Baca juga: Nasehat Abu Hurairah Tentang Mengoreksi Aib Sendiri
Apa yang dikatakan Ibnu Amr ini selalu relevan. Pada zaman sekarang, banyak orang yang berani memikul beban berat di luar kapasitasnya. Banyak orang yang “setengah matang” berani mengeluarkan fatwa dalam masalah-masalah besar, yang seandainya diberikan kepada para ulama, mereka tidak langsung menjawabnya dengan serta merta.
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi dalam bukunya berjudul Cambuk Hati Sahabat Nabi mengatakan urusan fatwa masalah agama, terutama masalah-masalah besar yang menyangkut nyawa, negara dan sebagainya, bukanlah masalah yang enteng, tetapi masalah yang maha berat, karena dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. “Lebih-lebih di zaman sekarang yang serba media, pasti langsung heboh dan viral,” tuturnya..
Imam Malik berkata, “Ada seorang bercerita padaku bahwa dia pernah masuk kepada Rabi’ah yang sedang menangis. Dia bertanya: Apa yang membuat anda menangis? Apakah ada musibah menimpa dirimu?
Robi’ah menjawab: Tidak, namun karena seorang yang tidak berilmu dimintai fatwa!! Beliau juga berkata: “Sebagian orang yang berfatwa di sini lebih berhak untuk dipenjara daripada pencuri”. (Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr, no. 2140)
Baca juga: Syariat Islam Mengatur Cara Anak yang Menasehati Orang Tua
Sedangkan Ibnu Sholah berkomentar, “Semoga Allah merahmati Rabi’ah, bagaimana seandainya beliau mendapati zaman kita?! Laa Haula Walaa Quwwa ta Illa Billahi. Hanya kepada Allah kita mengadu dan Dia adalah sebaik-baik penolong. (Adabul Mufti wal Mustafti hlm. 85)
Sementara itu Ibnu Hamdan berkomentar: ”Maka bagaimana seandainya beliau melihat zaman kita, dan beraninya orang-orang yang tidak berilmu untuk berfatwa, padahal sedikit pengalamannya dan buruk sirahnya dan rusak niatnya”. (Shifatil Mufti wal Mustafti, hlm. 142).
Selanjutnya Ibnul Jauzi berkata: ”Ini adalah ucapan Rabi’ah padahal waktu itu para tabiin masih banyak jumlahnya, lantas bagaimana kiranya kalau dia melihat zaman kita?Sesungguhnya yang berani berfatwa adalah orang yang tidak berilmu karena kurangnya agama”. (Ta’zhimul Fatwa, hlm. 113).