Kaum Sarungan Itu Santai, Bukan Pemalas! Memeriksa Stigma Pemalas – Bagyanews.com
Connect with us

Kalam

Kaum Sarungan Itu Santai, Bukan Pemalas! Memeriksa Stigma Pemalas

Published

on

Kaum Sarungan Itu Santai, Bukan Pemalas! Memeriksa Stigma Pemalas


BagyaNews.comKaum Sarungan itu Santai, Bukan Pemalas! Jangan salah lho, pemalas dan kemalasan adalah sifat yang kerapkali disematkan kepada orang pribumi, orang Indonesia dan kaum sarungan. Padahal mereka sebenarnya pekerja keras, cuma ya sellow dan santai.

Dalam artikel serial Hikayat Sarung sebelumnya, sudah didiskusikan mengenai proses kolonialisasi dan hegemoni konsepsi waktu. Perubahan konsep mengenai waktu diperlukan agar agenda kolonialisme yang termanifestasi dalam agenda kerja, pabrik dan industri bisa efektif. Waktu lama yang dihitung berdasarkan pergerakan bulan dan hanya ditandai oleh masuknya waktu salat, melahirkan fleksibilitas dan relativitas waktu. Pola menyikapi waktu seperti itu tidak ramah terhadap agenda kapitalisme dan industrialisme yang meniscayakan kecepatan produksi. Maka waktu baru pun diperkenalkan. Waktu didasarkan kepada matahari. Ia dibagi menjadi tujuh hari dalam seminggu, dua puluh empat jam dalam sehari, dan enam puluh menit dalam satu jam.

Peralihan dari konsepsi waktu lama ke konsepsi waktu baru melahirkan fenomena kebudayaan baru. Kebudayaan layaknya sel, selalu membelah diri dan melahirkan sub kebudayaan baru, tak peduli dari mana ia muncul dan dilahirkan. Kebudayaan akan selalu bersifat hibrid dan mengandung dualitas. Tak terkecuali sub kebudayaan yang lahir dari benturan kebudayaan waktu lama masyarakat pribumi dengan kebudayaan waktu baru kolonial Eropa. Selain “budaya terlambat” dan “budaya jam karet”, budaya baru bernama “budaya malas” pun lahir ke permukaan.

Dalam konsepsi waktu lama, masyarakat pribumi dan kaum sarungan setidaknya memiliki jam santai lima kali dalam sehari. Subuh, Lohor, Ashar, Maghrib dan Isya. Lima belas sampai sepuluh menit sebelum waktu salat masuk, biasanya masjid-masjid memperdengarkan tartilan al-Quran dan shalawat tarhim. Kaum pribumi sarungan biasa memanfaatkan saat-saat itu untuk berleha-leha, santai, seruput kopi dan bakar sebatang dua batang rokok sembari menunggu adzan.

Ketika adzan berkumandang, mereka pun berangkat ke langgar, musolla atau masjid. Sesampainya di masjid, salat tidak langsung ditunaikan. Dzikir-dzikiran dulu 10 menit sambil menunggu bapak-bapak lain menghabiskan batang rokoknya dan datang ke masjid. Setelah salat berjamaah ditunaikan, dzikiran sehabis salat makan waktu hampir 10 menit. Di tengah perjalanan sepulangnya dari masjid tak jarang mereka terjebak dalam sebuah obrolan yang bisa berlangsung sangat lama.

Baca Juga: Satu Hal yang Mulai Hilang dari Iklim Keberagamaan Kita hari Ini: “Biasa Aja!”

Konsepsi waktu yang kemudian mengejawantah tata laku santai dalam menjalani kehidupan, terekam dalam situasi serba tidak direncanakan, tidak rutin dan tidak pastinya jadwal kegiatan masyarakat pribumi sarungan. Tentu saja hal ini menjadi hambatan ketika kolonialisme menghendaki proses produksi dan ekstraksi sumber daya alam dikerjakan dengan cepat dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Selain stigma suka terlambat dan jam karet, di sini mitos kesekian muncul tentang kaum sarungan: pemalas!

Menurut Sayyid Husein Alatas dalam karyanya yang berjudul The Myth of The Lazy Native, sebagaimana yang diulas Lombard, “mitos yang belum ada pada abad ke 16 dan ke 17 itu berkembang sejak abad 18. Ia berkaitan langsung dengan meluasnya berbagai perkebunan dan penolakan kaum pribmi untuk dikerahkan. Dengan mengembangkan tema kemalasan bawaan lahir, orang Barat pun menyembunyikan bagi mata mereka sendiri munculnya bibit-bibit awal perlawanan, sekaligus mencari pembenaran bagi tindakan sepihak mereka dan diam-diam menyisipkan gagasan tentang sebuah hirarki rasial.”

Terlambat, alasan jam karet maupun gerak kemalasan adalah sikap penolakan yang secara tidak langsung menusuk logika waktu kolonial. Sebuah bangsa asing yang tiba-tiba datang, lalu menyuruh masyarakat pribumi bekerja keras dan memberikan status “malas” kepada mereka yang enggan bekerja, apalagi kalau bukan karena ambisi materil yang sudah terbayang sejak pertama kali ia menginjakkan kakinya di Nusantara? Sumber daya alam yang kaya susah diolah dan dimanfaatkan secara maksimal karena malasnya para pekerja pribumi. Kolonial bekerja untuk mendapatkan keutungan, sedangkan kaum sarungan bekerja hanya untuk makan. Malas dan kemalasan adalah istilah yang mewakili ketidakmampuan kolonial memahami cara kaum sarungan memaknai hidup.

Dengan kata lain, term “kemalasan pribumi” muncul beriringan dengan dibukanya perkebunan-perkebunan nila, lada ataupun kopi oleh VOC. Ini sebagaimana yang diduga oleh Lombard,

“Istilah luij (malas) dan ijverloss (seenaknya, tidak tekun) ditemukan untuk pertama kalinya (kalau tidak salah) dalam berbagai teks arsip mengenai para mandor Sunda yang ditugaskan untuk mengawasi perkebunan-perkebunan VOC, mula-mula perkebunan nila dan lada, kemudian terutama kopi.”

Tema “malas” dan “kemalasan” lantas memenuhi buku-buku laporan mandor yang menjaga kebun-kebun VOC. Selain menciptakan stigma dan penyifatan buruk, mitos tersebut kemudian berkembang ke arah regulasi; bahwa setiap tindakan malas adalah tindakan melawan kolonial dan siapapun yang melawan akan ditangkap. Masyarakat pribumi pun mulai ditangkapi karena malas!

“Sejak Februari 1706, seorang yang bernama Ombol dibuang ke Onrust karena “malas”. Pada 1747, Bupati Ciblagung dihukum karena “ketidaktekunannya” (ijverloosheijt). Pada Agustus 1788, Patih Parakanmuncang diancam akan diseret ke Batavia “jika ia masih bermalas-malas” (zodra hij weder den hijraart speelt).”

Selain dua orang tersebut, kemungkinan masih banyak lagi mereka yang ditangkap, dipenjara dan dihukum hanya karena malas. Setelah menjadi kata sifat bagi kaum sarungan dan regulasi bagi skema kerja kapitalistik ala VOC, “malas”, sebagaimana kata lainnya, mengalami pembengkakan hingga ke level ideologi dan mitos.

Baca Juga: Sarung Kiai Asnawi vs Dasi Kiai Saifuddin Zuhri, Dan Cara Kaum Sarungan Antisipasi Kehadiran Kolonial

Mitos – kalau kita meminjam Barthes – adalah saat ketika sebuah kata mengalami fase puncak dalam proses semiotisasi. Kata awalnya hanya memiliki dua lapisan makna; denotasi dan konotasi. Namun dalam momentum tertentu, ia mengalami perkembangan format semantik menjadi termninologi simbolik yang tidak hanya mewakili satu makna, tapi banyak makna yang berasosiasi. Di level berikutnya, ketika pembengkakan semakin parah, sebuah kata mampu menjadi ideologi. Setelah itu, ia akan menjadi mitos, yang meresap dan bekerja di alam bawah sadar. Ia menjadi mantra, yang tak lagi bisa diuji salah benarnya.

Pada abad 19, kata “malas” mengalami mitologisasi. Sebagaimana yang dijelaskan Lombard,

“Pada awal abad ke 19, “kemalasan pribumi” merupakan pendapat umum…”

Lombard lalu memberikan satu contoh ulasan yang menunjukkan kalau term “malas” sudah menjadi pendapat umum dan –  seperti yang dikatakan Sayyid Husein –menjadi mitos.

“…prasangka sangat kuat bertahan dan pada 1908, dalam bukunya, The Dutch in Java yang sangat bagus meskipun mengandung prasangka adalah sangat bagus, ahli ekonomi Clive Day dari Amerika masih menulis: “The Scale of living of the average cultivator wpuld appear hopelessly low if measured by western standarts… Where wants are small however a low scale of life may satisfy, and in fact among the Javanese the lower the scale of life the more likely they are to rest content with it, so long as they are not absolutely starving. In practice, it has been found imposibble to secure the services of the native population by any appeal to an ambition to better themselves and raise their standard. Nothing less than immediate material enjoyment still stir them from their indolent routine…”

Dalam uraiannya, meskipun paham kalau hidup bagi pribumi sarungan bukanlah soal standart hidup, tapi bertahan hidup, Clive Daya masih menggunakan sudut pandang Eurosentrisnya dengan membandingkan kualitas kehidupa pribumi dengan standart kehidupan yang telah dicapai oleh Barat. Meskipun sekilas tampak hendak menjelaskan, Clive Day masih terjebak dalam sebuah wacana yang meletakkan kemalasan pribumi sarungan sebagai mitos. Setidaknya itu yang bisa disimpulkan dari kata “indolent routine” yang digunakan Clive Day.

Baca Juga: Dari Sarung Mandar Mbah Wahab Chasbullah, Soekarno Mengaji Ilmu Geo-Politik Global dan Anti-Kolonialisme Budaya

Tapi menariknya, Thomas Stanford Raffles menolak anggapan umum ini. Dalam buku laporannya yang terkenal, The History of Java, dia menulis;

“Much has been said of the indolence of the javans, by those who deprived them of all motives for industry. I shall not again repeat what I have formerly on several occasions stated on this subject, but shall only enter a broad denial of the charge…”

Dalam uraian tersebut Raffles menyadari kalau term dan mitos kemalasan lahir dari mereka yang hampir putus asa untuk memaksa pribumi takluk pada konsepsi waktu dan skema kerja industri kolonial. Meskipun merupakan bagian dari kolonialisme itu sendiri, Raffles berulang kali menyatakan kalau ia tidak percaya dengan pendapat umum tersebut. Secara tidak langsung Raffles ingin mengatakan, kaum sarungan itu santai, bukan pemalas!

Lombard saya kira punya kesimpulan yang jitu mengenai mitos lamban dan malasnya pribumi sarungan,

“Mitos yang terbentuk sebagai akibat persinggungan antara dua strata kebudayaan itu menarik untuk dikemukakan di sini, karena menunjukkan batas-batas yang diletakkan oleh penduduk Asia, dan menggambarkan penolakan parsial mereka, yang dinyatakan tanpa kata tetapi tegas, terhadap beberapa norma Barat. Dalam ungkapan Indonesia yang sangat terkenal dan sering diulang-ulang, jam karet, terkandung sesuatu yang lebih dari sekedar olok-olok. Di dalamnya terkandung penolakan terhadap norma impor tentang ketepatan waktu, yang nalar dasarnya tidak dipahami, jangankan diterima…”

Sekali lagi, tema malas yang mewujud stigma dan variabel lahir dari kegagalan kolonial dalam mengondisikan pribumi sarungan dalam konsepsi soal waktu dan kerja yang mereka hendaki. Sebutan “pemalas” dan “lamban” juga tidak lahir secara organik. Ia dipaksa lahir sebagai bagian dari upaya penundukan dan beriringan dengan munculnya perkebunan-perkebunan VOC yang membutuhkan sumber daya cukup besar.

Malas dan lamban adalah dua model penolakan, perlawanan dan pemberontakan mentalitas. Bukan karena malas atau enggan bekerja, tapi masyarakat Nusantara sedari awal memang tercipta sebagai mahluk sellow. Kaum sarungan itu santai, bukan pemalas! Jadi beda lho ya…



Sumber Berita harakah.id

#Kaum #Sarungan #Itu #Santai #Bukan #Pemalas #Memeriksa #Stigma #Pemalas

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved