Para ulama berbeda pendapat tentang hukum memungut pajak dari rakyat. Sebagian mengharamkannya, mamun ada yang membolehkan yaitu pemberlakuan pajak yang adil atau tidak memberatkan umat. Foto/ilustrasi
Bagaimana hukum memungut pajak dari rakyat dalam pandangan Islam? Mari simak penjelasan berikut.Pajak dalam bahasa Arab disebut “Dharibah” yang berasal dari kata ضربا yang artinya mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau membebankan. Secara terminologi
Dharibah adalah harta yang dipungut secara wajib oleh negara.
Imam Syafi’i dalam kitabnya “Al-Umm” menyebutkan, jizyah diterjemahkan dengan pajak. Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Juwaini berpendapat, pajak adalah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan Negara dan masyarakat secara umum) ketika tidak ada kas di dalam Baitul Mal.
Menurut Ustaz Farid Nu’man Hasan dalam satu kajiannya, pada masa dulu uang belanja negara diperoleh dari beberapa sumber, di antaranya:
1. Ghanimah (harta rampasan perang).
2. Fa’i (harta rampasan perang tanpa peperangan, musuh meninggalkan hartanya karena kabur/takut, seperti perang tabuk).
3. Jizyah dari ahludz Dzimmah.
4. Kharaj (pajak tanah).
5. Zakat.
6. Hadiah dari negara sahabat.
“Tapi saat ini ada beberapa sumber yang belum bisa dilaksanakan (seperti ghanimah, fa’i, dan jizyah), maka banyak negeri-negeri muslim menambahkan melalui sumber lain, seperti eksport impor, utang dan pajak,” terang Dai lulusan Sastra Arab Universitas Indonesia itu.
Pajak yang Adil
Dalam Islam, pajak yang adil dibolehkan oleh empat mazhab, yaitu Adh-Dharaaib Al-‘Adilah (pajak yang adil), sebagai salah satu penghasilan dan sumber biaya belanja negara.
Syaikh Al-Qaradhawi berkata:
فقهاء من المذاهب الأربعة يجيزون الضرائب العادلة:وبعد أن فندنا كل الشبهات التي يتمسك بها معارضو شرعية الضرائب العادلة، يحسن بنا -لتأكيد ما بيَّناه في هذا الفصل- أن نذكر أن الفقه الإسلامي قد عرف ضرائب غير الزكاة، أعني ضرائب عادلة أقرها جماعة من فقهاء المذاهب المتبوعة، كما عرفوا الضرائب غير العادلة، ورتبوا عليها أحكامًا.لكنهم لم يطلقوا على هذه وتلك اسم “الضرائب” بل سماها بعض الفقهاء من المالكية: “الوظائف” أو “الخراج”. وسماها بعض الحنفية: ” النوائب ” -جمع نائبة- وهى أسم لما ينوب الفرد من جهة السلطان، بحق أو باطل .وسماها بعض الحنابلة: “الكلف السلطانية” أي التكليفات المالية التي يُلزم بها السلطان رعيته أو طائفة منهم.
“Ahli fiqih Mazhab empat membolehkan pajak yang adil. Setelah kita bantah semua syubhat yang dijadikan pegangan pihak yang menentang digunakannya sistem pajak yang adil, ada baiknya untuk memperkuat keterangan kita dalam bagian ini, kita katakan bahwa fiqih Islam telah mengenal pajak-pajak selain zakat, yakni pajak yang adil yang telah ditetapkan jamaah ahli fiqih dari mazhab-mazhab yang dianut sebagaimana mereka juga telah mengatahui pajak-pajak yang tidak adil dan menetapkan hukum-hukumnya.”
“Akan tetapi para ahli fiqih itu memang tidak mengistilahkannya dengan nama “pajak”, tetapi sebagian ahli fiqih Maliki menamakannya dengan wazha-if atau kharraj. Sebagaian Hanafi menyebut nawa-ib, jamak dari Naaibah, yaitu nama bagi sesuatu yang menggantikan seseorang dari pihak sultan dengan sesuatu yang hak atau batil. Sebagian pengikut Hambali menamakannya dengan Kalf as Sulthaniyah, yaitu beban harta yg diwajibkan sultan trhadap rakyatnya atau kepada sebagian dari mereka.” (Fiqhuz Zakah, 2/428)
Ulama yang Mengharamkan Pajak
Sebagian ulama ada yang mengharamkan pajak. Mereka menyebutnya sebagai Maks yang telah dilaknat oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda dalam satu Hadis:
لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
Artinya: “Tidak akan masuk surga pelaku maks.” (HR Abu Daud No. 2937, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
Pengertian Al-Maakis?
Syaikh Abul Hasan Al-Mubarkafuri berkata: “Dia adalah orang yang mengambil harta dari para pedagang yang lewat.”(Mir’ah Al-Mafatih, 4/233)
Imam Adz-Dzahabi memasukkannya dalam deretan dosa-dosa besar. Beliau berkata: “Pemungut pajak termasuk di antara pembela kezaliman, bahkan dia merupakan kezhaliman itu sendiri, karena dia memungut sesuatu yang bukan semestinya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak.” (Al Kabaair, Hal 115)
Namun ada pula yang memaknai Maks adalah orang yang menggelapkan zakat. Disebutkan dalam Mausu’ah Al Buhuts wal Maqalat Al ‘Ilmiyah:
يُحمل صاحب المكس على الموظف العامل الذي يجبي الزكاة فيظلم في عمله، ويتعدى على أرباب الأموال فيأخذ منهم ما ليس من حقه، أو يقل من المال الذي جمعه مم هو حق للفقراء وسائر المستحقين
“Pelaku maks adalah petugas yang mengumpulkan zakat dan menggelapkannya yaitu dengan memungut uang melebihi hak pembayar zakat; atau dia mengurangi uang yang dikumpulkannya yang semestinya merupakan hak kalangan faqir dan miskin.” (Bab Dharaib wa hukmu Tauzhifiha, Hal 12)
Namun, mayoritas ulama mengatakan pajak yang adil proporsional masih dibolehkan, dan tentunya dikelola secara amanah (bukan dikorupsi). Mereka memaknai Maks adalah pungutan liar dan penggelapan dana umat seperti penggelap zakat.
Adapun pajak yang zalim adalah yang memberatkan, ditambah lagi dengan denda yang tidak kecil maka ini terlarang. Denda uang dalam perilaku indisipliner adalah terlarang dalam empat mazhab, kecuali menurut Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim. Namun mereka mensyaratkan jika memang denda tersebut mengandung maslahat.
Wallahu A’lam
(rhs)