Jakarta, NU Online
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), M. Kholid Syeirazi memberikan catatan kritis kepada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Menurutnya, tugas BPIP jangan sampai menjadi mesin ideologi negara atau mesin indoktrinasi pemerintah.
“Jadi fungsi dari BPIP itu sebenarnya menyiapkan draf-draf tentang bagaimana penerjemahan Pancasila sebagai ideologi prinsip menjadi ideologi kerja. BPIP itu punya tugas-tugas pencerahan bukan indoktrinasi,” ujar Kholid kepada NU Online, Jumat (1/10/2021).
Ia mencontohkan ideologi kerja di dalam sila keadilan sosial. BPIP seharusnya mampu memberikan konsep ekonomi Pancasila di dalam praktik ekonomi yang membaurkan antara mekanisme negara dengan mekanisme pasar.
“Kemudian bagaimana penerjemahan Pancasila di dalam tata kelola sumber daya alam dan tata kelola keuangan atau perbankan kita seperti apa? Jadi, seperti itu menurut saya. BPIP harus melakukan tugas-tugas pencerahan, bukan indoktrinasi,” tegas Kholid.
Sebab jika BPIP melakukan tugas indoktrinasi maka akan kembali ke zaman orde baru. Di era kepemimpinan totaliter Soeharto itu terdapat Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila (BP7) atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
“Saya kira, koridor yang harus dikerjakan oleh BPIP itu adalah penerjemahan Pancasila itu ke dalam ideologi kerja. Jadi memperkaya kemungkinan-kemungkinan turunan Pancasila di dalam mekanisme ekonomi, mekanisme politik, mekanisme sosial, mekanisme budaya, dan mekanisme pendidikan,” terang Kholid.
BPIP, menurutnya, jangan hanya dijadikan sebagai alat melawan fundamentalisme agama tetapi harus mampu menempatkan fundamentalisme pasar selama masih bisa diterima oleh konstitusi negara.
“Jangan kebanyakan melawan fundamentalisme tetapi permisif terhadap fundamentalisme pasar. Karena dua-duanya bukan Pancasila. Pancasila harus moderat di semua hal,” tutur Kholid.
Menurutnya, Indonesia dengan ideologi Pancasila harus mampu melakukan moderasi beragama, moderasi berpolitik, dan terpenting adalah moderasi di dalam pembangunan ekonomi. Pemerintah tidak berpaham etatisme tetapi juga tidak permisif terhadap fundamentalisme pasar, tidak neo-liberalisme, dan kapitalisme ugal-ugalan.
“Kita itu ada di tengah-tengah. Itu rumusan pendiri bangsa yang menerjemahkan sila kelima itu ke dalam sekian pasal, terutama pasal 33. Jadi tugas BPIP itu sebenarnya memberikan draf-draf rekomendasi kepada pemerintah terkait penerjemahan-penerjemahan ideologi prinsip ke dalam ideologi kerja,” ujar pria yang mendapat gelar Doktor Bidang Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia itu.
Pancasila yang diterjemahkan ke dalam ideologi kerja untuk melakukan pembangunan itu harus diwujudkan melalui upaya menjaga kesetaraan antara kota dan desa. Kemudian memberikan mekanisme-mekanisme dari hasil penerjemahan Pancasila itu untuk membangkitkan ekonomi desa.
Kholid menegaskan, Pancasila bukan ideologi langit yang sangat sulit dirumuskan. Sebagai prinsip dan falsafah negara, Pancasila tidak bisa lagi diutak-atik. Tidak perlu pula menjelaskan Pancasila dengan struktur piramida sebagaimana para ideolog. Sebab justru akan membuat masyarakat menjadi bingung dan bahkan jauh dari Pancasila itu.
“Tapi ideologi prinsip Pancasila itu harus dikonversi menjadi ideologi kerja. Kerja-kerja sosial, ekonomi, budaya. Itu semuanya tanpa harus dikemas proyek Pancasila, tapi itu sudah merupakan penerjemahan atau substansialisasi Pancasila,” katanya.
“Jadi bukan sekadar formalisasi Pancasila, orang disuruh berasas Pancasila tetapi kelakuannya tidak Pancasilais, itu yang kita kritisi. Buat apa semuanya disuruh memajang Pancasila tetapi kelakuannya sangat tidak pancasilais,” tambah Kholid.
Ia menyoroti perilaku partai politik di Indonesia yang berasaskan Pancasila tetapi justru semuanya larut dalam arus pragmatisme. Hal itu menandakan bahwa partai politik sesungguhnya tidak memiliki ideologi.
Ketika ada UU Penanaman Modal, misalnya, semua ingin menjebol katup-katup pengaman sosial warga. Mereka menyambut baik terhadap semua investasi yang datang ke dalam negeri. Padahal seharusnya ada ruang untuk terbuka dan ruang untuk tertutup.
“Artinya, tidak semua harus diserahkan kepada mekanisme pasar, kecuali Pancasila itu kemudian diterjemahkan lain di dalam batang tubuh UUD 1945, itu berarti kan perlu konsensus ulang. Jangan-jangan nanti pasal 33 dihapus, pasal 34 tidak perlu, pasal 27 tidak perlu,” terang Kholid.
Ia menjelaskan Pasal 27 UUD 1945 bahwa negara menjamin penghidupan yang layak dengan memberikan lapangan pekerjaan. Dalam hal ini, negara harus ikut campur tangan. Berbeda jika sudah diberlakukan mekanisme pasar sehingga negara tidak bisa ikut campur.
Dalam hal ini, Kementerian Ketenagakerjaan ingin mengadopsi konsep Labour Market Flexibility (LMF) atau fleksibilitas pasar tenaga kerja. Namun kemudian ditolak oleh para buruh di Indonesia. Sebab konsep tersebut dinilai akan benar-benar mengalihdayakan semua tenaga kerja dan dibuat dengan model outsourcing.
“Alih daya itu mungkin-mungkin saja, orang akan pindah dari satu kerja ke tempat kerja yang lain dengan syarat kita itu sudah sepenuhnya menjadi tenaga kerja yang berkeahlian. Kalau berkeahlian, kita bisa loncat kerja ke mana-mana kan,” katanya.
Padahal, tambah Kholid, postur tenaga kerja di Indonesia sebanyak 60 persen merupakan orang dengan pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) ke bawah. Menurutnya, konsep LMF tidak mungkin bisa dipakai di dalam kultur dengan tenaga kerja di Indonesia yang masih seperti itu.
“Nah itu mestinya BPIP menerjemahkan Pancasila itu ke situ, kemudian berikan draf-draf rekomendasi kepada pemerintah. Bukan tetap Pancasila tetapi kemudian ada UU Cipta Kerja yang berorientasi pada fundamentalisme pasar,” pungkasnya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad