Kalam
Menelusuri Asal-Usul Khidir dalam Hadis-Hadis Nabi Muhammad, Diduga
Published
3 tahun agoon
[ad_1]
BagyaNews.com – Sebenarnya dari mana asal-usul konsep Khidir ini? Apakah ia berasal dari tradisi Islam? Apakah Nabi Muhammad SAW menjelaskan keberadaan Khidir? Seperti apa penjelasannya? Berikut asal-usul Nabi Khidir dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang berhasil kami rangkum.
Pembicaraan tentang Nabi Khidir mengemuka di kalangan netizen. Hal ini dipicu oleh sebuah kelompok tarekat yang menyebut bahwa guru spiritual tarekat tersebut dapat terhubung dengan Nabi Khidir. Isu ini segera menjadi kontroversi di kalangan netizen Muslim. Tidak sedikit yang menolak klaim-klaim pertemuan dengan Nabi Khidir oleh pemimpin tarekat tersebut.
Terlepas dari kontroversi soal pemimpin tarekat yang mampu bertemu dengan Nabi Khidir, sebenarnya dari mana asal-usul konsep Khidir ini? Apakah ia berasal dari tradisi Islam? Apakah Nabi Muhammad SAW menjelaskan keberadaan Khidir? Seperti apa penjelasannya? Berikut asal-usul Nabi Khidir dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang berhasil kami rangkum.
Seorang Yahudi
Khidir adalah seorang dari suku bangsa Yahudi (baca: Bani Israel). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat Imam Ibnu Majah dalam Sunan Ibn Majah. Berikut teksnya:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ وَجَدَ رِيحًا طَيِّبَةً فَقَالَ يَا جِبْرِيلُ مَا هَذِهِ الرِّيحُ الطَّيِّبَةُ قَالَ هَذِهِ رِيحُ قَبْرِ الْمَاشِطَةِ وَابْنَيْهَا وَزَوْجِهَا قَالَ وَكَانَ بَدْءُ ذَلِكَ أَنَّ الْخَضِرَ كَانَ مِنْ أَشْرَافِ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَكَانَ مَمَرُّهُ بِرَاهِبٍ فِي صَوْمَعَتِهِ فَيَطَّلِعُ عَلَيْهِ الرَّاهِبُ فَيُعَلِّمُهُ الْإِسْلَامَ فَلَمَّا بَلَغَ الْخَضِرُ زَوَّجَهُ أَبُوهُ امْرَأَةً فَعَلَّمَهَا الْخَضِرُ وَأَخَذَ عَلَيْهَا أَنْ لَا تُعْلِمَهُ أَحَدًا وَكَانَ لَا يَقْرَبُ النِّسَاءَ فَطَلَّقَهَا ثُمَّ زَوَّجَهُ أَبُوهُ أُخْرَى فَعَلَّمَهَا وَأَخَذَ عَلَيْهَا أَنْ لَا تُعْلِمَهُ أَحَدًا فَكَتَمَتْ إِحْدَاهُمَا وَأَفْشَتْ عَلَيْهِ الْأُخْرَى فَانْطَلَقَ هَارِبًا حَتَّى أَتَى جَزِيرَةً فِي الْبَحْرِ فَأَقْبَلَ رَجُلَانِ يَحْتَطِبَانِ فَرَأَيَاهُ فَكَتَمَ أَحَدُهُمَا وَأَفْشَى الْآخَرُ وَقَالَ قَدْ رَأَيْتُ الْخَضِرَ فَقِيلَ وَمَنْ رَآهُ مَعَكَ قَالَ فُلَانٌ فَسُئِلَ فَكَتَمَ وَكَانَ فِي دِينِهِمْ أَنَّ مَنْ كَذَبَ قُتِلَ قَالَ فَتَزَوَّجَ الْمَرْأَةَ الْكَاتِمَةَ فَبَيْنَمَا هِيَ تَمْشُطُ ابْنَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ سَقَطَ الْمُشْطُ فَقَالَتْ تَعِسَ فِرْعَوْنُ فَأَخْبَرَتْ أَبَاهَا وَكَانَ لِلْمَرْأَةِ ابْنَانِ وَزَوْجٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِمْ فَرَاوَدَ الْمَرْأَةَ وَزَوْجَهَا أَنْ يَرْجِعَا عَنْ دِينِهِمَا فَأَبَيَا فَقَالَ إِنِّي قَاتِلُكُمَا فَقَالَا إِحْسَانًا مِنْكَ إِلَيْنَا إِنْ قَتَلْتَنَا أَنْ تَجْعَلَنَا فِي بَيْتٍ فَفَعَلَ فَلَمَّا أُسْرِيَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَدَ رِيحًا طَيِّبَةً فَسَأَلَ جِبْرِيلَ فَأَخْبَرَهُ
dari Ubay bin Ka’ab dari Nabi SAW, bahwa ketika malam diisra`kan, beliau menemukan bau yang sangat harum. Maka beliau pun bertanya: “Wahai Jibril, apakah bau harum ini?” Jibril menjawab, “Ini adalah bau harum kuburnya Masyithah, kedua anaknya beserta suami.” Jibril melanjutkan, “Pada awal mulanya, Khidir termasuk dari kalangan orang-orang mulia Bani Israil dan dia sering melewati seorang Rahib yang tinggal di biara. Setiap kali lewat Rahib itu muncul ke hadapannya, lantas dia mengajarkan Islam kepadanya. Tatkala Khidir telah mencapai aqil baligh, bapaknya menikahkannya dengan seorang perempuan, maka Khidir pun mengajarkan (Islam) kepada isterinya.
Lalu dia minta kepada isterinya agar tidak memberitahukan ajaran tersebut kepada seorangpun. Karena Khidir tidak pernah mendekati seorang wanita, maka dia mentalaknya, kemudian ayahnya menikahkannya lagi dengan wanita lain, maka Khidir pun mengajarkan kepada isterinya yang baru dan meminta kepadanya agar tidak memberitahukan ajaran tersebut kepada seorangpun. Ternyata salah seorang dari keduanya menyembunyikannya dan yang lainnya menyebarkannya, Maka dia bergegas pergi sehingga tiba di suatu pulau di tengah laut. Dan di sana dua lelaki yang sedang mencari kayu melihatnya, maka salah seorang darinya menyembunyikan sedang yang lain menyebarkan, Orang yang menyebarkan (berita itu) berkata, “Aku telah melihat Khidir.” Maka dia ditanya, “Dengan siapa kamu melihatnya.” Dia menjawab, “Dengan fulan.” Laki-laki itu berkata lagi, “Tetapi dia menyembunyikannya. Dan kebiasaan dalam agama mereka, bahwa siapa berdusta maka akan dibunuh.”
Dia menuturkan kembali, “Maka laki-laki itu menikahi seorang perempuan yang bisa menjaga rahasia, ketika dia sedang menyisir anak perempuan Fir’aun, tiba-tiba sisirnya terjatuh, sambil berkata, “Celaka Fir’aun.” Maka puterinya memberitahukan kepada bapaknya. Sedangkan wanita itu memiliki dua orang anak dan suami.
Maka Fir’aun mengutus utusan kepada perempuan itu dan suaminya untuk merayu agar kembali kepada agamanya, tetapi keduanya menolak, maka utusan itu berkata, “Aku akan membunuh kalian berdua.” Keduanya berkata, “Sebagai budi baik darimu kepada kami, apabila kamu membunuh kami hendaknya kamu jadikan kami di satu rumah.” Maka dia melakukannya.” Tatkala Nabi SAW di israkan, beliau mendapati bau harum, maka dia bertanya kepada Jibril dan Jibril pun memberitahukan kepada beliau.” (https://www.hadits.id/l/B1RmsXyIRMtz)
Hadis ini memiliki kualitas sanad yang lemah. Hal ini ditegaskan oleh Syuaib al-Arnauth, Adil Mursyid, Muhammad Kamil Qurrah, Abdullatif Hirzullah dan Al-Albani. Riwayat tentang Masyitah ditemukan dalam jalur lain dengan sanad yang kuat.
Alasan Penamaan Khidir
Imam al-Bukhari meriwayatkan tentang asal-usul nama Khidir. Diriwayatkan;
عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا سُمِّيَ الْخَضِرَ أَنَّهُ جَلَسَ عَلَى فَرْوَةٍ بَيْضَاءَ فَإِذَا هِيَ تَهْتَزُّ مِنْ خَلْفِهِ خَضْرَاءَ
Dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda: “Asal usul dinamakan al-Khadlir, karena ia biasa duduk di atas pakaian terbuat dari bulu binatang yang berwarna putih. Dan apabila pakaian itu bergerak-gerak (bulunya melambai-lambai) akan tampak dari baliknya warna kehijauan (Khadlra’)”. (https://www.hadits.id/l/rkuMiDgRfYz)
Pertemuan Nabi Khidir dan Nabi Musa
Dalam Qs. Al-Kahfi disebutkan cerita bahwa Nabi Musa diperintahkan menemui seorang hamba yang saleh. Penjelasan tentang hamba yang saleh tersebut ditemukan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari. Berikut teks hadisnya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan telah menceritakan kepada kami ‘Amru berkata, telah mengabarkan kepadaku Sa’id bin Jubair berkata, aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas, “Sesungguhnya Nauf Al Bakali menganggap bahwa Musa bukanlah Musa Bani Isra’il, tapi Musa yang lain.” Ibnu Abbas lalu berkata, “Musuh Allah itu berdusta, sungguh Ubay bin Ka’b telah menceritakan kepada kami dari Nabi SAW:
“Musa Nabi Allah berdiri di hadapan Bani Isra’il memberikan khutbah, lalu dia ditanya: “Siapakah orang yang paling pandai?”
Musa menjawab: “Aku.” Maka Allah Ta’ala mencelanya karena dia tidak diberi pengetahuan tentang itu. Lalu Allah Ta’ala memahyukan kepadanya: “Ada seorang hamba di antara hamba-Ku yang tinggal di pertemuan antara dua lautan lebih pandai darimu.” Lalu Musa berkata, “Wahai Rabb, bagaimana aku bisa bertemu dengannya?” Maka dikatakan padanya: “Bawalah ikan dalam keranjang, bila nanti kamu kehilangan ikan itu, maka itulah petunjuknya.” Lalu berangkatlah Musa bersama pelayannya yang bernama Yusya’ bin Nun, dan keduanya membawa ikan dalam keranjang hingga keduanya sampai pada batu besar. Lalu keduanya meletakkan kepalanya di atas batu dan tidur. Kemudian keluarlah ikan itu dari keranjang (lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu) ‘ (Qs. Al Kahfi: 61).
Kejadian ini mengherankan Musa dan muridnya, maka keduanya melanjutkan sisa malam dan hari perjalannannya. Hingga pada suatu pagi Musa berkata kepada pelayannya, ‘(Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa lelah karena perjalanan kita ini) ‘ (Qs. Al Kahfi: 62). Musa tidak merasakan kelelahan kecuali setelah sampai pada tempat yang dituju sebagaimana diperintahkan. Maka muridnya berkata kepadanya: ‘(Tahukah kamu ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi? Sesungguhnya aku lupa menceritakan ikan itu. Dan tidaklah yang melupakan aku ini kecuali setan) ‘ (Qs. Al Kahfi: 63). Musa lalu berkata: ‘(Itulah tempat yang kita cari. Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula) ‘ (Qs. Al Kahfi: 64).
Ketika keduanya sampai di batu tersebut, didapatinya ada seorang laki-laki mengenakan pakaian yang lebar, Musa lantas memberi salam. Khidir lalu berkata, “Bagaimana cara salam di tempatmu?” Musa menjawab, “Aku adalah Musa.” Khidir balik bertanya, “Musa Bani Isra’il?” Musa menjawab, “Benar.” Musa kemudian berkata: ‘(Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?) ‘ Khidir menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama Aku) ‘ (Qs. Al Kahfi: 66-67).
Khidir melanjutkan ucapannya, “Wahai Musa, aku memiliki ilmu dari ilmunya Allah yang Dia mangajarkan kepadaku yang kamu tidak tahu, dan kamu juga punya ilmu yang diajarkan-Nya yang aku juga tidak tahu.” Musa berkata: ‘(Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun) ‘ (Qs. Al Kahfi: 69).
Maka keduanya berjalan kaki di tepi pantai sementara keduanya tidak memiliki perahu, lalu melintaslah sebuah perahu kapal. Mereka berbicara agar orang-orang yang ada di perahu itu mau membawa keduanya. Karena Khidir telah dikenali maka mereka pun membawa keduanya dengan tanpa bayaran. Kemudian datang burung kecil hinggap di sisi perahu mematuk-matuk di air laut untuk minum dengan satu atau dua kali patukan. Khidir lalu berkata, “Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu bila dibandingkan dengan ilmu Allah tidaklah seberapa kecuali seperti patukan burung ini di air lautan.” Kemudian Khidir sengaja mengambil papan perahu lalu merusaknya. Musa pun berkata, “Mereka telah membawa kita dengan tanpa bayaran, tapi kenapa kamu merusaknya untuk menenggelamkan penumpangnya?” Khidir berkata: ‘(Bukankah aku telah berkata, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku) ‘ Musa menjawab: ‘(Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku) ‘ (Qs. Al Kahfi: 72-73).
Kejadian pertama ini karena Musa terlupa. Kemudian keduanya pergi hingga bertemu dengan anak kecil yang sedang bermain dengan dua temannya. Khidir lalu memegang kepala anak itu, mengangkat dan membantingnya hingga mati. Maka Musa pun bertanya: ‘(Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?) ‘ (Qs. Al Kahfi: 74). Khidir menjawab: ‘(Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?) ‘ (Qs. Al Kahfi: 75).
Ibnu ‘Uyainah berkata, “Ini adalah sebuah penegasan. ‘(Maka keduanya berjalan hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh. Maka Khidir menegakkan dinding itu) ‘ (Qs. Al Kahfi: 77).
Rasulullah meneruskan ceritanya: “Khidir melakukannya dengan tangannya sendiri. Lalu Musa berkata, ‘(Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu. Khidir menjawab, “Inilah saat perpisahan antara aku dan kamu) ‘ (Qs. Al Kahfi: 77-78). Nabi SAW bersabda: “Semoga Allah merahmati Musa. Kita sangat berharap sekiranya Musa bisa sabar sehingga akan banyak cerita yang bisa kita dengar tentang keduanya.” (https://www.hadits.id/l/BJtjMdMtM)
Hadis tentang pertemuan Nabi Musa dan Khidir disebutkan dalam kitab Shahih al-Bukhari. Dengan demikian, berdasarkan penilaian al-Bukhari, riwayat ini bernilai shahih.
Khidir Saat Wafatnya Nabi Muhammad
Terdapat sebuah riwayat dalam kitab Mu’jam al-Ausath karya Imam al-Thabarani bahwa Khidir pernah datang saat wafatnya Nabi Muhammad SAW. Berikut redaksinya:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، نا كَامِلُ بْنُ طَلْحَةَ الْجَحْدَرِيُّ، نا عَبَّادُ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ أَبُو مَعْمَرٍ، نا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ: «لَمَّا قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَعَدَ أَصْحَابُهُ حُزَّانًا يَبْكُونَ حَوْلَهُ، فَجَاءَ رَجُلٌ طَوِيلٌ صَبِيحٌ فَصِيحٌ، فِي إِزَارٍ وَرِدَاءٍ، أَشْعُرُ الْمَنْكِبَيْنِ وَالصَّدْرِ، فَتَخَطَّى أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَخَذَ بِعَضَادَيِ الْبَابِ، فَبَكَى عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ فِي اللَّهِ عَزَاءً مِنْ كُلِّ مُصِيبَةٍ، وَخَلَفًا مِنْ كُلِّ هَالِكٍ، وَعِوَضَا مِنْ كُلِّ مَا فَاتَ، فَإِلَى اللَّهِ فأَنِيبُوا، وَإِلَيْهِ فَارْغَبُوا، فَإِنَّمَا الْمُصَابُ مَنْ لَمْ يَجْبُرْهُ الثَّوَابُ، فَقَالَ الْقَوْمُ: أَتَعْرِفُونَ الرَّجُلَ؟ فَنَظَرُوا يَمِينًا وَشِمَالًا، فَلَمْ يَرَوْا أَحَدًا، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: هَذَا الْخَضِرُ أَخُو النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ» لَا يُرْوَى هَذَا الْحَدِيثُ عَنْ أَنَسٍ إِلَّا بِهَذَا الْإِسْنَادِ، تَفَرَّدَ بِهِ: عَبَّادُ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ “
Musa bin Harun meriwayatkan kepada kami, dari Kamil bin Thalhah al-Jahdari, dari Abbad bin Abdus Shamad Abu Ma’mar, dari Anas bin Malik yang berkata: Ketika Nabi SAW wafat, para sahabat terduduk sambil bersedih. Mereka menangis di sekeliling Nabi SAW. Lalu datang seorang lelaki bertubuh tinggi cerah wajahnya lagi fasih lisannya. Ia mengenakan sarung dan selendang. Lebar pundak dan dadanya. Ia melangkahi para sahabat Nabi sampai ia memegang kedua pilar pintu. Ia menangis atas wafatnya Rasulullah selama beberapa lama.
Kemudian ia berkata, “Sungguh, Allah memiliki takziah dari setiap musibah. Pengganti dari setiap yang binasa. Ganti dari setiap yang hilang. Kepada Allah, kembali lah kalian. Kepadanya, berangkatlah. Orang yang tertimpa musibah adalah orang yang tidak akan pernah tertutupi oleh pahala. Para sahabat bertanya, “Apakah kalian mengenal lelaki itu?” Mereka saling melihat kanan dan kirinya. Mereka tidak melihat seorang pun. Abu Bakar kemudian berkata, “Ini adalah Khidr, saudara Rasulullah SAW.” Hadis ini diriwayatkan dari Anas bin Malik hanya dengan sanad ini. Abbad bin Abdus Shamad menyendiri dalam meriwayatkan ini. (HR. Al-Thabarani).
Berdasarkan keterangan Al-Thabarani di atas, kisah kehadiran Khidir pada saat kematian Rasulullah SAW adalah riwayat yang daif. Hal ini karena hadis ini diriwayatkan melalui satu jalur tunggal. Tidak banyak ahli hadis yang mengetahui ada riwayat semacam ini.
Berangkat dari hadis-hadis tentang Khidr ini, para ulama meyakini bahwa Khidr adalah sosok yang diyakini ada. Sebenarnya, tidak ada riwayat shahih yang menunjukkan bahwa Khidr masih hidup. Karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa Khidir adalah sosok yang sudah wafat. Tetapi, berdasarkan riwayat lemah dari al-Thabarani di atas, dan pengalaman mistik sebagian ulama, sebagian ulama percaya bahwa Khidr masih hidup.
[ad_2]
Sumber Berita harakah.id
#Menelusuri #AsalUsul #Khidir #dalam #HadisHadis #Nabi #Muhammad #Diduga