Ngaji saat bulan Ramadhan di Alfadllu tentu beda dengan selain bulan Ramadhan. Kalau di bulan-bulan lain, Pondok Pesantren Alfadllu, sebagaimana umumnya pesantren lain, menerapkan sistem madrasah, di samping ngaji bandongan yang merupakan program ekstrakulikuler pesantren. Di bulan Ramadhan, model ngaji sistem madrasah ini diliburkan, yang ada ngaji model bandongan yang disebut ngaji puasanan atau ngaji pasaran.
Di bulan Ramadhan, berbagai macam kitab dikaji di Alfadllu. Mulai dari yang tipis hingga yang tebal. Santri-santri pun bebas memilih ikut ngaji kitab yang tersedia, sesuai dengan minat dan kemauan.
Santri-santri yang rajin, baik yang asli santri Alfadllu maupun santri pesantren lain yang ngaji puasa di Alfadllu, biasanya memilih banyak kitab. Dari pagi hingga malam mereka sibuk dengan ngaji. Tapi bagi santri yang kurang rajin, dan saya termasuk di dalamnya, hanya memilih beberapa kitab, kadang malah hanya satu kitab dan satu waktu.
Dari sekian ragam ngaji yang digelar di Alfadllu, yang paling dinantikan dan yang menjadi daya tarik santri-santri pesantren lain ngaji puasanan di Alfadllu adalah ngaji bersama Kiai Haji Dimyati Rois, atau yang akrab dipanggil Abah Dim.
Abah Dim mulai ngaji setelah salat Terawih selesai. Kalau ingatan tak khilaf, di beberapa bulan Ramadhan ketika saya di Alfadllu, Abah Dim membacakan kitab Washiatul Mustafa, Jawahirul Bukhori, dan lain sebagainya.
Akan kita dapati pemandangan yang apik di proses ngaji kitab dengan Abah Dim. Para santri terlihat khusuk duduk rapi, mulai dari dalam ndalem (rumah) Abah Dim hingga di emperan.
Saya pernah mengalami, lagi-lagi kalau ingatan tak khilaf, Abah Dim istirahat di tengah-tengah ngaji, dan selang satu atau dua jam ngaji dilanjutkan lagi. Bahkan pernah, kalau tak salah ingat, sampai menjelang sahur.
Abah Dim termasuk “Kiai Jawa”. Maksudnya, dalam membaca kitab kuning secara detail menyebutkan makna dan posisinya seperti “utawi”, “iku” dan lain sebagainya. Ketika membuat ruju’ seperti pengembalian kata ganti (dhomir) atau kata tunjuk (isyarah) atau yang lain, beliau sangat jelas. Bahkan jika ada ruju’ yang kembalinya ke kata kerja (fi’il) oleh Abah Dim kata kerja itu dijadikan kata benda dulu (masdar), mirip seperti di kitab syarah.
Di tengah-tengah ngaji, kadang-kadang Abah Dim juga menyelipkan humor dan kisah. Salah satu kisah yang pernah dikisahkan Abah Dim adalah kisah Imam Syafi’i. Begini kira-kira kisahnya:
Waktu itu, di tengah-tengah mengajar di siang hari bulan Ramadhan, tiba-tiba Imam Syafi’i menepi dan meminum air zam zam.
Tentu, apa yang dilakukan Imam Syafi’i mengundang tanya banyak orang yang mengaji kepada beliau. Imam Syafi’i pun menjawab:
“Aku durung wajib kok (Saya belum wajib kok),” kata Imam Syafi’i sebagaimana dikisahkan oleh Abah Dim sambil tersenyum khas, yang diikuti tawa kecil para santri.
Saat itu, menurut Abah Dim, Imam Syafi’i masih berumur dua belas tahun, belum baligh, sehingga belum wajib berpuasa. Padahal yang mengaji kepada beliau adalah para ulama di Makkah waktu itu.
Ada momen lain yang dirindukan ketika ngaji bulan Ramadhan di Alfadllu, yakni ketika berbuka puasa.
Abah Dim menyediakan makanan buka puasa gratis untuk para santri, dan masyarakat yang bermaksud berbuka di situ. Biasanya, kisaran pukul lima sore, para santri senior mulai menata piring yang berisi nasi, lauk, dan teh hangat. Abah Dim juga sering terlihat keluar masuk rumah di momen itu. Tampaknya beliau memastikan kerapian proses pembagian buka puasa itu.
Ketika waktu Maghrib tiba, kita para santri pun berbuka bersama di depan rumah Abah Dim. Suatu momen yang sampai sekarang sering saya dirindukan.
Ngaji waktu Ramadhan di Alfadllu semakin terasa istimewa karena letaknya yang berada di Kaliwungu. Kita akan dapati para santri lalu lalang secara di Kaliwungu terdapat banyak pesantren.
Saya juga masih ingat di pertengahan Ramadhan, kalau ingatan tak khilaf malam tanggal 13, ada haul al-Magfurlah Kiai Irfan, atau yang lebih dikenal dengan Mbah Irfan, pendiri Pondok Pesantren APIK Kauman Kaliwungu yang digelar di Masjid al-Muttaqin Kaliwungu. Biasanya Abah Dim juga hadir dan mengisahkan manakib atau biografi Mbah Irfan. Tentu momen ini yang kita tunggu, dan kita dengarkan kisah Mbah Irfan itu dengan antusias
Terakhir, di antara yang ditunggu di momen haul ini, apalagi sebagai santri, adalah makan nasi kuning yang telah disediakan di akhir acara.
Begitu kira-kira pengalaman saya ketika ngaji Ramadhan di Alfadllu Kaliwungu.