BagyaNews.com – Muhammad Natsir adalah salah satu dari sekian banyak tokoh pembaharu Islam di Indonesia. Kontribusinya dalam bidang pemikiran Islam patut diapresiasi.
Muhammad Natsir lahir pada 17 Juli 1908 yang merupakan seorang ulama, politikus dan pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia. Sebagai seorang ulama di bidang keagamaan beliau juga merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi serta menjadi tokoh terkemuka Islam di Indonesia. Dalam karirnya pernah menjabat sebagai perdana mentri pertama Indonesia selama era presiden Soekarno. Serta di kancah internasional pernah menduduki jabatan sebagai Presiden Liga Muslim Dunia dan ketua Dewan Masjid di Dunia.
Dalam menjalani studinya Muhammad Natsir juga berkecimpung di bidang jurnalistik, beliau juga mendirikan surat kabar yang bernama “Pembela Islam” bersama dengan tokoh lainnya di tahun 1929 hingga 1935. Kegiatan menulisnya dengan ruang lingkup agama beliau curahkan pada berbagai majalah Islam, seperti majalah Pandji Islam, Pedoman Masyarakat dan Al-Manar. Islam menurut Nasir adalah suatu unsur yang tidak terpisahkan dari budaya Indonesia.
Sebagai tokoh pembaharu Islam yang mempunyai latar pendidikan Belanda tidak membuatnya melakukan upaya westernisasi dalam pendidikan Islam. Kendati karena ia sangat memperhatikan pengaruh dari pendidikan Barat apabila diberikan untuk generasi muda khususnya Islam. Ia berkeinginan kuat untuk melawan kolonialisme Belanda pada saat itu dengan cara pendidikan.
Karya pemikiran Muhammad Natsir dituang ke dalam buku “Capita Selecta” salah satu dari sekian pemikiran-pemikirannya dimana pembahasan “Tauhid Sebagai Dasar Didikan”. Pengertian tauhid sendiri adalah sebuah dasar dalam agama Islam dengan pengucapan La ilaha illallah yang berarti tiada Tuhan selain Allah.
Pandangan Natsir bahwa mengenal Tuhan, mentauhidkan Tuhan serta mempercayai dan menyerahkan diri kepada Tuhan harus dijadikan landasan terhadap pendidikan yaitu kepada generasi yang sedang dididik. Jika sebagai pendidik ataupun orang tua benar mencintai anak didik yang telah Allah amanahkan kepada kita.
Suatu pendidikan yang diberikan tidak dilandasi ketauhidan dianggap telah melakukan satu kelalaian yang sangat besar, dimana tidak kurang besar bahayanya dari pembelajaran kepada anak yang sedang dididik. Meskipun di luar ruang lingkup pendidikan seperti kesempurnaan makanan, minuman, perhiasan dan pakaian yang telah dicukupkan beserta ilmu pengetahuan yang luas guna bekal hidupnya maka semua itu tidak mempunyai nilai jika meninggalkan dasar ketuhanan.
Contoh sikap dalam mendidik seorang anak dengan ketauhidan terdapat dalam Q.S Al-Lukman ayat 13-14, yang berbunyi:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Q.S. Al-Lukman ayat 13).
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Al-Lukman ayat 14).
Demikian penggalan dua ayat tersebut memberi contoh serta menjadi isyarat kepada masing-masing orang tua yang memiliki anak dimana pembelajaran dipupuk dengan ketauhidan agar anak selalu mempunyai komunikasi dengan Tuhannya serta terciptanya “tali Allah” yang menjadi tempat anak didik untuk bergantung.
Menurutnya hubungan yang terjalin antar manusia dapat dilakukan kapanpun namun hubungan antara makhluk dengan Sang Pencipta tidak boleh di sia-sia kan. Didalam hati Allah harus senantiasa disertakan. Karena menanamkan ketauhidan dalam diri akan terpelihara dari malapetaka juga akan menjadikan seorang yang senantiasa mengutamakan muamalah dengan sesama makhluk-Nya.
Konsep ketauhidan dalam pendidikan yang diusungnya di satu sisi memang menjadi seorang agamawan juga dilatarbelakangi oleh pandangannya mengenai pendidikan yang terdapat di Barat kehilangan aspek ruhani. Hal ini yang menyebabkan Natsir tidak mentolerir westernisasi namun hanya menyetujui modernisasi dalam unsur muamalah yang positif sesuai kaidah Islam.
Sebagai tokoh pembaharu Islam sekaligus politikus Indonesia ia mensupport upaya pendirian perguruan tinggi di zaman kolonial seperti yang diusung oleh Dr. Satiman dari Muhammadiyah. Natsir juga mengajukan gagasan koordinasi perguruan-perguruan Islam (1938) sebabnya pembelajaran yang ada di masa itu belum memenuhi keselarasan dan kesamaan sasaran secara konkrit.
Koordinasi yang dilakukan tersebut bukan suatu normalisasi atau penghancuran terhadap perguruan-perguruan yang ada namun justru tidak menghilangkan keinginan-keinginan dari pelopor dari berbagai perguruan tersebut. Upaya ini sebagai kebutuhan untuk umat Islam pada masa itu untuk mengatasi terkait khilafiyah yang perlu dijunjung dalam keterbukaan dan menerima hal yang terbaik, di mana dibutuhkan integritas untuk umat Islam sendiri.