Permintaan terberat yang tidak dapat dipenuhi oleh Nabi Musa manakala bersama Nabi Khidir adalah diam. Ya berdiam, tanpa komentar, sebelum semuanya jelas dan menjadi terang benderang hikmahnya.
Baca Juga: Diam itu Ibadah, Tapi Sedikit yang Melakukannya
Nabi Musa adalah Nabi bagi Bani Israel, seorang yang paling berilmu di masanya. Sampai-sampai, suatu ketika Nabi Musa ketika berdakwah di hadapan kaumnya, ada di antara kaumnya yang bertanya:
“Siapakah orang yang paling berilmu saat ini, wahai Musa?” Riwayat lain menyatakan, “Adakah orang yang terlebih berilmu darimu, wahai Musa?!”
Nabi Musa ‘alahissalam dengan tegas menjawab: “Saya lah satu-satunya, orang paling alim, paling berilmu saat ini!”
Tak lama kemudian, Allah Ta’ala menegur Nabi Musa bahwa masih ada yang lebih berilmu. Dia memiliki ilmu Ladunni yang berada di antara dua pertemuan antara air laut dan air tawar. Nabi Musa penasaran dengan sosok orang berilmu tersebut. Perjalanan Nabi Musa untuk menemui Nabi Khidir bukanlah mudah.
Perjalanan berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, hingga muncullah pertanda ikan yang dibawa menghilang secara misterius di antara dua pertemuan air; yang tanpa disadari oleh Nabi Musa dan seorang pendampingnya yang menurut sebagian mufassir adalah Yusya’ bin Nun yang kemudian nantinya diangkat sebagai salah seorang Nabi Bani Israel.
Singkat cerita, dimulailah pengembaraan ilmu di antara dua orang Nabi itu dengan beberapa ujian kelayakan bagi Nabi Musa diterima sebagai murid Nabi Khidir. Sebelumnya ada dialektika di antara keduanya dimana Nabi Musa bernegosiasi agar diterima sebagai murid dan Nabi Khidir semula meragukannya.