“Bapak tahu kalimah syahadat, kan?” “Tahu.” “Dalam bahasa Arab?” “Ya.” “Lantas mengapa tidak Bapak ucapkan? Mengapa Bapak tidak pindah agama saja?”
Kutipan dialog ini merupakan pembuka dalam bab pertama yang mengulas pengalaman ziarah sang penulis di Makam Sunan Kalijaga.
Permintaannya blak-blakan, tetapi ramah. Tutur George Quinn, penulis buku Wali Berandal Tanah Jawa ini mengomentari kisahnya sendiri saat diajak masuk Islam oleh sesama peziarah.
Buku berjudul asli “Bandit saints of Java: How Java’s Eccentric Saints are Challenging Fundamentalist Islam in Modern Indonesia” ini ditulis oleh seorang dosen senior di Australian National University (ANU) kelahiran Te Kuiti, New Zealand. Dalam menuliskan buku ini ia melakukan riset cukup (sangat) lama. Penulis yang fasih berbahasa Indonesia dan Jaw aini berkeliling dari satu makam ke makam lainnya. Dari satu kota ke kota lainnya. Ia tidak hanya menceritakan saat berziarah dan mewawancari juru kunci (kuncen) makam yang ia ziarahi, melainkan juga mengisahkan pengalamannya saat naik dan turun bus umum. Ia menumpahkannya dengan sangat rinci, mengalir, dan enak di baca. Misalnya saat ia naik Bus dari Surabaya menuju Sumenep berikut ini:
Pada Oktober 2015, saya naik bus di terminal Bungurasih Surabaya, berharap-harap bisa selamat menempuh empat sampai lima jam perjalanan yang berguncang-guncang ke Sumenep. Saya mendapat tempat duduk tepat di belakang kursi sopir. Di bawah, mesin diesel bergetar lirih. Bus baru berangkat ketika penumpang sudah penuh.
Pedagang asongan berjalan mondar-mandir di Lorong bus, meletakkan barang dagangan di pangkuan penumpang, lalu dengan sabar mengambilnya Kembali beberapa menit kemudian. Satu paket kaus kaki laki-laki jatuh di atas lutut saya, diikuti songkot “taqiyah” (kopiah?) putih, dan bungkusan kecil berisi kacang. Saya biarkan, dan beberapa saat kemudian, barang-barang itu menghilang.
Konten Buku
Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini
Review atas buku ini yang ditulis secara akademik dan dimuat di sejumlah jurnal terkemuka sudah cukup banyak. Sekurangnya ada yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang diulas dalam jurnal Studia Islamika, bahasa Inggris oleh Tim Hannigan di asianreviewofbooks.com, dan bahasa Prancis oleh peneliti-Indonesianis kawakan asal Prancis Henri Chambert-Loir yang dimuat dalam Archipel. Kendati demikian, perbincangan atas buku yang edisi bahasa Indonesianya baru saja terbit ini saya kira akan terus dilakukan.
Sebagaimana anak judul yang disematkan penulisnya dalam judul aslinya “Bandit saints of Java: How Java’s Eccentric Saints are Challenging Fundamentalist Islam in Modern Indonesia”, hampir semua tinjauan atas buku tersebut mengurai sisi bagaimana tradisi ziarah yang telah mengakar di dalam masyarakat Jawa terus berkembang bahkan terus menguat, yang alih-alih tergerus oleh kelompok Islamisme yang cukup marak belakangan ini.
Oleh karena itu, dalam artikel yang ditulis oleh Endi Aulia Garadian, yang dimuat dalam jurnal Studia Islamika misalnya, saya hampir-hampir tidak menemukan kritik yang mempertanyakan ulang isi buku ini. Pertanyaan mendasar yang layak diajukan adalah misalnya apa definisi wali yang dimaksud dalam buku ini? Jika yang dimaksud wali nyentrik atau berandal adalah orang-orang yang memiliki masa silam sebagai perampok, lalu mengapa dan atas dasar apa (keberandalan yang mana) ia memasukkan nama Mbah Priok dalam buku ini, misalnya?
Buku ini terdiri dari sepuluh bab utama ditambah prolog dan epilog oleh penulisnya sendiri. Bagian prolog ini sepertinya dimaksudkan untuk memberikan kerangka atas keseluruhan buku ini. Hal ini tercermin dari judul yang dipilih dalam pembukaan buku ini: Nusantara dalam Jagad Batin Jawa. Ia membukanya dengan kisah ziarahnya ke salah satu gunung yang ramai diziarahi masyarakat jawa yang sekaligus cukup mistis: Gunung Lawu.
Ia mengisahkan bahwa perjalanan ziarahnya ke Gunung Lawu dilakukannya pada tahun 2001. Tepatnya pada malam 1 Muharram (Jawa: Suro). Gunung Lawu pada malam hari tanggal tersebut, menurutnya, dipenuhi oleh para peziarah laki-laki dan perempuan. “Saya perkirakan, antara 5000 sampai 10.000 orang”, tulisnya.
George Quinn megawali lembaran isi buku ini dengan mengajak para pembaca menelusuri ritual ziarah di makam Sunan Kalijaga. Mungkin penempatan ulasan Raden Mas Said di awal pembahasan buku ini bukan kebetulan dan tanpa alasan. Penulisnya ingin meneguhkan bahwa buku Wali Berandal Tanah Jawa ini dimulai dengan mengulas Sang Berandal Lhokajaya, sebutan lain Sunan Kalijaga.
Dari Sunan Kalijaga, ia kemudian mengulas Sunan Bonang. Ia lalu bergeser ke Kediri dengan menyajikan kisah ziarahnya ke petilasan Jayabaya dan “legenda” hubungannya dengan Syekh Washil Kediri. Dari Kediri ia pindah ke Makam Ki Ageng Balak, Solo. Kemudian ke Tegal dengan menziarahi Sunan Panggung yang lalu dilanjutkan kisahnya saat menziarahi Makam Mbah Priok di ibukota Jakarta. Seusai mengisahkan pernak-pernik Makam Mbah Priok beserta penuturan tragedi tahun 2010 yang sempat menghebohkan negeri ini ihwal kerusuhan saat rencana penggusuran makam tersebut, ia pindah menuturkan kunjungannya ke wali penjaga Gunung Merapi, Mbah Maridjan. Baik saat Mbah Maridjan masih hidup maupun ziarahnya ke Makamnya. Ia berpetualang bukan hanya di Jawa sebagaimana judul bukunya, melainkan hingga ke Asta Tinggi Sumenep.
Rentangan masa hidup antar satu tokoh dengan tokoh lainnya yang dibahas dalam buku ini juga sangat panjang. Dari petilasan Jayabaya dan Syekh Washil Setono Gedong (abad 13) hingga Mbah Maridjan yang paling belakangan (abad 20 atau 21). Saya sendiri tiak menemukan penjelasan mengapa yang dipilih adalah orang-orang tersebut? Tak hanya itu, George Quinn juga memasukkan sejumlah petilasan-petilasan tokoh yang secara historis sebenarnya susah ditemukan sisi “kewalian”-nya seperti petilasan Jayabaya misalnya. Apa benang merah yang menghubungkan dan mengaitkan satu tokoh/makam dengan lainnya dan kemudian ia simpulkan buku ini dengan judul “Wali Berandal tanah Jawa?”
Jika saya boleh mereka-reka, mungkin yang dimaksud Wali Berandal oleh George Quinn dalam buku ini adalah sejumlah tempat ziarah yang dikeramatkan oleh sejumlah Muslim Jawa. Pada akhirnya, ia menyimpulkan bahwa di tengah arus purifikasi ajaran agama yang digelorakan oleh sebagian kelompok Muslim di tanah air ini tidak akan mampu menandingi kehadiran Islam toleran, adaptif dan asimilatif yang dilakukan sebagian masyarakat Jawa yang ditandai dengan terus berkembangnya tradisi ziarah dari tahun ke tahun.
Ala kulli hal, buku ini sangat unik dan menarik. Di satu sisi bisa dijadikan semacam “travel guide”, di sisi lain bernilai akademik karena selain melakukan wawancara mendalam ala etnografi juga sarat dengan rujukan-rujukan akademik.