Suatu ketika kiai yang ahli falak, KH Ma’sum Ali Jombang menabuh bedug bertalu-talu di masjid sebagai tanda bahwa Idul Fitri telah datang. Mendengar itu, KH Hasyim Asy’ari kaget bukan kepalang. “Hei, bagaimana kau ini, belum saatnya lebaran kok bedugan duluan?” tegur KH Hasyim Asy’ari kepada menantunya itu.KH Ma’sum Ali ahli yang juga menulis kitab tentang falak . Sudah menjadi kelaziman bagi ahli falak untuk melakukan puasa dan lebaran sesuai hasil hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (observasi/melihat hilal)-nya sendiri.
Baca juga: Lebaran 2 Mei 2022, Ini 9 Alasan Mengapa Muhammadiyah Memilih Hisab
Nah, sesuai dengan hasil perhitungannya, Kiai Ma’sum Ali memutuskan untuk ber-Idul Fitri sendiri yang ditandai dengan menabuh bedug bertalu-talu. Hanya saja, apa yang dilakukan Kiai Ma’sum ini tidak disetujui Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Mendapat teguran dari mertuanya itu, Kiai Maksum segera menjawab dengan tawadhu (hormat). “Inggih (iya) romo kiai, saya melaksanakan Idul Fitri sesuai dengan hasil hisab yang saya yakini ketepatannya.”
“Soal keyakinan ya keyakinan, itu boleh dilaksanakan. Tetapi jangan woro-woro (diumumkan dalam bentuk tabuh bedug) mengajak tetangga segala,” jelas Kiai Hasyim Asy’ari.
“Tetapi bukankah pengetahuan ini harus di-ikhbar-kan (dikabarkan), Romo?” tanya Kiai Ma’sum.
“Soal keyakinan itu hanya bisa dipakai untuk diri sendiri, dan tabuh bedug itu artinya sudah mengajak dan mengumumkan kepada masyarakat, itu bukan hakmu. Untuk mengumumkan kepastian Idul Fitri itu haknya pemerintah yang sah,” tutur Kiai Hasyim.
“Inggih Romo,” jawab Kiai Maksum setelah menyadari kekhilafannya.
Kisah “lebaran mertua dan menantu” ini disampaikan salah seorang ulama ahli falak, KH Ahmad Ghazalie Masroeri, sebagaimana dilansir laman Nahdlatul Ulama.
Baca juga: 2 April Hilal Sudah Tinggi, BMKG Klarifikasi Viral Koreksi Data Hisab-Rukyat
Abdul Mun’im (2017) mencatat, pendirian Kiai Hasyim Asy’ari itu kemudian ditetapkan secara formal dalam Munas Alim Ulama NU di Cipanas, Bogor tahun 1954, bahwa hak itsbat diserahkan kepada pemerintah sebagai waliyul amri.
Sedangkan para ulama NU hanya membantu melakukan ikhbar, baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat setelah diumumkan oleh pemerintah. Ini sebagai konsekuensi bagi NU dalam bernegara, yakni menyerahkan sebagian kewenangannya pada pemerintah yang sah.
Di situlah para ulama pesantren berupaya mempraktikkan ajaran dan hukum agama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena walau bagaimana pun, ulama sebagai warga negara punya kewajiban menaati ulil amri. Namun demikian, ulama juga mempunyai peran penting dalam mengingatkan dan mengkritik kebijakan penguasa yang mengabaikan kepentingan rakyat.
Kitab Kuning
Sejatinya, pondok pesantren telah banyak melahirkan ulama ahli falak yang dapat menghitung masa setiap tahunnya melalui hisab maupun rukyat. Beberapa literatur kitab kuning yang membahas detail tentang ilmu falak juga dipelajari di pesantren. Bahkan di perguruan tinggi.
Meskipun mempunyai kepakaran dalam ilmu perhitungan bulan dan matahari, ulama NU dalam wadah Lembaga Falakiyah tidak pernah menganggap hasil hisab dan rukyatnya sebagai sebuah keputusan, melainkan kabar (ikhbar). Karena wilayah keputusan ada di tangan pemerintah yang sah.
Di antara ulama falak dari pesantren yang masyhur ialah KHR Ahmad Dahlan Al-Falaki Al Tarmasi (adik kandung Syekh Mahfuzh al-Tarmasi), KH Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi Kudus, KH Ma’sum Ali Jombang, KHR Ma’mun Nawawi Cibogo-Cibarusah Bekasi, KH Zubair Umar Salatiga, KH Misbachul Munir Magelang, KH Ahmad Ghazalie Masroeri, KH Muhammad Manshur atau Guru Manshur Jakarta, KH Noor Ahmad, KH Ghozali Muhammad, dan lainnya.
Baca juga: PMA tentang Pesantren Lolos Uji Publik, Pesantren Harus Bersiap Diri
Penentuan Awal Bulan
Ahli falak dari NU, Kiai Ahmad Ghazalie Masroeri mengatakan dalam sejarah, sejak zaman Sahabat Rasulullah SAW hingga sekarang ternyata para khalifah, sultan, ulil amri menggunakan sistem rukyah sebagai dasar itsbat atau penetapan awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW, meskipun pada abad 8 masehi sudah masuk ilmu hisab dari India.
Menurut Ahmad Ghazalie, memahami, menghayati, dan mengamalkan ad-dinul islam, harus mendasarkan pada asas ta’abbudiy (ketaatan). Untuk mewujudkan kesempurnaan ta’abbudiy perlu didukung dengan menggunakan asas ta’aqquliy (penalaran).