BagyaNews.com – Para ulama dalam lingkungan mazhab Syafi’I berbeda pendapat apakah ia najis atau tidak. Pendapat pertama mengatakan keputihan merupakan najis. Alasannya, karena keputihan timbul di daerah yang rawan najis. Sehingga ia dihukumi najis.
Hukum keputihan. Salah satu permasalahan kewanitaan yang terkait dengan ibadah adalah keputihan. Tidak sedikit perempuan yang mengalaminya. Sebagian bertanya tentang apakah keputihan merupakan bentuk najis atau tidak. Apakah keputihan termasuk perkara yang membatalkan wudhu atau tidak. Demikian sebagian orang bertanya.
Keabsahan ibadah shalat harus senantiasa diperhatikan dengan memperhatikan syarat dan rukunnya. Salah satu syarat ibadah shalat adalah mensucikan diri dari najis dan hadas. Terkait dengan hukum keputihan, apakah ia najis atau tidak, Imam Al-Syirazi menjelaskan dalam kitab Al-Muhadzab sebagai berikut:
[وَأَمَّا رطوبة فرج المرأة فالمنصوص أنها نجسة لانها رطوبة متولدة في محل النجاسة فكانت نجسة ومن اصحابنا من قال هي طاهرة كسائر رطوبات البدن]
Adapun cairan kemaluan perempuan maka pendapat yang disebutkan dalam kitab Al-Syafi’i adalah ia tergolong najis. Karena, cairan itu muncul di tempat najis. Karena itu, ia dihukumi najis. Di antara pengikut mazhab Syafi’i, ada yang berpendapat cairan itu suci seperti cairan badan lainnya. (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, 2/570)
Ruthubatul farji atau cairan kemaluan perempuan dalam keterangan di atas maksudnya adalah cairan berwarna putih; bisa jadi mirip dengan madzi dan bisa jadi mirip dengan keringat (ma’ abyadh mutaraddid baina al-madzi wa al-‘araq). Jelasnya, ia adalah keputihan dalam Bahasa Indonesia.
Berdasarkan keterangan di atas, para ulama dalam lingkungan mazhab Syafi’I berbeda pendapat apakah ia najis atau tidak. Pendapat pertama mengatakan keputihan merupakan najis. Alasannya, karena keputihan timbul di daerah yang rawan najis. Sehingga ia dihukumi najis. Dalil lainnya, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari:
وَعَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّهُ قَالَ (يَا رَسُولَ اللَّهِ إذَا جَامَعَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ فَلَمْ يُنْزِلْ قَالَ يَغْسِلُ مَا مَسَّ الْمَرْأَةَ مِنْهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي)
Dari Ubay bin Ka’ab yang berkata, “Wahai Rasulullah, ketika seorang lelaki menyetubuhi istrinya lalu tidak keluar mani (apa yang dia harus lakukan)?” Rasulullah SAW menjawab, “Ia harus membasuh bagian (kemaluan) yang menyentuh istrinya, lalu dia berwudhu dan melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari).
Hadis di atas berbicara tentang persetubuhan yang tidak sampai keluar sperma, tidak mewajibkan mandi besar. Tetapi, ketentuan ini telah dihapus dalam ketentuan yang baru. Hadis di atas juga menjelaskan bahwa kemaluan orang yang bersetubuh harus dibersihkan. Ketentuan ini tidak dihapus. Pastinya, keharusan membersihkan kemaluan ini karena ada najis yang mengenai. Ini artinya, cairan kemaluan perempuan adalah najis.
Pendapat kedua mengatakan bahwa cairan keputihan tidaklah najis. Dasarnya adalah ketidaknajisan cairan lain yang keluar dari tubuh manusia seperti ludah, ingus, dan keringat. Cairan keputihan dianalogikan dengan cairan-cairan tersebut.
Menyikapi perbedaan pendapat ini; Imam Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan;
وَالْحَاصِلُ أَنَّ رُطُوبَةَ الْفَرْجِ ثَلَاثُ أَقْسَامٍ طَاهِرَةٌ قَطْعًا وَهِيَ مَا تَكُونُ فِي الْمَحَلِّ الَّذِي يَظْهَرُ عِنْدَ جُلُوسِهَا وَهُوَ الَّذِي يَجِبُ غَسْلُهُ فِي الْغُسْلِ وَالِاسْتِنْجَاءِ، وَنَجِسَةٌ قَطْعًا وَهِيَ مَا وَرَاءَ ذَكَرِ الْمُجَامِعِ، وَطَاهِرَةٌ عَلَى الْأَصَحِّ وَهِيَ مَا يَصِلُهُ ذَكَرُ الْمُجَامِعِ شَيْخُنَا اهـ بُجَيْرِمِيٌّ
Kesimpulannya, cairan kemaluan perempuan ada tiga macam. Cairan yang suci, yaitu cairan yang berada di tempat yang kelihatan ketika seorang perempuan duduk. Yaitu tempat yang wajib dibasuh ketika mandi dan cebok. Cairan najis, yaitu cairan yang berasal dari tempat yang berada di luar jangkauan kemaluan lelaki. Cairan suci menurut pendapat yang kuat. Yaitu cairan yang keluar dari tempat yang bisa dijangkau kemaluan lelaki. Demikian keterangan guru kami, Syaikh Bujairami (Tuhfahtul Muhtaj, 1/301).
Agaknya, status kesucian cairan ini dihubungkan dengan status apakah ia mirip dengan keringat (al-‘araq) atau dengan madzi (al-madzi). Sebuah cairan ketika ia keluar dari bagian dalam kemaluan perempuan, ia lebih mirip dengan madzi, karena itu ia najis. Sedangkan bila ia keluar dari bagian luar kemaluan, ia lebih mirip dengan keringat, karena itu ia suci.
Terkait dengan pertanyaan apakah keputihan membatalkan wudhu atau tidak, ini sangat tergantung apakah keputihan disamakan dengan madzi atau keringat. Jika disamakan dengan madzi, maka ia termasuk benda najis yang membatalkan wudhu karena ia keluar dari bagian dalam kemaluan. Keluarnya sesuatu dari kemaluan merupakan salah satu sebab batalnya wudhu. Imam Abu Syuja’ dalam kitab Taqrib mengatakan,
وَالَّذِي ينْقض الْوضُوء خَمْسَة أَشْيَاء مَا خرج من السَّبِيلَيْنِ
Perkara yang membatalkan wudhu ada lima perkara, yaitu perkara yang keluar dari dua jalan (kemaluan dan dubur).. (Kifayatul Akhyar, hlm. 36)
Menjelaskan hal ini, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan,
أَوْ خَرَجَتْ رُطُوبَةُ فَرْجِهَا إذَا كَانَتْ مِنْ وَرَاءِ مَا يَجِبُ غَسْلُهُ يَقِينًا
Atau keluar cairan kemaluan si perempuan, ketika cairan itu berasal dari daerah yang wajib dibasuh, secara meyakinkan (maka termasuk perkara membatalkan wudhu). (Tuhfatul Muhtaj, 1/130)
Dengan mempertimbangkan keterangan Imam Ibnu Hajar di atas, bisa disimpulkan bahwa keputihan merupakan perkara yang membatalkan wudhu. Karena ia adalah benda yang keluar dari kemaluan. Demikian ulasan singkat tentang hukum keputihan. Semoga artikel tentang hukum keputihan ini bermanfaat.