Terlepas Dari Dugaan Sesat, Apa Jadinya Jika Agama Tanpa Bid’ah? – Bagyanews.com
Connect with us

Kalam

Terlepas Dari Dugaan Sesat, Apa Jadinya Jika Agama Tanpa Bid’ah?

Published

on

Terlepas Dari Dugaan Sesat, Apa Jadinya Jika Agama Tanpa Bid’ah?


BagyaNews.comAgama tanpa bid’ah sama dengan agama tanpa produk dialogis antara ia dan pemeluknya. Bid’ah sejatinya adalah kreasi yang merupakan hasil dari pergumulan seseorang yang beragama. Kenapa selalu disesat-sesatkan sih?

Terlepas dari perdebatan soal sesat tidak sesat, apa jadinya jika agama tanpa bid’ah?

Salah satu term yang hangat diperbincangkan oleh para “ustaz” kondang media sosial adalah terkait tentang bid’ah. Mengacu kepada hadis dari nabi, mereka menyebutkan bahwa bid’ah merupakan sesuatu yang sesat (menyesatkan). Dan segala yang sesat (menyesatkan) akan bertempat di neraka.  Bagi orang awam, kehidupan beragama  yang seharusnya “ishlah al-anam” memakmurkan manusia dan bahkan alam semesta justru merupakan sebuah fatamorgana belaka. Dalam artian, doktrin yang digelorakan oleh para “ustaz” ini telah membuat “tembok besar” yang mampu menghalangi nilai-nilai dasar yang terdapat dalam agama, yaitu kemakmuran dan keselamatan. 

Pertanyaan yang paling mendasar adalah, apakah definisi bid’ah yang dikehendaki oleh nabi ketika itu sama dengan apa yang dikehendaki para “ustaz” kondang media sosial itu? Dalam sebuah tulisannya, cendekiawan Muslim Mesir, Yusuf al-Qaradawi pernah menyitir sebuah definisi bid’ah dari cendekiawan Muslim Xativa, Spanyol, ia adalah al-Syathibi, salah seorang yang dianggap sebagai peletak teori dasar Maqashid al-Syariah. Menurut al-Syathibi, bid’ah merupakan cara baru dalam beragama dengan berupaya menandingi syariat  Allah dengan cara yang berlebihan (lihat, Yusuf al-Qaradawi, al-Sunnah wa al-Bid’ah, hlm. 5). Penulis memandang, bahwa pesan utama (maghza) dari pernyataan al-Syathibi di matas adalah “dengan berupaya menandingi syariat”. 

Logikanya, asalkan tidak menandingi syariat yang ditetapkan oleh Allah, apakah melakukan hal yang bid’ah adalah perilaku yang keliru? Tentu tidak. Asal tidak melanggar aturan main syariat, maka perilaku bid’ah sah-sah saja untuk dilakukan. Berikut adalah kegiatan-kegiatan bid’ah yang terus dilestarikan sampai detik ini. 

Shalat Tarawih

Meski sudah banyak yang tahu, tentang siapa proklamator dari shalat tarawih ini. Tapi banyak yang tidak tahu kalau sebenarnya, sahabat Umar r.a. sebenarnya juga mengakui dengan jelas bahwa apa yang diproklamasikan merupakan kegiatan yang mengandung unsur kebid’ahan. Dengan jelas, ia mengatakan bahwa “sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (sholat tarawih). Ini bukam bid’ah syar’i (mengubah atau menandingi tatanan syariat yang telah ditentukan Allah), melainkan sebuah bid’ah lughawi (istilah baru dalam syariat dengan tanpa merubah atau menandingi syariat yang telah ditetapkan oleh Allah) (lihat, Muhammad Alwi al-Maliki, Syariat Allah al-Khalidah, hlm. 108).

Pembukuan Al-Qur’an

Barangkali, tanpa disadari bahwa pembukuan Al-Qur’an ini merupakan kegiatan yang mengandung unsur kebid’ahan. Atau, bahkan bisa dikatakan sebagai bid’ah yang sangat agung. Sebab, nabi tidak pernah melakukan pekerjaan tersebut. Pembukuan Al-Qur’an sebenarnya telah dimulai sejak masa pemerintahan sahabat Abu Bakar r.a., yang atas usulan dari Umar kemudian melakukan proyek untuk membukukan Al-Qur’an. Namun, proyek yang direalisasikan oleh Abu Bakar atas usulan dari Umar ini tidak berjalan masif. Tercatat, dalam masa pemerintahannya, mushaf yang telah dibukukan tersebut kemudian disimpan di rumah Hafshah, putri sahabat Umar r.a.

Proyek ini kembali direalisasikan dengan desain yang lebih baru di masa pemerintahan Utsman ibn Affan. Ia melakukan proyek dengan menyeragamkan mushaf-mushaf Al-Qur’an yang pernah tersedia dengan berbeda-beda. Langkahnya adalah dengan mengirim utusan yang bernama Hudzaifah al-Yamani untuk mengambil mushaf yang berada di rumah Hafshah itu dan kemudian di copy paste (lihat, Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, hlm.227). Kalau biasanya kita melihat tulisan “mushaf Utsmani” ini artinya merupakan produk ijtihad sahabat Utsman r.a. saat menjabat sebagai khalifah. Mushaf ini banyak tersebar di negara kita tercinta, Indonesia. Jika dianalisis lebih lanjut, secara fair mestinya kita akan mengatakan bahwa ini adalah produk bid’ah. Lalu, pertanyaannya adalah mengapa banyak produk bid’ah yang kita pakai, namun mengapa juga banyak yang mengumandangkan istilah bid’ah itu merupakan sesuatu yang sangat amat keji?

Adalah pandangan yang kerdil, jika hanya menghakimi bid’ah dari satu sisi saja dengan mengabaikan sisi-sisi yang lain. Oleh karenanya, mestinya kita lebih mengapresiasi bid’ah sebagai salah satu bentuk kreativitas dalam kehidupan beragama, yang mana Al-Qur’an telah banyak memberi pesan untuk senantiasa berfikir, berinovasi dan berkreasi, seperti firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Nahl : 44 yang artinya “Dan kami menurunkan Al-Zikr (Al-Qur’an) supaya kamu menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. Supaya mereka berpikir“.

Dengan kata lain, agama tanpa bid’ah adalah agama yang kaku, beku dan tidak mampu mencapai momentumnya yang rahmatan lil alamin serta salihun li-kulli zaman wa makan.

Wallahu a’lam



Sumber Berita harakah.id

#Terlepas #Dari #Dugaan #Sesat #Apa #Jadinya #Jika #Agama #Tanpa #Bidah

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved