) berbeda satu jam dengan Waktu Indonesia Tengah (WITA) dan dua jam dengan Waktu Indonesi Timur (WIT).

Padahal, shalat menjadi wajib ketika sudah masuk waktunya.

إن الصلاة كانت على المؤمنين كتاباً موقوتا

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. An Nisa’: 103)

Melaksanakan shalat duhur di Jakarta pada pukul 10.30 dihukumi tidak sah, karena waktu duhur di Jakarta saat ini (19 Maret 2021) adalah 12.01. Tidaklah mungkin shalat Jumat Virtual bisa dikatakan sah bila imam berada di Jakarta, sementara jamaahnya berada di Makassar; yang jarak keduanya berbeda satu jam. Makassar lebih dulu masuk duhur, sementara Jakarta belakangan. Atau imam berada di Jakarta, sementara jamaahnya berada di Maluku, yang jarak keduanya berbeda dua jam. Di Jakarta baru masuk duhur, sementara di Maluku sudah pukul 14.00. Jamaah di Maluku menunggu dua jam untuk bisa shalat Jumat virtual.

Ketiadaan definisi juga merancukan medium. Dengan perkembangan teknologi sekarang ini medium untuk melalukan kegiatan virtual ada banyak sekali. Hampir semua akun di sosial media bisa melakukan siaran langsung, seperti Facebook, Twitter, Youtube, Zoom, Google, Instagram. Mau menggunakan medium yang mana? Mau menggunakan semuanya? Apakah yakin dengan kekuatan internet di Indonesia?

Menurut Hootsuite, kecepatan internet Indonesia rata-rata 20,1 Mbps, jauh di bawah rata-rata dunia yang mencapai 73,6 Mbps.

Setahun Indonesia mengalami pandemi dan mendorong kita untuk bekerja dari rumah membuat kita menyadari betapa kekuatan internet kita belum bagus-bagus amat. Sering sekali ada saja gangguan terhadap kualitas kekuatan kecepatan internet.

Keempat, shalat Jumat Virtual ini sangat elitis. Hanya mereka yang mampu mengakses internet dan memiliki kuota yang bisa mengaksesnya. Padahal, Shalat Jumat itu termasuk min khashais hadizi al-ummat (di antara keistimewaan umat ini). Untuk ibadah yang mendasar seperti shalat Jumat ini mestinya tidak boleh ada pembedaan antara yang elit dan alit.

Ketiadaan definisi yang jelas juga melahirkan kerumitan yang lain. Yaitu siapakah yang berhak untuk menjadi khatib, imam, atau jamaah Shalat Jumat Virtual ini? Apakah benar orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak keluar sama sekali dari rumah selama setahun ini, sehingga benar-benar memegang prinsip hifdzun nafs secara ketat? Bagaimana kalau ternyata jamaah atau malah khatib dan imam shalat Jumat Virtual ternyata masih bekerja di kantor dalam sebulan beberapa kali; atau ternyata istri dan anggota keluarganya sering berbelanja kebutuhan sehari-hari ke pasar? Jika demikian, maka ini kontradiksi. Untuk kegiatan duniawi tidak ketat menerapkan prinsip hifdzun nafs, sementara untuk ukhrawi malah sangat ketat dan mengambil jalan yang menyalahi ijmak.

Dua pilihan yang diberikan oleh jumhur ulama dan sudah menjadi ijmak, yaitu shalat Jumat menggunakan protokol kesehatan atau shalat duhur di rumah sebagi pengganti shalat Jumat, sudah lebih dari cukup. Siapa pun bisa dengan mudah melaksanakannya.

Jadi, dengan begitu, tidak perlu ada Shalat Jumat Virtual.

[ad_2]

Sumber Berita

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved