Di lingkungan keluarga mertuaku masih ada kebiasaan membeli, memasak, membagikan dan menyantap ikan bandeng di hari Imlek. Ikan yang hidup di air payau ini dijadikan olahan kuliner dengan macam macam sebutan seperti pindang bandeng, bandeng begana, pecak bandeng, dan sayur kuning bandeng.
Jangan buru-buru syakwasangka ya? Keluarga mertuaku Muslim semua walaupun ada cerita “sayup-sayup” bahwa mereka masih ada hubungan dengan “tetangga sebelah kampung” yang merayakan Imlek.
Cerita ini saya dapat tatkala ada dari anggota keluarga tetangga sebelah kampung yang meminta saya untuk membimbing ikrar mereka masuk agama Islam. “Kita kan masih saudara,” demikian katanya.
Di lingkungan keluarga kami yang muslim dan juga tetangga sebelah kampung yang menganut Konghucu terbiasa menyajikan ikan bandeng di hari Imlek. Ikan bandeng yang dibeli biasanya ukurannya sangat besar. Satu ikor bobotnya minimal 2 kg. Ikan yang sudah dibersihkan kemudian dimasak dalam menu makanan seperti pidang bandeng, bandeng begana, bandeng pecak atau sayur bandeng kuning.
Kami sekeluarga biasanya ngariyung menyantap bersama-sama masakan ikan bandeng itu. Terkadang tetangga sebelah kampung di hari Imlek juga menghantarkan masakan ikan bandeng itu kepada kami yang beraga muslim. Mereka memberi hantaran ikan bandeng karena rasa hornat kepad keluarga yang dianggap lebih tua.
Mengapa menggunakan ikan bandeng, bukan ikan laut atau ikan empang dan rawa-rawa? Kemasyhuran ikan bandeng harus diakui lebih banyak dipopulerkan masyarakat Thionghoa. Masyarakat Nusantara secara umum awalnya tidak terlalu mengenal jenis ikan ini. Masyarakat pesisir lebih mengenal jenis-jenis ikan laut. Begitun masyarakat pedalaman hanya tahu jenis ikan di rawa-rawa, danau, maupun kali.
Dalam penelusuran Asep Yudha Wirajaya (2013) dijelaskan bahwa ikan yang terekam namanya dalam pustaka lawas Melayu adalah ikan kakap, ikan teri, ikan tenggiri, belut hingga ikan pari. Pujangga menempatkan aneka ikan itu laiknya tokoh manusia yang berkarakter khas. Ambillah contoh, ikan kakap digambarkan sebagai tokoh yang berani menegakkan kebenaran. Ia melarang ikan bahung dan ikan lindi berbuat kemungkaran.
Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini
Hal yang sama juga terjadi pada ikan rawa-rawa, danau dan kali, seperti bethek yang dihubungkan dengan ekosistem ikan itu di dalam air yang butek. Gabus atau kutuk yang dihubungkan dengan kebiasannya mengambang dan menampakkan di permukaan air. Begitu pula welut yang dihubungkan dengan permukaan kulitnya yang licin dan susah dipegang.
Bagi masyarakat Betawi, jenis ikan rawa-rawa dan kali ini lebih dahulu dikenali sebab umumnya daratan Jakarta awal mulanya kebanyakan adalah daerah rawa-rawa. Hal ini berdasarkan penyemutan nama-nama kampung seperti Rawa Buaya, Rawa Lele, Rawa Bebek, dsb.
Atas dasar itu dapat dikatakan bahwa masyarakat Thionghoa lah yang memperkenalkan ikan bandeng kepada masyarakat secara luas dan khususnya masyarakat Betawi. Hal ini juga pernah dikemukakan Alwi Shahab dalam buku berjudul Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013). Sejak itu masyarakat Betawi mengenal kuliner bernama pindang bandeng, bandeng begana, pecak bandeng, sayur kuning banteng, dan lainnya yang mudah didapati pada hari Imlek.
Bandeng dijadikan menu hantaran Imlek di kalangan masyarakat Cengkareng karena beberapa alasan. Pertama, sebagaimana ekosistem ikan bandeng yang hidup di air payau pada daerah darat dan laut, sajian ikan bandeng adalah simbol kerekatan dan kedekatan dua kelompok manusia yang berbeda agama dan keyakinannya.
Kedua, hantaran masakan ikan bandeng menjadi bentuk penghormatan kepada saudara yang berlainan keyakinan dan kepercayaan. Dikarenakan bagi orang Islam tidak boleh memakan daging babi, maka untuk merayakan Imlek dimasaklah ikan bandeng yang halal tentu saja buat orang Islam.