Pesantren Dan Masa Depan Kerja-Kerja Kontekstualisasi Hukum Islam – Bagyanews.com
Connect with us

Kalam

Pesantren Dan Masa Depan Kerja-Kerja Kontekstualisasi Hukum Islam

Published

on

Pesantren Dan Masa Depan Kerja-Kerja Kontekstualisasi Hukum Islam


BagyaNews.comKontekstualisasi hukum Islam adalah salah satu aktivitas yang dinamis dan tidak pernah berhenti. Islam selalu berupaya untuk merespon berbagai macam problematika dan permasalahan yang muncul sesuai dengan zamannya.

Dewasa ini, masih banyak kita temukan pertanyaan skeptis perihal fungsi dan sumbangsih pemikiran dari lembaga yang disebut dengan “Pesantren” buat bangsa ini. Pertanyaan yang sering muncul ialah seputar fungsi, relevansi, dan jaminan masa depan alumnus pesantren. Padahal, sejak zaman dahulu pesantren merupakan salah satu pilar penting dalam dunia pendidikan dan kebudayaan Indonesia. Pesantren termasuk lembaga edukasi tradisional yang banyak berperan dalam mewujudkan kemerdekaan dan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Termasuk dalam agenda besar kontekstualisasi hukum Islam.

Pesantren menjadi salah satu rahim yang menetaskan para pejuang yang selain militan, juga bertanggung jawab penuh terhadap tugas serta lingkungannya. Bertanggung jawab secara vertikal maupun horizontal dalam melahirkan serta membesarkan Indonesia. Ia merupakan kawah candradimuka bagi para santri sebelum benar-benar diterjunkan ke medan pertempuran. Pertempuran di era milenial ini adalah bagaimana pesantren kemudian mampu melakukan kontekstualisasi terhadap hukum Islam klasik yang sudah dipelajarinya dalam menjawab tantangan zaman. 

Alih-alih pesantren dipuji, ternyata banyak kalangan yang memandang sinis pesantren. Karena dalam perkembangan mutakhirnya, pesantren seolah-olah kehilangan arah dan jati diri dalam mengarungi era modernisasi ini. Pasalnya, hukum Islam yang dipelajari di pesantren -untuk mengatakan tiada guna mempelajarinya dari kitab-kitab klasik- sudah tidak relevan lagi dengan zamannya. Sehingga dibutuhkan kesadaran akan kontekstualisasi hukum Islam klasik dalam menjawab segala persoalan yang terjadi dalam masyarakat.

Sistem pendidikan pesantren pada umumnya terintegrasi antara pendidikan karakter, ilmu agama, ilmu umum, dan keterampilan atau soft skill. Hal ini tak lepas dari kultur pesantren yang terkenal dengan prinsip

 المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح 

Memelihara nilai dan sistem lama yang baik, dan mengadopsi nilai dan metode baru yang lebih baik.” 

Membuka diri untuk terus menerima ide dan gagasan baru yang lebih baik ini kerap diabaikan oleh sebagian pesantren. Ia melihat teks belaka sehingga terpaku dengan teks tersebut dan memutar kembali jarum sejarah ke zaman unta. Sedangkan kalau ia hanya berpegang pada konteks dan melupakan teks, ia akan seperti anak panah yang lepas dari busurnya.

Akibatnya, ada sebagian besar saudara kita yang 100% hendak mengikuti setiap tindakan dan perilaku Rasulullah Saw. mulai cara berpakaian sampai cara makan dan tidur. Tentu tidak keliru kalau mau mengikuti Rasulullah Saw dalam segala hal, tetapi bahayanya bagi mereka yang mengikuti secara tekstual adalah sering menganggap orang lain kurang islami atau kurang sunah bila mengikuti Rasulullah Saw secara kontekstual.

Syekh Muhammad Syaltout (mantan Grand Syekh Al-Azhar) pernah menjelaskan bahwa perilaku dan tindakan Rasulullah Saw itu ada yang bersifat kemanusiaan saja dan karenanya tidak memiliki konsekuensi hukum, dan memang ada yang dilakukan beliau sebagai seorang Nabi yang karenanya memiliki konsekuensi hukum. Dengan bahasa yang berbeda, harus dibedakan antara sunnah ghairu tasyri’iyyah dan sunnah tasyri’iyyah

Perintah Rasulullah Saw, “Solatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku solat”, lalu pertanyaannya, apabila ada sahabat Rasulullah Saw yang solat di belakang beliau lantas mendengar setelah takbir beliau batuk tiga kali, apakah batuk beliau ini merupakan hal yang harus diikuti atau ini hanya sisi kemanusiaan beliau yang kebetulan sedang batuk?

Ada pula kawan yang semangat sekali menyuruh orang lain menggunakan siwak untuk membersihkan mulut dan giginya. Bahkan, untuk memperkuat sunah yang satu ini dikemukakanlah penelitian entah dari mana bahwa terbukti ada manfaat dari siwak itu secara klinis. Pertanyaannya, yang sunah itu memakai alat siwaknya atau membersihkan mulut dan giginya? Apakah tetap dianggap sunah kalau kita ganti siwak dengan sikat gigi?

Repotnya, yang ngotot menggunakan siwak itu sering menganggap yang tidak bersiwak tidak mengikuti sunah Rasulullah Saw. Sikap menghakimi ini yang sering jadi masalah dalam interaksi sosial kita sehari-hari. Lantas, kalau mau konsisten kenapa cuma ngotot bersiwak, tetapi tidak cebok dengan batu seperti yang dicontohkan Rasulullah Saw? Siapa tahu akan ada “penelitian” dari orang Barat yang akan langsung dikutip umat Islam dan di-broadcast ke mana-mana bahwa cebok dengan tiga batu ternyata memberi manfaat luar biasa karena batu secara klinis terbukti lebih baik.

Ditambah lagi, masalah krusial yang disulut pendapat yang menghukumi kufur bagi siapa saja yang memberikan putusan berdasarkan hukum Allah (sebagaimana tertera dalam QS. Al-Maidah, ayat 44). Indonesia pun tidak luput dari stempel kafir. Mereka menyebutnya: negara kafir, negara thagut. Padahal itu, paling maksimal adalah dosa besar. Sementara dosa besar tidak sampai mengeluarkan seseorang dari Islam ke kufur menurut pendapat ahl al-sunnah wa al-jama`ah

Lagi pula, dengan melihat Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah negara syar’i yang sesuai dengan teks-teks dan tujuan-tujuan syariat. Pancasila (sebagai asas yang mendapat kesepakatan) bukan penghalang untuk menerapkan aturan syariat di negara yang berlandaskan atasnya. Dan konsekuensi menjadikan Pancasila sebagai dasar negara adalah seluruh undang-undang negara tidak boleh bertentangan dengan salah satu dari sila Pancasila. 

Jawaban dari berbagai pertanyaan di atas akan tergantung apakah kita memahami teks belaka, atau semata-mata melihat konteks, atau mau “nyetel” dengan pas antara menggunakan teks dan memahami konteks. Sehingga dengan “nyetel” secara proporsional antara teks dengan konteks melalui pertimbangan tujuan (maqashid) dan sabab al-nuzul ayat, kita bisa menjawab tantangan zaman dengan segala bentuk perubahannya yang radikal (disruption) ini.



Sumber Berita harakah.id

#Pesantren #Dan #Masa #Depan #KerjaKerja #Kontekstualisasi #Hukum #Islam

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved