Baca juga: Muhammadiyah Tegaskan Negara Tak Boleh Bermazhab kecuali Pancasila
“Apapun kaifiyahnya, substansi yang harus terus kita tingkatkan dalam kaitan bulan Ramadan adalah la’allakum tattaqun, agar kita semakin menjadi orang yang bertakwa, lebih-lebih dalam menghadapi Covid-19 . Karena puasa hadir setiap tahun, maka harus ada peningkatan kualitas,” ajak Haedar dalam Pengajian PP Muhammadiyah pada Jumat malam (12/3).
Perbedaan kaifiyat tidak harus mengganggu kekhusyuan dalam ibadah puasa. Yang harus kita senantiasa dijaga, kata Haedar, adalah kemurnian dan keikhlasan dalam beribadah. Karenanya bulan Ramadan merupakan momen yang tepat untuk tanwir al-qulub, atau mencerahkan hati dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Alasannya, kesucian di bulan Ramadan nanti tidak dipungkiri akan disesaki dengan segudang wacana-wacana yang mengarah pada olok-olokan nir-produktif. Semisal narasi-narasi: salat berjarak disebut-sebut sebagai salat mazhab WHO, mall buka tapi masjid tutup, tidak takut corona takut kepada Allah, dan lain sebagainya.
“Pemahaman yang seperti ini menunjukkan bahwa kita masih merawat sifat congkak dalam hidup. Bahkan mungkin karena motif agama pun bisa masuk dalam kategori tazakku, merasa diri paling suci. Padahal hal itu tidak dibenarkan dalam agama,” kata Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Baca juga: Erick Thohir Resmikan Masjid At-Tanwir Muhammadiyah
Selain tanwir al-qulub, Haedar juga mengajak agar senantiasa tanwir al-afkar atau mencerahkan akal budi. Yaitu dengan mengenali metode istinbath hukum yang sering dipakai Majelis Tarjih dalam memutuskan sebuah persoalan keagamaan. Pendekatan yang dilakukan Majelis Tarjih kerap menggunakan bayani, burhani, dan irfani secara integratif. Termasuk dalam memutuskan awal waktu subuh.
“Pendekatan ini memang belum terlalu lama tapi bagi para anggota, kader, lebih-lebih pimpinan Muhammadiyah itu harus semakin akrab memahami al-Quran, Nadis Nabi, realitas kehidupan dengan pendekatan yang komprehensif-integratif,” imbuh Haedar.