Senjata Kami Adalah Ilmu, Bukan Pedang – Bagyanews.com
Connect with us

Headline

Senjata Kami Adalah Ilmu, Bukan Pedang

Published

on

Senjata Kami Adalah Ilmu, Bukan Pedang


BagyaNews.comAl-Faqih Al-Muqaddam, leluhur para habaib, dalam satu kisahnya yang sampai mematahkan pedang ketika didatangi tentara kerajaan, “Senjata kami adalah ilmu bukan pedang.”

Beberapa habaib menggembangkan gerakan politik bercorak agama disertai narasi yang cenderung konfrontatif dan kekerasan. Fenomena ini menggelisahkan bukan saja kalangan awam, tetapi juga kalangan habaib yang memiliki tradisi panjang berdakwah secara santun.

Sanad Media menyelenggarakan Webinar Halaqah Kebangsaan dengan tema Manhaj Dakwah Habaib dalam Konteks Keindonesiaan pada Selasa 1 Desember 2020. Habib Husin Nabil Assegaf dan Dr. Haidar Bagir diundang sebagai pembicara.

Dalam sambutan, CEO Sanad Media Muhamamd Tabrani Basya menyampaikan terima kasih kepada kedua pembicara. “Sanad Media mendapat keberkahan dalam webinar pertama ini dapat dihadiri oleh tokoh-tokoh besar seperti Habib Husin Nabil Assegaf dan Dr. Haidar Bagir,” kata dia.

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa Sanad Media merasa terpanggil untuk bersama dengan yang lain melakukan ikhtiar menyuguhkan kegiatan-kegiatan yang meneguhkan Islam rahmatan lil alamin, Islam ahlussunnah wal jama’ah yang mengambil jalan moderatisme, Islam yang ramah dan membawa keberkahan.

Selanjutnya acara webinar dipandu oleh moderator Mabda Dzikara yang memulai dengan memperkenalkan silsisah Bani Alawi dan tarekat Alawiyah. Dia pun menyinggung sosok Al-Faqih Al-Muqaddam dalam satu kisahnya yang sampai mematahkan pedang ketika didatangi tentara kerajaan. “Senjata kami adalah ilmu bukan pedang,” kata Al-Faqih seperti dikutip moderator.

Mendapatkan kesempatan pertama, Habib Husin Nabil Assegaf memulai pembahasan dari bani Alawi keturunan Sayyidina Husain. Rata-rata habaib di Indonesia bermuara pada Bani Alawi dan dakwah mereka selama ini mengedepankan rahmat dan kasih sayang.

Habib Husin menegaskan bahwa tolok ukur seseorang mendapatkan rahmat Allah adalah sejauh mana dia berlemah lembut kepada makhluk lain.  

Mengutip ayat 125 surat an-Nahl, murid Habib Umar bin Hafidzh ini mengingatkan bahwa tujuan dakwah adalah menuju jalan Allah, bukan jalan kelompok, kepentingan golongan apalagi partai politik dai. Dakwah itu harus dengan hikmah, yang artinya ilmu dan kebijaksanaan serta mauizah yang berarti kata-kata bagus, sopan dan tidak menyakitkan.

“Dakwah bukan sekadar menyampaikan kebenaran,” jelas beliau, “namun bagaimana kebenaran diterima objek dakwah.”

“Sekarang terjadi pengobralan label ulama, padahal ulama adalah pemegang kekhalifahan batiniah, yang sedari dulu dipegang oleh keturunan Nabi (Hasan dan Husain serta anak keturunannya),” jelas Habib Husin.

Maka tidaklah mengherankan, terang beliau, jika kalangan Bani Alawi dengan tarekat Alawiyah, yang ajarannya mengkristal pada era Abdullah bin Alawi Al-Hadad, pengarang Ratibul Haddad lebih memilih jalur ilmu ketimbang politik. Perpindahan kekuasaan dari Sayyidina Hasan kepada Muawiyah sebatas kekhalifahan lahiriah saja, karena kekhalifahan batiniah pada hakekatnya masih dipegang oleh dzuriyah Nabi Muhammad SAW.

“Mereka tidak mengejar kekuasaan, karena berkiblat kepada Sayyidina Hasan yang rela menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah dan anak-anaknya. Fokus bani Alawi adalah keselamatan umat.” tegas beliau.

Kemudian Dr. Haidar Baqir berbicara tentang sejarah fenomena Islam Indonesi. Islam Nusantara dalam pandangan beliau (bukan Islam NU-santara), sudah ada semenjak 6 abad lalu, jauh sebelum keberadaan Walisongo, dan menjadi corak Islam di Indonesia hingga awal abad 20 sebelum kedatangan kelompok-kelompok Islam yang lain.

Beliau menjelaskan bahwa itu ditandai dengan interaksi antara orang Indonesia (Al-Jawi) dengan ulama Hadhramaut. Pada abad 14, seorang ulama sufi Abdullah bin Mas’ud Al-Jawi (dari Aceh) menjadi guru dari seorang tokoh sufi di Yaman. Pengertian Jawa pada masa itu mencakup nusantara secara luas.

Lalu datang era Walisongo. Kemudian selama abad 17 dan 18, banyak ulama Indonesia belajar ke Yaman. Sebagai contoh, Syekh Yusuf Makasari ke Yaman bertemu Abdullah Al-Haddad. Murid Al-Haddad, Abdurrahman bin Abdillah berbaiat 30 tarekat kepada Syekh Yusuf, termasuk tarekat Khalwatiyah.

“Masyarakat Indonesia memeluk Islam karena notabene tabiat penduduk Nusantara baik dan kalem dan selaras dengan perangai para pendakwah yang datang dari Yaman,” jelas Direktur Utama Kelompok Mizan itu.

Beliau menggarisbawahi bahwa pertalian Islam di Indonesia selama beradab-abad lebih berbasis tasawuf atau tarekat. “Inilah alasan mengapa Islam tidak hilang meski dijajah selama 350 tahun oleh Belanda,” imbuh beliau.

Selama berada-abad hubungan habaib dan ulama (kyai) berjalan baik antara hubungan antar sahabat dan hubungan antar guru-murid. Dalam qanun asasi Nahdlatul Ulama, tercantum nama tokoh di luar kyai bernama Habi Abdullah bin Ahmad Assegaf, penulis Fatat Garut.

Habib Haidar menyimpulkan bahwa pilar kebangsaan Indonesia, salah satu yang paling kuat adalah Islam yang terkait dengan tarekat Alawiyah sebagai cerminan Islam Nusantara yang sudah mulai ada bahkan sebelum era Walisongo.

Kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Menanggapi pertanyaan dari salah seorang peserta Dalam sesi tentang fenomena metode dakwah yang keras, Habib Husin menjawab bahwa lunak dan keras itu ada tempatnya masing-masing. Cara itu lebih terkait sikap, bukan penyampaian.

Terkait sejauh mana peran wanita dalam tradisi Tarekat Alawiyah, Dr. Haidar Bagir berbagi pengalaman bahwa keluarganya selama ini tidak mengekang kaum wanita. Banyak anggota keluarga beliau yang aktif di ruang publik, membuka usaha, mengurus pendidikan, dan berbagai bidang kemasyarakatan lainnya.

Ketika ditanya tentang dakwah Habib Rizieq Shihab, Habib Husin menjawab bahwa dakwah beliau populer karena memiliki massa banyak. Namun ada pula habib-habib lain yang juga memiliki jamaah tidak kalah banyak dengannya. Beliau menyebutkan antara lain Habib Luthfi dan Habib Jindan.

Dr. Haidar Bagir menjawab dari sisi lain. Dakwah Habib Rizieq bukan dakwah khas Indonesia. Beliau lalu menyebutkan bahwa sekarang sedang terjadi era pengerasan identitas, yang terjadi secara global. Kemenangan Trump di Amerika dalam Pilpres sebelumnya dan kemenangan Modhi di India berangkat dari pengerasan identitas, baik yang berlatar belakang agama, suku atau politik.

Beliau yang masuk dalam daftar 500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh itu menjelaskan bahwa pengerasan identitas terjadi pada masa Post Truth (Pasca-Kebenaran). Yang sedang terjadi di Indonesia adalah pengerasan identitas Islam, yang biasanya menjangkiti kelompok mayoritas. Salah satu faktor terjadinya pengerasan identitas adalah struktur ekonomi dan politik negara belum mencapai tingkat keadilan yang cukup.

Habib Haidar melihat banyak pengikut Habib Rizieq selama ini adalah dari pihak-pihak yang termarjinalkan secara politik dan ekonomi. Solusi mengatasi pengerasan identitas yang mengidap kalangan mayoritas di antaranya adalah memperbaiki struktur masyarakat dan tatanan pemerintahan yang lebih adil.

Sebagai closing statemen, Habib Husin Nabil Assegaf mengingatkan bahwa dakwah harus diniatkan mencari ridha Allah karena niat akan menentukan hasil.

“Dalam berdakwah, kita harus mencontoh jalan Nabi. Prinsip dasar dakwah beliau adalah rahmat dan kasih sayang. Yang harus kita hindari adalah kebencian,” tutup beliau.

Adapun Dr. Haidar Bagir mengingatkan bahwa tugas semua warga Indonesia adalah menjaga agar Islam menjadi agama yang damai dan penuh kasih sayang supaya bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain. “Caranya adalah dakwah dengan cinta, dakwah dengan damai dan dakwah dengan santun,” tutup beliau.

Sebelum ditutup, acara webinar ini dipungkasi dengan doa yang dipanjatkan oleh Habib Husin Nabil Assegaf. Selanjutnya, moderator Mabda Dzikara meminta para peserta untuk melakukan sesi foto bersama.

Sebelum berpisah, Mabda Dzikara mengucapkan terima kasih kepada kedua narasumber dan seluruh peserta. “Insyaallah, akan disambung lagi untuk webinar-webinar Sanad Media selanjutnya,” tutupnya.

Seperti dijanjikan panitia, tiga nama peserta yang terpilih sebagai pemenang dan akan mendapatkan hadiah buku menarik. Ketiga nama peserta yang terpilih adalah Ibu Juhaeriyah, Bakhrul Huda dan Mario Elfando. Sebanyak 200 peserta mengikuti acara lewat Zoom.



Sumber Berita harakah.id

#Senjata #Kami #Adalah #Ilmu #Bukan #Pedang

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved