Sehingga masa-masa tersebut menjadi penanda penting akan masa depan kesejarahan, kebudayaan, maupun wujud keislaman di Jawa, yang secara periode dikenal sebagai zaman para Wali atau zaman Kuwalen. Kemudian Prof M.C. Ricklefs dalam bukunya Mengislamkan Jawa menerangkan bahwa di awal abad XVII, Sultan Agung turut melakukan ikhtiar untuk menggabungkan antara Islam dengan kejawaan, yang diantaranya ditandai dengan sistem penanggalan baru, berupa penyatuan penanggalan hijriah dan jawa.
Selanjutnya pada ranah literatur, Sultan Agung memperkenalkan karya-karya yang banyak terinspirasi dari ajaran Islam. Salah satunya Kitab Usulbiyah, didalamnya menggambarkan tentang sosok Nabi Muhammad SAW mengenakan mahkota emas dari Majapahit, dan dari kitab itu, kita mendapatkan gambaran utuh tentang penyatuan dua simbol besar : Islam dan Jawa, yang oleh Prof M.C Ricklefs disebut sebagai sintesis mistik, dan melalui sintesis tersebut telah menumbuhkan beberapa paradigma keagamaan diantaranya : menjadi orang Jawa berarti menjadi muslim. Maka bisa dipahami bersama bahwa identitas Jawa dengan berbagai elemennya telah menyatu dengan Islam. Sehingga bisa disimpulkan secara historis, antropologis, teologis, Jawa dan Islam adalah satu tubuh. Dan karakteristik Islam Agraris sendiri merupakan bagian dari dimensi manunggal Jawa dan Islam.
Sholawatan merupakan bagian penting dari masyarakat kita, dan di banyak momen, sholawatan seringkali turut membersamai, dan dibaca secara syahdu, khusuk, bahagia. Sholawatan secara umum bisa ditemukan saat menunggu sholat berjamaah, istighosah, maupun agenda aqiqoh. Penulis sendiri pernah mengamati acara aqiqoh di Dusun Belung yang rangkaian isinya membaca bait-bait sholawat yang terdapat dalam Kitab Dalail Khairat karya Syekh Muhammad bin Sulaiman al Jazuli. Kemudian Habib Novel Bin Muhammad Alaydrus dalam bukunya Shalawat Jalan Selamat menerangkan tentang keutamaan shalawat, diantara penjelasannya, “Barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali saja, maka Allah bershalawat kepadanya sebanyak sepuluh kali” (HR Imam Muslim), lalu dalam penjelasan selanjutnya, Habib Novel menyampaikan agar selalu shalawat dalam berbagai keadaan, dimanapun, dan kapanpun. Hal ini berdasarkan pada hadist, “Jangan jadikan makamku seperti hari raya, dan bershalawatlah kepadaku, sebab sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada” (HR Imam Abu Dawud). Berangkat dari hadist tersebut, maka kita bisa sangat memahami secara intelektual maupun spiritual, jika didalam pola rutinitas masyarakat kita, sholawatan selalu nomor satu dan telah menyatu dalam tubuh kebudayaan kita.
Lantas dalam bukunya, Habib Novel menjelaskan secara rinci tentang macam-macam shalawat, beberapa seperti Shalawat Ibrahimiyyah, Shalawat Manzilul Muqarrab, Shalawat Awwalin, Shalawat Munjiyah, Shalawat Nariyah, Shalawat Fatih yang kesemuanya mengandung rahasia, keberkahan, dan mendatangkan syafa’at Rasulullah Muhammad SAW. Lalu dalam masyarakat Jawa sendiri, shalawat mempunyai beberapa bentuk isi, dan termasuk kekayaan intelektual serta spiritual masyarakat Jawa bahkan nusantara. Diantaranya ada Shalawat Badar yang merupakan karya dari KH Ali Mansur, Banyuwangi (laduni.id), Shalawat Ilmu karya Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura (islam.nu.or.id), Shalawat Nahdliyah karya KH Hasan Abdul Wafi, Probolinggo (iqra.id), Shalawat Li Khomsatun karya KH Hasyim Asy’ari, Jombang (iqra.id). Kemudian terdapat pula Shalawat Emprak yang berkembang di Piyungan, Jogjakarta (Islami.co) dan selanjutnya ada Shalawat Salalahuk yang rutin dibaca oleh masyarakat Dusun Belung, Desa Kawedusan, Kec.Plosoklaten, Kediri, Jawa Timur. Shalawat Salalahuk tersebut menjadi amalan istiqomah untuk dibaca berjamaah di masjid, pasca menjalankan sholat terawih.
Berkaitan dengan Sholawat Salalahuk yang selalu dibaca oleh masyarakat Dusun Belung setelah berjamaah sholawat terawih. Pada dasarnya mempunyai dimensi historis, teologis, maupun sosiolinguistik yang menarik untuk dipelajari bersama, dan ketika penulis melakukan wawancara dengan Ketua RT Dusun Belung tentang nama sholawat yang rutin dibaca pasca sholat terawih, maka beliau menjawab, “Sholawat Salalahuk”, dan saat penulis tanya lebih lanjut tentang riwayat munculnya Sholawat Salalahuk di Dusun Belung, beliau menjawab, “Aku ngak ngerti, tapi sejak mbah-mbahe biyen, wes onok Sholawat Salalahuk”. Kemudian penulis bertanya lagi kepada warga lain di Dusun Belung, yang statusnya merupakan adik kandung dari Pimpinan Pondok Pesantren Malangsari, Dusun Belung, dan dengan redaksi pertanyaan yang sama tentang riwayat Sholawat Salalahuk, beliau menjawab, “Biyen sing termasuk mempelopori pembacaan Sholawat Salalahuk yo iku Mbah Marzuqi (almarhum)” . Tentang Mbah Marzuqi sendiri, beliau adalah warga Dusun Belung yang hidup di sekitar masa penjajahan Belanda-Jepang hingga Orde Baru.
Maka berdasarkan pada informasi tersebut, mengacu pada masa hidup Mbah Marzuqi, bisa ditafsirkan bahwa setidaknya masyarakat Dusun Belung telah mengenal Sholawat Salalahuk sudah semenjak tahun 1900- an awal, walaupun sangat mungkin juga Sholawat Salalahuk sudah dikenali oleh masyarakat Dusun Belung sejak masa sebelumnya, di era Kesultanan Mataram. Selanjutnya tradisi membaca Sholawat Salalahuk juga bisa ditemukan di daerah Trenggalek, fakta ini berpatok pada Mbah Kyai Asror, Pimpinan Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien di Dusun Bendo, Desa Ngadirejo, Kec.Pogalan,Trenggalek, yang saat penulis tanya tentang Sholawat Salalahuk, beliau menjelaskan bahwa di daerahnya juga turut membaca Sholawat Salalahuk. Kemudian Mahsun Ismail yang pernah menjabat Ketua PC GP Ansor Trenggalek, menceritakan pula bahwa ia menyimpan teks Sholawat Salalahuk yang ia dapatkan dari kakeknya. Dan teks tersebut menjadi pedoman baginya, saat menyelenggarakan Festival Bedug Salalahuk di Trenggalek tahun 2009 (nutrenggalek.or.id). Adapun secara praktek tradisi, antara Dusun Belung dan Dusun Bendo saling mempunyai kemiripan dalam pembacaan Sholawat Salalahuk, yaitu sama-sama dibaca pasca Sholat Terawih.
Kemudian inti rangkaian kalimat dari Sholawat Salalahuk yang dibaca oleh masyarakat Dusun Belung berisi tentang doa, ajaran sifat wajib Allah, syahadat, sejarah Nabi dan sholawat pada Kanjeng Nabi. Berikut ringkasan isi dari Sholawat Salalahuk tersebut:
“Kanjeng Nabi Muhammad iku utusane Allah, kawulane Allah, kang rama Raden Abdullah, kang ibu Dewi Aminah, Ingkang lahir ono Mekkah, hijroh ing Medinah, jumeneng ing Medinah, gerah ing Medinah, seda ing Medinah, sinarekaken ing Medinah, Bangsane Bangsa Arab, Bangsa Rasul, Bangsa Quresy.”
Maka berfokus pada isi Sholawat Salalahuk tersebut, menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina dalam bukunya Sosiolinguistik : Perkenalan Awal diterangkan bahwa bentuk bahasa yang berkembang dalam masyarakat tertentu bisa dilihat melalui perspektif sosiolinguistik. Dan Sholawat Salalahuk yang secara tata linguistik terdapat relasi antara bahasa Arab dan Jawa, serta telah lama diamalkan dalam masyarakat Dusun Belung, sejatinya secara sosiolinguistik bisa diposisikan sebagai sistem berbahasa yang menyejarah dan berhubungan erat dengan sejarah dakwah Islam, sebab Sholawat Salalahuk diyakini oleh masyarakat Dusun Belung, sebagai bentuk sholawat yang telah diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga menjadi tradisi para petani yang rindu pada Kanjeng Nabi.