Zakat fitrah memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. Zakat fitrah mengandung banyak hikmah dari segi waktu pelaksanaannya, materi zakatnya, orang yang terkena kewajiban, dan mereka yang berhak menerimanya.
Baca juga: Panitia Zakat Dadakan Apakah Termasuk Amil Zakat?
Muhammad bin Qasim Al-Ghazi dalam kitab “Fathul Qarib” menjelaskan, ada tiga kondisi yang membuat orang wajib membayar zakat.
Pertama, beragama Islam. Kedua, menjumpai waktu wajibnya zakat, yakni akhir bagian dari Ramadhan dan awal bagian dari Syawal. Orang yang meninggal sebelum masuk 1 Syawal tak wajib zakat fitrah, begitu pula bayi yang lahir setelah habis bulan Ramadhan. Ketiga, memiliki makanan pokok yang melebihi dari kebutuhannya dan keluarganya pada saat hari raya atau malamnya.
Meski wajib mengeluarkan zakat, tak semua wajib menanggung sendiri beban kewajiban itu. Si A yang bertanggung jawab atas nafkah si B, wajib mengeluarkan zakat untuk si B.
Misalnya, seorang ayah wajib menanggung zakat fitrah anak-anak yang menjadi tanggungan nafkahnya.
Ibnu Abbas RA meriwayatkan hadis perihal zakat fitrah terutama berkenaan dengan hikmah dan batas waktu pembayarannya.
عن ابن عباس: فرض رسول الله صلّى الله عليه وسلم زكاة الفطر طُهْرةً للصائم من اللغو والرَّفَث، وطُعْمةً للمساكين، فمَنْ أدَّاها قبل الصلاة فهي زكاةٌ مقبولةٌ، ومَنْ أدَّاها بعد الصلاة فهي صدقةٌ من الصَّدَقات رواه أبو داود وابن ماجة وصححه الحاكم
Artinya, “Dari sahabat Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari ucapan sia-sia dan ucapan keji, dan sebagai sarana memberikan makanan bagi orang miskin. Siapa saja yang membayarnya sebelum shalat Id, maka ia adalah zakat yang diterima. Tetapi siapa saja yang membayarnya setelah shalat Id, maka ia terhidup sedekah sunnah biasa,” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Hadis ini sahih menurut Imam Al-Hakim. Dari hadis ini, para ulama menyimpulkan bahwa zakat fitrah merupakan salah satu kebaikan yang dapat menghapus kesalahan dan dosa orang yang menjalankannya sebagaimana keterangan Syaikh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syaikh Alawi Abbas Al-Maliki atas hadits di atas:
“Zakat fitrah merupakan salah satu bentuk kebaikan yang dapat menghapus dosa. Allah berfirman dalam Surat Hud ayat 114, ‘Sungguh, kebaikan itu dapat menghilangkan keburukan.’ Pembayaran zakat fitrah sebelum shalat Id lebih utama. Hikmah di balik itu bertujuan agar orang fakir yang menerimanya tidak melalaikan shalat Id karena sibuk mengemis untuk mencukupi kebutuhannya.”
Baca juga: Konsep Zakat Syari’ah dan Zakat Thariqah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
Lima Waktu
Dari hadis ini juga, pandangan mazhab Syafi’i , membagi pembayaran zakat fitrah ke dalam lima waktu:
Pertama, waktu mubah, yaitu sejak awal hingga akhir Ramadhan. Tidak boleh membayar zakat sebelum masuk bulan Ramadhan.
Kedua, waktu wajib, yaitu waktu akhir Ramadhan dan awal Syawwal. Dalam hal ini, kewajiban bayar zakat fitrah berlaku bagi orang yang mengalami hidup pada sebagian waktu Ramadhan dan sebagian waktu Syawwal meski sejenak.
Ketiga waktu sunnah, yaitu sebelum sholat Id berlangsung. Bisa dikatakan, waktu ini berlangsung sejak malam takbiran hingga pagi sebelum sholat Idul Fitri.
Keempat, waktu makruh, yaitu setelah salat Idul Fitri hingga tanggal 1 Syawwal berakhir, yaitu maghrib hari raya Idul Fitri.
Kelima, waktu haram, yaitu setelah tanggal 1 Syawwal berakhir.
Syaikh M Nawawi Banten dalam “Nihayatuz Zain” mengatakan, “Waktu haram pembayaran zakat fitrah adalah waktu setelah hari raya Id karena sungguh haram memunda pembayaran zakat fitrah. Status pembayaran setelah itu adalah qadha, bukan tunai yang wajib segera dibayarkan jika ia tertunda tanpa uzur. Tetapi jika penundaan pembayaran zakat fitrah karena uzur, pembayaran qadha zakat fitrahnya boleh ditunda atau ditangguhkan.”
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa batas akhir pembayaran zakat fitrah adalah waktu maghrib pada 1 Syawwal, atau maghrib hari raya Idul Fitri. Pembayaran zakat fitrah setelah itu dianggap sebagai pembayaran qadha zakat yang harus segera dilakukan bila penundaan pembayarannya di waktu yang ditentukan tanpa uzur.