Hukum Membangun Kuburan Menurut Mazhab Empat, Hadis dan Logika – Bagyanews.com
Connect with us

Kalam

Hukum Membangun Kuburan Menurut Mazhab Empat, Hadis dan Logika

Published

on

Hukum Membangun Kuburan Menurut Mazhab Empat, Hadis dan Logika


BagyaNews.comMenurut keterangan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, membangun secara permanen makam pada dasarnya dihukumi makruh. Para ulama ahli fikih sepakat mengenai hal ini. Dasarnya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan dari Jabir.

Masyarakat Muslim di Indonesia umumnya sangat menghormati orang tua, keluarga, dan leluhur yang telah wafat. Untuk mengenang, mereka melakukan ziarah kubur. Bahkan, menziarahi kuburan orang tua telah menjadi kebiasaan tahunan, seperti menjelang bulan Ramadan atau Idul Fitri.

Agar makam-makam keluarga tidak hilang keberadaanya, mereka memasang tanda, seperti nisan yang diberi nama. Ada pula yang ditandai dengan batu bata melingkar di atas kuburan. Atau batu bata yang juga disemen. Ada pula yang dibangun kijing di atasnya. Semua itu untuk menjaga eksistensi makam keluarga yang telah wafat agar mudah dicari ketika hendak diziarahi. Terkadang sebagian orang tua menunjukkan letak makam-makam keluarga agar sesekali dikunjungi dan didoakan arwah almarhumnya.

Sedikit berbeda dengan makam tokoh-tokoh agama terkenal seperti ulama besar atau orang yang dikenal sebagai wali. Makam-makam mereka biasanya dibangun lebih permanen dengan ditambah atap untuk memberikan kenyamanan bagi para peziarah.

Muncul pertanyaan tentang hukum membangun kuburan seperti kasus di atas. Apakah agama Islam memperbolehkan Muslim membangun makam-makam keluarga mereka? Menurut keterangan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, membangun secara permanen makam pada dasarnya dihukumi makruh. Para ulama ahli fikih sepakat mengenai hal ini. Dasarnya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan dari Jabir.

Wa ittafaqa al-fuqaha’ ‘ala karahati tajshish al-qabr li ma rawa jabir radhiyallahu ‘anhu naha rasulullah shallallahu alahi wa sallam an yujashshash al-qabru wa an yuq’ada ‘alaihi wa an yubna ‘alaihi (para ahli hukum Islam bersepakat menghukumi makruh menembok kuburan karena ada hadis yang diriwayatkan oleh Jabir, Rasulullah SAW melarang menembok kuburan, mendudukinya dan dibangun di atasnya (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid 32, hlm. 250).

Berdasarkan keterangan ini, para ulama sepakat bahwa hukum membangun kuburan hanya sampai makruh. Tidak sampai dihukumi haram. Hal ini menunjukkan bahwa larangan yang terdapat dalam hadis; berarti makruh, bukan haram.

Senada dengan para ulama mazhab lain, para ulama fikih mazhab Syafi’i berpandangan bahwa larangan menembok kuburan dalam hadis bermakna makruh. Ketika menjelaskan hadis membangun kuburan riwayat sahabat Jabir, Imam An-Nawawi mengatakan;

qala ashabuna tajshish al-qabri makruhun wal al-qu’ud ‘alaihi haram, wa kadza al-istinad ilaihi wa al-ittika’ ‘alaihi. Amma al-bina’ ‘alaihi fa in kana fi milk al-bani fa makruh. Wa in kana fi maqbaratin musabbalatin fa haramun. Nashsha ‘alaihi as-syafi’i wa al-ashab (para sahabat kami –ulama syafi’iyyah, berpendapat bahwa makruh hukumnya menembok kuburan. Duduk di atasnya adalah haram. Demikian pula bersandar pada makam. Sedangkan membangun bangunan di atas kuburan, jika kuburan itu berada di tempat milik si pembangun makam, maka makruh. Jika makam berada di tempat yang disediakan untuk umum –musabbalah, maka hukumnya haram. Imam Al-Syafi’i dan para ulama pengikut mazhab Syafi’i menegaskan semacam itu (Syarah An-Nawawi ‘Ala Muslim, jilid 7, hlm. 27).

Keterangan Imam An-Nawawi di atas menegaskan bahwa para ulama mazhab Syafi’i memaknai larangan dalam hadis hanya sebatas makruh. Tidak sampai haram. Senada dengan keterangan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah yang menyebutkan kesepakatan para ulama fikih. Kesepakatan ini sepertinya telah menjadi ijma’ yang mengalihkan makna dasar larangan dari keharaman menuju kemakruhan. Di sisi lain, hadis larangan membangun kuburan berada dalam konteks adab. Hal ini dibuktikan dengan disebutkannya pembangunan dengan duduk dan bersandar di atas makam. Ini merupakan aktifitas yang dinilai bertentangan dengan etika. Dalam kaidah ushul fiqh, larangan yang berkaitan dengan adab-etika berarti makruh.

Imam Ibnu Abdil Barr pernah menjelaskan tentang masalah ini dalam ulasannya tentang larangan memakai hanya satu sandal yang terdapat dalam hadis : wa nahyuhu shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘an al-masyi fi na’lin wahidin nahyu adabin la nahyu tahrimin wa al-ashlu fi hadza al-bab anna kulla ma kana fi milkika fa nuhita ‘an syai’in min tasharrufihi wa al-‘amal bihi fa innama huwa nahyu adabin li annahu milkuka tatasharrafu fihi kaifa syi’ta wa lakin al-tasharruf ‘ala sunnatihi la tata’adda (larangan nabi saw berjalan dengan satu sandal adalah larangan etis, bukan larangan yang bertujuan mengharamkan. Dasar pemikiran dalam masalah ini adalah setiap sesuatu yang merupakan milikmu, lalu engaku dilarang menggunakannya, maka larangan itu bersifat etis. Karena, sejatinya engkau bebas mengguakan milikmu sekehendakmu, tetapi hendaknya sesuai dengan tradisi penggunaannya dan tidak berlebihan). (Al-Tamhid Li Ma Fi Al-Muwatha’ Min Al-Ma’ani Wa Al-Asanid, jilid 18, hlm. 188).

Demikian penjelasan singkat tentang hukum membangun kuburan menurut mazhab empat. Para ulama mazhab empat sepakat bahwa hukum asal membangun kuburan adalah makruh. Dasarnya adalah larangan yang terdapat dalam hadis. Larangn dalam hadis diartikan sebagai larangan yang bersifat makruh. Bukan haram.



Sumber Berita harakah.id

#Hukum #Membangun #Kuburan #Menurut #Mazhab #Empat #Hadis #dan #Logika

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved