Kasus pewajiban jilbab bagi siswi non-muslim bukan barang baru. Kasus ini pernah diangkat dalam riset Ma’arif Institute tentang toleransi di kalangan pelajar di Sumatera Barat beberapa tahun lalu.
Saya selalu berpikir masalah ini tak terjadi begitu saja. Ia berkembang melalui proses yang panjang dan rumit. Karena itu masalahnya memang rumit alias tidak mudah, tidak gampang, atau –bahasa diplomatisnya– membutuhkan proses dan waktu.
Kerumitan itu terjadi dalam jalinan isu berikut. Pertama tafsir atas UU Sisdiknas. Anda yang mengikuti perumusan UU ini akan mengerti perdebatan sengit setidaknya antara, untuk memudahkan pembagian, kelompok religius dan sekuler.
Tujuan pendidikan nasional agar peserta didik “menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,” dan seterusnya menunjukkan titik-titik kompromi sekaligus persaingan cara pandang dua kelompok di atas.
Dalam praktik di lapangan, tujuan itu lantas diterjemahkan menjadi sekolah yang religius berdasar agama mayoritas tertentu. Di Jawa berbasis Islam, di Bali bisa Hindu. Di Bali pernah muncul kasus larangan jilbab bagi siswi muslimah. Persaingan cara pandang itu masih hidup hingga sekarang.
Kedua, bagaimana meletakkan hak asasi manusia dan konsep Indonesia yang Pancasila dan menghormati agama. Muncul pandangan SKB baru-baru ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak menghormati hak asasi manusia, terutama hak beragama. Cara pandang ini muncul dari konsep yang belum bisa memisahkan peran negara dan masyarakat. Katakanlah pandangan itu mencerminkan mirip-mirip teokrasi. Padahal, dengan melarang untuk tidak mewajibkan atau melarang, mereka yang mau berjilbab tetap dijamin. Siswi yang tidak mau berjibab dan berjilbab difasilitasi. Lalu dimana letak pelanggaran hak asasi manusia?
Ketiga, cara pandang menyatukan agama-negara ini juga dipengaruhi, langsung maupun tidak langsung, oleh berbagai regulasi daerah. Salah satunya perda wajib baca al-Quran bagi pelajar sekolah negeri. Seorang wartawan bertanya, di mana masalahnya. “Pemerintah mewajibkan baca al-Quran,” kata saya. Bagi umat Islam membaca al-Quran tentu wajib. Tapi jika ini diwajibkan pemerintah dan ada konsekuensi bagi mereka yang tak lulus, ini bermasalah dan diskriminatif. Sama halnya zakat. Zakat memang wajib, tapi mewajibkan zakat lewat regulasi bermasalah. Kita memang punya UU Zakat. Tapi tak ada satu pun klausul yang menyatakan kewajiban zakat oleh pemerintah.
Keempat, tata kelola pemerintah daerah. Dengan UU otonomi, kita tahu tanggung jawab pengelolaan pendidikan anak usia dini dan nonformal pendidikan dasar (SD dan SMP) ada di tangan pemkab/Pemkot. Pendidikan menengah (SMA dan SMK) dalam kendali pemerintah provinsi.
SKB tiga menteri yang baru keluar memang tepat menyasar pemda dan sekolah. Apakah SKB dapat mengatasi komplikasi kewenangan itu memang pembicaraan tersendiri. Tetapi kebijakan konon bisa melahirkan dampak yang tak diharapkan, positif maupun negatif. Paling tidak, kebijakan itu memberi pesan kuat tentang pentingnya mengatasi masalah ini.
Kelima, kebijakan seragam sekolah Kemendikbud sebelumnya. Pada 2014, kita memiliki aturan soal ini. Secara umum kebijakan ini tampak akomodatif, namun menyimpan beberapa masalah. Misalnya seragam muslimah yang terkesan wajib berjilbab. Padahal soal wajib tidak berjilbab dalam Islam masih khilafiyah.
Keenam, konteks lokal. Satu sisi kasus di Padang itu memerlukan telaah konteks lokal. Bagaimana terjadi, apa yang mempengaruhi, apakah sangat khas dan bersifat lokal? Jika demikian apakah pendekatanya lokal atau nasional? Tapi apakah ada di dunia ini yang khas lokal tanpa terkait dengan isu di luar dirinya?
Ketujuh, jika kasus intoleransi di sekolah memang mulai akut strategi apa yang dilakukan? Menyusun protokol pencegahan intoleransi, mengembangkan program pendampingan sekolah, sanksi dan penghargaan?
Saya ingin menambahkan isu lain. Tapi cukup saya sudahi sampai di sini.