Bulan Rajab dan Sya’ban merupakan bulan yang utama dalam Islam. Masing-masing bulan memiliki fadhilah tersendiri sehingga disunnahkan untuk memperbanyak amalan sunnah. Banyak hadits maupun qoul ulama’ yang menerangkan keutamaan kedua bulan tersebut, mulai dari puasa sunnah, sedekah, maupun amalan lain yang sering diamalkan oleh para salafush saleh.
Setiap wilayah memiliki cara sendiri dalam memaknai bulan Rajab maupun Sya’ban. Bagi masyarakat Indonesia khususnya Jawa, ada tradisi unik yang dilakukan secara turun temurun yaitu tradisi nyadran. Bagi orang Jawa, nyadran dimaknai sebagai tradisi mengirimkan doa kepada leluhur yang sudah meninggal dunia. Biasanya didahului tradisi bersih kuburan, kemudian dilanjutkan dengan doa bersama dan makan bersama. Tentu masing-masing daerah memiliki keunikan tersendiri dalam pelaksanaan tradisi nyadran, baik dari akar kesejarahan, budaya, maupun kondisi sosial masyarakat wilayah tersebut.
Memang secara sejarah disebutkan tradisi nyadran atau sadranan berasal dari kebudayaan Hindu-Buddha, tetapi ada satu kesamaan nilai hingga para wali membolehkan dengan beberapa catatan sehingga tradisi tersebut tetap lestari sampai saat ini. Menurut Slamet Mulyana dalam Muhammad Solikin sebagaimana dikutip juga oleh Fadjarwati (2014), awalnya nyadran atau çraddha merupakan bentuk penghormatan Hayam Wuruk kepada Gayatri sebagai bentuk ruwatan arwah untuk mencapai kesempurnaan. Tidak menutup kemungkinan isinya adalah doa-doa melalui mantra. Kesamaan ini memiliki kohesi dengan ajaran Islam sebagai bentuk birrul walidain dengan cara mendoakannya. Dalam tinjauan Kastolani sebagaimana dikutip oleh Arifah (2018: 2), memang ada sekat pembeda antara tradisi yang sifatnya dinamis dan agama yang sifatnya mutlak. Pelaksanaan tradisi diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang ada dalam Agama Islam.
Seperti yang sudah disebutkan bahwa tradisi nyadran di masing-masing daerah memiliki perbedaan, begitu juga dengan pelaksanaan nyadran di Dusun Lanjan Kabupaten Semarang. ada beberapa perbedaan yang nampak dari sisi kesejarahan, sosial budaya, maupun konsep pelaksanaan tradisinya.
Mengenai awal mula pelaksanaan tradisi nyadran di Dusun Lanjan memang tidak bisa dipastikan. Merujuk pada kisah tutur masyarakat, saat itu masyarakat sedang dilanda musibah yang cukup berat. Wangsit yang diterima sesepuh desa, kemudian mengadakan ziarah pada hari Jum’at Pahing ke makam Kyai Gusti Sayid Abdurahman yang ada di atas Bukit Manjeran. Atas izin Allah SWT, musibah tersebut mendapatkan jalan penyelesaiannya. Di hari itu juga, dilaksanakan metokan dengan membawa bucu (nasi yang dihidangkan mirip tumpeng) sebagai bentuk tasyakuran bersama satu dusun atas nikmat tersebut.
Pelaksanaan nyadran dilakukan dengan doa-doa Islam. Hal ini disebabkan karena mayoritas (bahkan bisa dianggap seluruhnya) warga Lanjan beragama Islam. Sebelum tasyakuran selalu diadakan ziarah dengan membaca Tahlil. Setelah tahlil selesai dibacakan, kemudian dilakukan doa bersama dipimpin oleh Lebai sebelum tasyakuran itu dilaksanakan. Hal tersebut dilakukan secara turun temurun sampai saat ini.
Ada beberapa hal yang menjadi keunikan adalah pelaksanaan tasyakuran itu sendiri. Bucu yang dibawa dari rumah kemudian dihidangkan berjejeran diatas lembaran daun pisang. Orang-orang bebas mengambil makanan milik siapapun. Bahkan, seringkali ada insiden tukar menukar makanan yang dibawa. Setelah makan bersama selesai, kemudian ditata kembali untuk dibawa pulang sebagai berkatan. Selain tukar menukar makanan, keunikan lain adalah perlakuan terhadap daun pisang yang digunakan alas makanan. Menurut cerita tutur yang ada, dilarang melangkahi atau melewati langsung daun pisang yang sudah dipakai itu, terkecuali jika sudah dipinggirkan atau daun tersebut dibelah ke kanan dan kekiri untuk jalan lewat.
Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini
Dari ulasan diatas, sebenarnya ada beberapa nilai pendidikan selain birrul walidain dalam tradisi nyadran. Pertama, adalah menciptakan koneksitas manusia dengan Sang Pencipta. Ziarah kubur pada dasarnya adalah sebuah upaya pendekatan kepada Allah SWT dengan cara berdoa memohonkan ampunan-Nya untuk manusia yang sudah meninggal. Hal ini terkadang disalahpahami oleh sebagian orang bahwa nyadran sebagai bentuk permintaan kepada mereka yang sudah meninggal. Ada juga yang memaknai nyadran sebagai bentuk kirim leluhur dengan makanan atau hidangan. Berkaca dari uraian diatas, sebenarnya ziarah kubur sebagai wasilah atau penghubung mendapatkan berkah dari Allah SWT melalui orang-orang saleh seperti para ulama’ atau wali sehingga masalah yang dihadapi oleh manusia yang masih hidup bisa terselesaikan. Dalam bahasa lain, doa atau zikir inilah sebagai bentuk hablum minallah.
Pelajaran yang kedua adalah nilai kepedulian sosial. Jika zaman dahulu dimaknai sebagai bentuk empati dan simpati saat mendapatkan musibah, pemaknaan zaman sekarang bisa dimaknai sebagai bentuk kepedulian sosial untuk merekatkan tali silaturahmi, bertegur sapa, dan sebagainya. Selain itu, tradisi ini mengajarkan kesetaraan kepada sesama manusia. Manusia sebagai ciptaan Allah SWT yang memiliki sifat fana sekaligus manusia yang mampu membentuk koneksitas sosial atau hablum minannas. Manusia diajarkan untuk berbuat baik kepada sesamanya saat hidup sehingga kelak menuai amalan itu dengan baik pula.
Pelajaran yang ketiga adalah rasa syukur terhadap nikmat Allah SWT atas nikmat berupa makanan. Agama Islam sangat melarang bertindak sia-sia terhadap makanan. Larangan melangkahi daun tersebut sebenarnya merupakan upaya pendidikan bahwa satu butir nasi adalah karunia Allah SWT yang amat berharga. Maka, jangan dianggap sepele dengan tindakan-tindakan pelecehan atau semena-mena terhadap makanan.
Pelajaran-pelajaran itulah yang seharusnya diketahui oleh generasi saat ini. Para wali dan ulama’ memberikan pelajaran moral kepada kita melalui tradisi nyadran ini agar kita mau berfikir menggunakan akal kita sebagai bentuk tafakur atas semua ciptaan-Nya, kemudian mengambil pelajaran yang baik dari hal tersebut untuk diamalkan dalam keseharian kita.