Kena apes sekalipun, semisal baju terbakar bukan menjadi alasan atas kapoknya mereka bermain. Nyatanya omelan emak-emak tak cukup menangkal kenakalan anak-anak, justru tidak digubris sama sekali. Benar-benar tidak ada kata kapok dalam aturan main mereka. Petasan dan kembang api ibarat hiburan di tengah gempuran tugas-tugas sekolah. Toh, selama Ramadan jam belajar mereka dikurangi artinya malah membuka kesempatan emas bagi mereka.
Saat melihat anak-anak bermain petasan dan kembang api di depan teras, seperti mengingatkan saya saat masih seumur mereka. Barangkali saya adalah salah satu tersangka ributnya emak-emak ketika tiba-tiba petasan itu membakar baju salah satu teman saya. Sebuah pelajaran berharga bagi saya pribadi membuat trauma membekas sulit dilupakan. Kejadian itu terulang kembali dalam cerita berbeda. Anak tetangga saya bermain petasan di perempatan, kebetulan pula saat itu panen tiba jadi teras depan rumah dipakai menjemur jerami.
Ketika petasan dinyalakan ternyata tidak meledak sama sekali lalu, beberapa saat tercium bau terbakar kemudian timbul percikan api makin lama makin membesar. Akhirnya membakar jerami di teras depan rumah. Sedikit banyak kepanikan dialami seorang bocil usia sembilan tahun itu dengan kaburnya dia dari teras. Dia sempat menangis pula saat dimarahi ibunya dan kena teguran dari tetangga sebelahnya. Barangkali dia merasa sangat fatal kesalahan telah diperbuatnya. Kesalahan itu menjadi pembelajaran besar bagi orang tua karena ulah anak-anaknya harus diberikan perhatian betul.
“Main di sawah aja jangan di teras,” sebuah solusi kurang solutif dalam benak saya, itu tak sengaja saya dengar dari teriakan tetangga komplek sebelah. Benar saja, anak-anak usia SD itu berbondong-bondong menuju sawah membawa korek api, spirtus, dan sejumlah petasan berbagai varian. Mereka paling banyak membawa petasan hasil rakitan sendiri, sering disebut-sebut long bumbung karena bentuknya mirip seperti bumbung atau bambu.
Untuk rupiah yang dikeluarkan berkat bujuk rayu mereka ditambah dari uang patungan perkelompok. Cukup kreatif saya pikir bagi mereka yang bernisiatif membuat petasan sendiri hanya bermodalkan bahan-bahan sederhana. Daya ledak antara petasan buatan dengan langsung dari pabriknya hasilnya juga berbeda. Tingkat ramah tidaknya dengan lingkungan juga bisa dipertimbangkan lagi. Tetapi bukan berarti saya mengamini keamanan petasan.
Ngabuburit kerap kali saya lakukan saat masih di Solo. Suatu ketika saya melewati sawah, rupanya kedatangan saya disambut suara petasan mereka saling bersahutan satu sama lain. Saya yakin pengendara lain yang lewat pasti terganggu. Berkali-kali mereka ditegur bapak petani, hanya mereka balas dengan anggukan setelah itu mencari tempat aman untuk melancarkan aksinya. Saya pikir sawah bukan tempat terbaik untuk bermain. Toh, jalan di sawah terhitung sempit jelas menganggu kenyamanan pengendara dan pejalan kaki. Umumnya anak-anak seperti mereka menghabiskan jatah ngabuburit lewat petasan. Bagi mereka petasan itu bagai penyelamat dari kejenuhan mereka menunggu berbuka. Sekali lagi petasan bukan jalan pintas terbaik, masih banyak cara sederhana lainnya.
Keresahan tingkat dewa saya rasakan saat malam takbiran. Salat isya belum rampung, tepat di atas masjid gemuruh petasan bersahutan meredam suara imam. Itu termasuk tindakan sangat berdosa dan kurang ajar. Apapun agamanya saat beribadah berlangsung itu tidak boleh sampai ada gangguan oleh hal sekecil apapun.
Dalam Islam sendiri diajarkan tentang bagaimana pentingnya rasa toleransi terhadap orang lain baik sesama agama maupun tidak. Pentingnya toleransi itu harus sudah dipupuk sejak dini, semisal berusaha mengalihkan perhatian anak agar fokus beribadah di masjid agar terhindar dari pengaruh petasan. Semestinya sebagai orang tua wajib menegaskan kepada anak-anaknya agar mendidik dari segi ibadah dan akhlaknya tujuannya mudah membentuk kepribadian Islami. Apalagi di bulan yang diberkahi ini seharusnya menjadi ajang momentum terbaik dalam menanamkan sisi religiusitas dalam diri anak-anak.