Ketika kita menyampaikan
kisah hikmah kepada anak-anak, tentunya ada makna yang ingin kita sampaikan. Misalnya tentang pentingnya menjaga amanah dan menanamkan
sifat amanah kepada anak. “Maka, sebaiknya kita ambil kisah yang berkenaan dengan amanah,”ungkap Ustadz Abu Ihsan Al Atsaary dalam kajian parenting Islami, baru-baru ini di Jakarta.Salah satu kisah tentang
amanah ini disebutkan oleh Imam Bukhari di dalam shahihnya. Kisah orang yang berutang seribu dinar. Alkisah, ada seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil membutuhkan modal berdagang. Dia menemui salah seorang kaya raya yang dikenal suka memberi pinjaman utang kepada siapa pun. Akhirnya, pemuda Bani Israil ini pun berutang dalam jumlah besar. Tak tanggung-tanggung, utangnya hingga 1.000 dinar.
Baca juga: Amanah, Tanda-tanda Iman Seorang Mukmin
Karena jumlah yang begitu besar, pemilik uang meminta agar dia menghadirkan saksi-saksi atas utang yang akan dibayarkan kepadanya. Laki-laki ini menjawab, “Cukuplah Allah sebagai Saksi.” Merasa tak cukup tenang dengan pemintaan saksi itu, si pemilik uang kembali meminta opsi lain, yaitu menghadirkan penjamin yang bertanggung jawab jika si pemuda tidak mampu membayar. Pemuda pengutang malah menjawab, “Cukuplah Allah sebagai Penjamin.”
Namun, lantaran pemilik uang ini terkenal sebagai figur yang shaleh, dua opsi saksi dan penjamin yang disodorkan pemuda tersebut akhirnya diterima. Dia tidak membantah pengutang manakala dia mengucapkan apa yang diucapkannya. Dia menjawab, “Kamu benar.” Lalu dia memberikan uang yang dia minta tanpa saksi dan penjamin, kecuali Allah SWT! Si pemilik uang ridha dengan kesaksian dan jaminan Allah. Keduanya pun sepakat waktu pembayaran.
Setelah menerima uang yang diinginkannya, si pemuda pengutang tadi akhirnya pergi ke luar daerah menggunakan perahu dan menunaikan keperluannya. Namun, tanpa diduga, justru ketika telah jatuh tempo pembayaran hampir tiba, dia tidak menemukan perahu yang bisa membawanya pulang.
Kondisi ini justru membuatnya sedih. Dia khawatir mengingkari janji yang telah dia sepakati sendiri. Terlebih, dia telah menjadikan Tuhannya sebagai saksi dan mengangkat-Nya sebagai penjamin. Dia telah berjanji melunasi utangnya sesuai tempo yang disepakati.
Setelah berpikir panjang, si pemuda tadi menemukan cara untuk mengirim uang itu kepada pemiliknya. Kendati risikonya sangat besar, yakni dengan memasukkan uang tersebut dalam kayu yang telah dilubangi sebelumnya lengkap dengan sepucuk surat.
Surat tersebut berisi pen jelasan keadaan sebenarnya yang menghalanginya hadir tepat waktu, kemudian dia menutup lu bang kayu itu dengan rapat dan melemparkannya ke laut. Namun, aksinya tak terhenti di situ. Dia tidak lupa menitipkannya kepada Tuhannya. Pada waktu itu belum tersedia saranasarana transfer melalui teleks atau faks atau telepon yang hanya memerlukan hari atau jam. Mobil dan pesawat juga belum ada.
Tidak ada sarana yang memadai pada waktu itu, maka dia mengirim uang itu dengan cara yang unik dan aneh. Laki-laki itu bukanlah orang bodoh atau tolol. Dia hanya melakukan apa yang dia mampu lakukan dan menyerahkan urusannya kepada Tuhannya.