NU dan Kiprah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia – Bagyanews.com
Connect with us

Headline

NU dan Kiprah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia

Published

on

NU dan Kiprah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia


BagyaNews.comNahdlatul Ulama (NU) seringkali dilabeli dengan sebutan kolot, ketinggalan zaman dan tradisionalis. Beberapa waktu belakangan, terdapat perubahan dalam tubuh warga NU, khususnya generasi mudanya. Artikel memotret NU dan kiprah pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.

Ketika kita mendengar kata NU (Nahdatul Ulama), maka yang pertama kali terbayang dalam benak kita cap tradisional, kentalnya tradisi lokal, kaum sarungan dan anggapan ketinggalan zaman. 

Berbeda misalnya ketika kita mendengar kata Muhammadiyah, Persis dan yang lainnya maka yang terbayang adalah modernisasi, pembaharuan dan mengikuti perkembangan zaman. 

Dikotomisasi semacam ini muncul karena melihat kebelakang atau sejarah terkait pertarungan wacana tradisi lokal dan Islam yang menjadi representasi munculnya organisasi NU dan Muhammadiyah. Embrional dari pertarungan tersebut menghasilkan perbedaan dikotomis dan stigma NU tradisionalis dan Muhammadiyah serta organisasi lainnya modernis. 

Menurut Ayzumadi Azra, sarjana yang bertanggung jawab dalam menyebarkan dikotomisasi ini ialah Deliar Noer. Dia menulis karya “The modernis muslim moveman in Indonesia 1900-1942” yang diterbitkan di Oxport University pres dan diterjemahkan ke dalam versi  Indonesia. 

Yang menjadi masalah adalah kategorisasi yang dilakukan semacam ini seringkali terkesan menyederhanakan persoalan sehingga berdampak pada Islam itu sendiri. Kemudian adanya pengabaian dari beberapa kalangan terhadap kemungkinan terjadinya proses perkembangan intelektualitas NU. 

Dalam sejarahnya,  organisasi NU mengalami perkembangan corak berpikir dengan ditandai munculnya pembaharuan studi Islam di era 90-an di kalangan anak muda NU. Hal ini sejatinya mematahkan stigma pada organisasi yang dikenal tradisionalis. 

Kehadiran gerakan ini menawarkan angin segar sebagai respon terhadap wacana pembaharuan yang berkembang dan sumbangsih ilmu pengetahuan dalam bidang kajian Islam gaya baru di kalangan tradisionalis. 

Basis anak muda ini berlatar belakang pesantren tradisional yang melanjutkan studinya di pendidikan formal sekuler (kampus) dimana gagasan intelektualnya muncul dari hasil pergulatan terhadap pemikiran Barat, pemikiran dunia Timur Tengah kontemporer dan juga tradisi yang berkembang di Nusantara. 

Secara metodologis, pemikiran para intelektual ini sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan para pendahulu mereka yakni Abdurahman Wahid yang berperan aktif menanamkan dan membangun pemikiran bercorak liberal dan terbuka di kalangan anak muda. 

Pada perjalanannya, generasi intelektual ini membentuk kelompok atau wadah perkumpulan, studi penelitian seperti LKPSM (Lajnah Kajian Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) di Yogyakarta, ELSAD (lembaga Studi Agama Dan Demokrasi) di Surabaya, LKIS (lembaga Kajian Islam Dan Sosial) di Yogyakarta, Lakpesdam NU di jakarta. 

Post-Tradisionalisme Islam

Istilah pos-tradisional pertama kali muncul dalam acara diskusi yang diselenggarakan oleh ISIS (Institute For Social And Institusional Studies), sebuah sebuah LSM yang dikelola oleh anak muda NU Jakarta pada Maret tahun 2000. 

Kemudian terus meluas dan dijadikan landasan ideologis oleh LKIS Yogyakarta dan menjadi sebuah judul buku terjemahan Ahmad Baso dari sejumlah artikel Muhammad Abid al-Jabiri. Kemudian Zaini Rahman menerbitkan buku Post Tradisionalisme Islam,  Menyikapi Corak Pemikiran dan Gerakan PMII. ISIS Jakarta juga menerbitkan buletin yang diberi nama Postra dan kemudian wacana ini semakin matang ketika Lakpesdam NU melakukan kajian yang lebih serius. 

Menurut Rumadi Post Tradisionalisme Islam menjadikan tradisi sebagai basis epistemologinya, yang kemudian ditransformasikan secar meloncat, yakni pembentukan tradisi baru yang berakar pada tradisi miliknya untuk memperoleh etos progresif. 

Secara epistem, Postra mengambil bentuk dengan “mengobyektivisasi” dan ‘ merasionalisasi” atas tradisi. Objektivisasi berarti menjadikan tradisi lebih kontekstual dengan dirinya sendiri sedangkan merasionalisasi artinya menjadikan tradisi lebih kontekstual dengan hari ini. 

Dengan menggunakan optik tradisi maka bagi Rumadi problem Postra sebenarnya adalah bagaimana melakukan pembaharuan pemikiran keagamaan yang tentu harus mengkritik tradisi tetapi di lain pihak harus bergantung pada tradisi sebagai basis transformasi. 

Ada beberapa karakteristik Postra antara lain: 

1. Melepaskan diri dari kungkungan tradisi, namun tidak berarti menolak, tetapi tradisi harus menjadi pijakan dasar untuk melakukan transformasi. Tradisi di sini bisa berarti praktek keberagamaan dan yang paling penting adalah tradisi pemikiran. 

2. Melepaskan beban sejarah, dimana umat Islam tidak merasa menjadi bagian sejarah kemanusiaan universal tetapi sebagai umat yang memiliki sejarahnya sendiri. 

3. Melepaskan diri dari ikatan harfiyah teks dalam menggali pesan keagamaan, dan teks inilah yang sekian lama mengungkung umat Islam. 

Islam Nusantara 

Gerakan pembaharuan NU dapat dilihat dari semakin matangnya gagasan “Islam Nusantara untuk peradaban Islam dan dunia” yang diangkat menjadi tema pada Muktamar NU ke 33. Gagasan ini selain mendapat pujian, kritikan bahkan hujatan di lain pihak ini menjadi diskursus keislaman di Indonesia. 

Islam Nusantara secara akademik menyimpulkan bahwa wilayah kajian ini meliputi kajian geografis, antropologis, sosiologis dan futuristik. Secara geografis meliputi kajian kajian Islam berbasis kawasan, secara antropo-sosio kajian ini meliputi tipologi budaya, politik dan juga etika historis, dan secara futuristik ini merupakan ijtihad mengenalkan masyarakat Islam Nusantara kepada dunia dimasa yang akan datang. 

Ayzumadi azra dalam esainya Islam Indonesia berkelanjutan mengabarkan term Islam Nusantara perspektif akademik mengacu pada Islam Asia Tenggara yang meliputi Indonesia, Brunei, Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina. 

Islam Nusantara juga dapat diperoleh dari gagasannya Gus dur yang merumuskan ‘pribumisasi islam” dimana Gus dur  dengan tegas mengatakan pribumisasi Islam tidaklah mengubah Islam. Melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. 

Tujuannya adalah bagaimana agar Islam dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual. Termasuk kesadaran hukum,  dan rasa berkeadilan, serta bagaimana kebutuhan lokal dipertimbangkan dalam merumuskan hukum tanpa mengubah hukum itu sendiri. 

Atas dasar ini juga Ahmad Sahal, penyunting buku “Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan” meyakini bahwa Islam nusantara merupakan dimensi keagamaan dan budaya yang saling terjalin satu sama lain. Dimensi ini merupakan cara Islam berkompromi dalam memahami batas teritorial yang memiliki akar budaya. 

Gagasan mengenai Islam Nusantara ini bukanlah suatu hal yang baru, dan bukanlah suatu aliran agama baru karena gagasan ini sudah muncul sejak 2008 dan menjadi diskursus bagi NU sejak saat ini, kemudian di STAINU Jakarta sudah dibuka studi mengenai sejarah kebudayaan Islam yang berkonsentrasi di “Islam Nusantara”. 

Inilah beberapa gagasan hasil pembaharuan pemikiran NU yang sarat akan sejarah dimana NU yang di cap sebagai kaum Tradisional justru melakukan suatu gebrakan bagaimana menghidupkan kembali gagasan yang berangkat dari tradisi dan bisa dikontekstualkan dengan kondisi hari ini. 



Sumber Berita harakah.id

#dan #Kiprah #Pembaharuan #Pemikiran #Islam #Indonesia

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved