Namun, menurut Buya Yahya, pimpinan Pondok Pesantren Al Bahjah dalam sebuah kajian di kanal di youtube-nya, mengarahkan hukum mengenai kotoran hewan najis atau tidaknya tergantung dari orang tersebut termasuk was-was atau tidak.
Baca juga: Berlebihan Memburu Keindahan, Hal yang Sering Diremehkan Kaum Wanita
Hal ini tak lain ialah jika orang yang memiliki penyakit was-was, akan sangat berdampak pada lingkungan sekitar. Bisa-bisa niatnya ingin suci dan bersih, namun malah menyinggung perasaan orang lain lantaran sikap was-wasnya ini. “Maka anda ikut mazhab ini demi penyakit (was-was) anda,” jelas Buya Yahya.
Dalam pandangan ulama fiqih, ada kaidah bahwa binatang yang tidak memiliki darah merah, seperti serangga, dan sebangsanya, bangkainya tidak najis. Demikian pula kotorannnya.
Baca juga: Sikap Tolong Menolong dalam Islam
Ibnu Qudamah –ulama Mazhab Hanbali– mengatakan:
مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ ، فَهُوَ طَاهِرٌ بِجَمِيعِ أَجْزَائِهِ وَفَضَلَاتِهِ
“Binatang yang tidak memiliki darah merah mengalir, dia suci, sekaligus semua bagian tubuhnya, dan yang keluar dari tubuhnya.” (Kitab al-Mughni).
Hal yang sama juga disampaikan ar-Ramli –ulama Mazhab Syafii– dalam an-Nihayah: “Dikecualikan dari benda najis (tidak termasuk najis), bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir ketika dilukai, baik karena tidak memiliki darah sama sekali atau memliki darah, namun tidak mengalir.” (Kitab Nihayah al-Muhtaj).