Ma’mun Murod Al-BarbasyRektor Universitas Muhammadiyah JakartaIslam adalah agama yang mengajarkan pentingnya mengintegrasikan ibadah vertikal (hablun mina-Allah) yang bersifat ritualistik dan horisontal (hablun minannas) yang bersifat sosial dan kemanusiaan. Dalam banyak dalil naqli, baik Alquran maupun al-Hadis, dimensi horisontal bahkan menjadi penekanan.
Dalam Islam, ending keberagamaan seseorang dinilai dari kemampuannya menghadirkan beribadatan yang berdimensi horisontal. Pentingnya integrasi peribadatan ini tergambar dalam ibadah-ibadah mahdhah seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Empat ibadah ritual ini bukan hanya berdimesti vertikal, tapi juga mengandung pesan-pesan fundamental yang berdimensi horisontal.
Melalui peribadatan yang ritualistik, ada pesan yang hendak disampaikan bahwa dimensi ibadah yang ritualistik hanya salah satu tahapan bagi seseorang Muslim untuk menjadi hamba yang paripurna. Ada tahapan lainnya yang lebih fundamental yang mesti dilalui, yaitu tahapan peribadatan horisontal yang berdimensi sosial dan kemanusian. Tahapan ini merupakan esensi peribadatan seorang Muslim. Maka tak boleh puas dan bangga ketika ibadah seorang Muslim baru sampai pada tahapan ibadah vertikal, sementara abai terhadap ibadah sosial dan kemanusiaan.
Kenapa Islam mengajarkan pentingnya mengintegrasikan peribadatan? Untuk menjelaskan lebih jauh, saya mencoba mencontohkan puasa. Puasa selain merupakan ibadah ritual, juga di dalamnya sarat dengan pesan-pesan sosial dan kemanusiaan. Pesan-pesan sosial ibadah puasa tampak jelas tergambar dalam ayat-ayat Alquran yang berkenaan dengan puasa. Sebut saja QS. al-Baqarah: 183-185. Pada tiga ayat ini pesan ritualistik puasa tidak tampak. Justru yang tampak adalah pesan sosial kemanusiaan.
Ayat 183 menegaskan pentingnya puasa. Ayat ini menyebutkan bahwa puasa bukan hanya diwajibkan kepada umat Muhammad saw, tapi juga pada umat-umat sebelumnya. Begitu pentingnya puasa, dalam Tafsir al-Misbah, Quraisy Shihab sampai menegaskan bahwa andai pun yang mewajibkan puasa itu presiden, gubernur atau bahkan ketua RT sekalipun, maka wajib dijalankan.
Lalu, di mana letak pentingnya puasa? Terjawab di dalam Ayat 184 dan 1985. Dua ayat ini menekankan pentingnya puasa dalam dimensi sosial dan kemanusiaan. Pada dua ayat ini terdapat dua hal penting yang diulang terkait dengan keringanan (rukhsah) bagi mereka yang dibolehkan untuk tidak berpuasa, yaitu mereka yang sakit dan berpergian. Dua golongan ini disebutkan di dalam ayat 184 dan 185, namun dengan perlakuan yang berbeda. Kedua golongan ini sama-sama diminta untuk mengganti puasanya pada hari yang lain.
Namun ada perbedaan perlakuan. Pada ayat 184, dua golongan ini diberikan opsi lain, yaitu membayar fidyah kepada seorang miskin dan bahkan dianjurkan lebih dari seorang dan penekanan bahwa mengganti puasa jauh lebih baik daripada membayar fidyah. Sementara pada ayat 185 tak ada opsi membayar fidyah. Allah bahkan memberi rukhsah lainnya dengan mengatakan: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”.
Harapannya, melalui integrasi peribadatan puasa, akan membawa perubahan, bukan hanya dalam pengertian privat (yang ritualistik), tapi juga, dan ini jauh lebih penting, adalah terjadinya perubahan sosial dan kemanusiaan ke arah lebih baik, uatamanya dalam konteks perubahan politik dan ekonomi, pemerataan keadilan, dan adil dalam penegakkan hukum. Semoga.
(hdr)