JAKARTA –
Wakaf selama ini sering kali dipahami sempit sebagai menyerahkan tanah untuk dijadikan masjid, makam, dan madrasah atau sekolah. Padahal wakaf memiliki dimensi lebih luas mencakup bidang-bidang lain yang hasilnya bisa dirasakan oleh masyarakat umum.Wakil Ketua Pelaksana Badan Wakaf Indonesia
(BWI) , Yuli Yasin menjelaskan dalam sejarah Islam, wakaf pertama kali dilakukan Umar bin Khattab. Hal ini didasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra.
Baca juga: Azyumardi Azra Sebut Wakaf Berperan Besar terhadap Kelembagaan Islam
Ia berkata: “Bahwa sahabat Umar memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk. Umar berkata: “Wahai Rasulullah SAW, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?”
Rasulullah SAW bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR Muslim).
“Wakaf itu kuncinya adalah tahan pokoknya dan distribusikan hasilnya,” ujar Yuli Yasin dalam Workshop Jurnalis Wakaf 2022 bertema ‘Penguatan Literasi dan Jaringan Jurnalis Wakaf dalam Pemberitaan Media’ di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (9/4/2022).
Yuli menuturkan dalam sejarah Islam, wakaf terbagi dalam beberapa bidang. Pertama, bidang ibadah yang mencakup masjid termasuk biaya operasionalnya. Kedua, pendidikan, misalnya sekolah, perpustakaan, asrama, dan beasiswa.
Ketiga, sosial, contohnya penginapan bagi musafir, pondokan bagi janda, perhiasan untuk pengantin, bantuan fakir miskin, hingga pengurusan jenazah. Keempat, kesehatan yang mencakup rumah sakit dan unit kesehatan lain. Kelima, ekonomi, seperti pinjaman modal. Keenam, pertahanan, seperti barak-barak dan alat perang.
“Ini seperti dicontohkan oleh Khalid bin Walid yang mewakafkan baju-baju besi dan alat-alat perang,” tutur Yuli.
Banyak contoh praktik wakaf yang kemudian memberikan manfaat luas bagi masyarakat. Misalnya, Universitas Al Azhar di Mesir yang dibangun di atas tanah wakaf dari Fatimah binti Al Khudaewi Ismael. Biaya pembangunannya sebagian diperoleh dari hasil sawah dan penjualan perhiasan.
Lembaga pendidikan yang didirikan pada 975 Masehi itu kini memiliki sekolah dari mulai TK hingga S3. Jutaan orang telah diberikan kesempatan untuk belajar di sana secara gratis. “Pada 2021 saja, sebanyak 106.017 mahasiswa kuliah gratis di Al Azhar,” katanya.
Menurut Yuli, Universitas Al Azhar mampu memberikan manfaat yang luas untuk masyarakat karena aset wakaf yang dimiliki dikelola dengan baik. Hingga usia 1.082, Al Azhar memiliki aset wakaf berupa 2 juta hektare sawah, 120.000 perumahan/perkantoran, 22 perusahaan/pabrik, dan bank syariah.
“Di Singapura, ada juga wakaf masjid yang dimodifikasi menjadi apartemen dan mal,” katanya.
Contoh wakaf produktif lain adalah Tower Zam Zam di Masjidilharam, Mekkah Al Mukarromah. Hotel bintang lima tersebut merupakan aset wakaf milik Al Haramain yang hasilnya digunakan untuk biaya operasional Masjidilharam dan Masjid Nabawi.
Kemudian Masjid Kabir atau Grand Mosque Kuwait yang memiliki aset wakaf berupa Tower Salsabil yang memiliki 44 lantai. Tiga lantai untuk pusat perbelanjaan, sedangkan sisanya untuk perkantoran. Baca juga: Butuh Dana Rp8 Triliun, OJK Ajak Donatur Wujudkan Pendirian 100 Bank Wakaf Mikro
Badan Wakaf Indonesia (BWI) juga telah melakukan hal serupa. Bekerja sama dengan Dompet Dhuafa, aset wakaf di Serang, Banten, dibangun Rumah Sakit Mata Ahmad Wardi dan telah beroperasi sejak 2018. Rumah sakit wakaf ini berkembang dan saat ini telah memiliki Retina dan Glaukoma Center yang diresmikan pada Oktober 2020.
(kri)