Gus Yahya, Tekad Si Vis Pacem dan Mandat NU Untuk Perdamaian Dunia – Bagyanews.com
Connect with us

Headline

Gus Yahya, Tekad Si Vis Pacem dan Mandat NU Untuk Perdamaian Dunia

Published

on

Gus Yahya, Tekad Si Vis Pacem dan Mandat NU Untuk Perdamaian Dunia


BagyaNews.comGus Yahya, sapaan akrab KH. Yahya Cholil Staquf, termasuk salah satu sosok progesif dalam tubuh Nahdlatul Ulama. Taufiqurrahman, seorang santri asal Jawa Timur, sempat memintal obrolan dan merekam beberapa pertemuannya dengan Gus Yahya. Palestina, konflik Timteng hingga peran NU dalam perdamaian dunia, adalah beberapa isu yang dibicarakan.

Kalimat yang sama selalu terlintas di pikiranku saat melihat sosok Katib Am Syuriah PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf: “Si vis pacem, para bellum (if you want peace, prepare for war)  

Kiai atau Gus Yahya muncul ke publik dan menyita perhatian saat dia membuat gebrakan maut dengan berbicara di forum American Jewish Comitte di Israel juni tahun lalu. Kiai muda yang nekat masuk ke kandang macan sendirian. Sebuah langkah yang boldly go, where no man (except Anwar Sadat, Abdurrahman Wahid and Hasyim Muzadi) has ever gone before.

Sejak saat itulah aku mulai tertarik dengan beliau. Orang yang amat paham bahwa setiap perubahan, pasti memiliki resiko ditentang. Jika kamu ingin mencintai, maka bersiaplah dibenci.

Tapi sekarang aku tidak melihat beliau melalui layar televisi, ataupun di gambar-gambar statis di  berita. Beliau ada di sini. Setengah meter di hadapanku. Menghisap rokoknya dan mengunyah buah duren. Di keremangan teras sebuah hotel di pusat kota Banjar, 9 kilometer dari lokasi Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019.

Kakiku gemetar. Mimpi apa aku semalam sampai bisa ketemu, berhadapan, dan berdiskusi dengan beliau. Satu meja, tanpa halangan protokol, tanpa prosedur ini itu. Padahal aku ingat sekali siang tadi, beliau dikerumuni ratusan orang, berebut mau berfoto atau sekedar bersalaman.

Di tengah pengapnya udara malam kota Banjar, beliau  mengenakan kaos dan bersarung. Wajahnya sekali kali mengeras namun menunjukkan optimisme. Seperti gemas, tapi puas. Seperti baru saja menang taruhan. Seperti perasaan lega, selega jerawat pecah. “Pokoke swip munas saiki, mantep” ujarnya sambil menekan dan menghancurkan batang rokok ke asbaknya.

Dan saya, seorang santri millenial kelas butiran debu yang melekat  diantara teletong cuma bisa termagu-magu dan krecet di tempat duduk dengan mata terbeliak dan mulut agak sedikit terbuka dihadapan sosok yang begitu kokoh dan berapi-api. Bercerita soal kunjungannya ke Israel, betapa—I don’t give a shit—nya ia menanggapi berbagai kecaman, dan betapa kuat resolve-nya dalam melakukan apa yang ia yakini.

Sekali-kali beliau bangkit mengambil rokok, mengisi air di gelas, sambil mengeluarkan cerita-cerita dibalik keputusan-keputusan yang diambil oleh sidang poro kiai dan ulama di Munas malam kemarin.

Pria ini sudah lama made up his mind, membuat resolve untuk memutuskan rantai kebencian yang diciptakan oleh siklus konflik terutama di dunia muslim di seluruh dunia. Sebagai seorang muslim yang menyaksikan sendiri bagaimana saudara-saudaranya dibantai di tanah mereka sendiri, aku yakin beliau menyimpan kegeraman. Atau mungkin dendam. Entahlah.

Tapi apa yang membedakan beliau dengan kita adalah kemampuannya untuk move on beyond hatred. Beliau tahu bahwa dalam siklus konflik dan dendam yang berkepanjangan, sangatlah sulit ditemukan siapa yang salah. Semua berkontribusi.

Apakah muslim menderita? jawabannya ia, sehari-hari dibantai, tanah dicaplok, diusir, dipukuli dan dipersekusi. Tapi apakah Yahudi Israel juga melulu hidup senang? Enggak juga. Mereka diusir dari tanah kelahirannya di kanán, pindah ke mesir,. diperbudak,  minggat lagi dari mesir, nyebar di eropa, jadi korban di perang salib, dibantai di perang dunia kedua, kena anti semit dll.

Lha terus kalau penderitaan itu kita jadikan dendam dan motivasi untuk membuat dan membalas orang yang telah membuat kita menderita, kapan marine?

Ibarat baru saja mendapati dua orang anak gembala yang sudah gelud selama berjam-jam. Cara arbitrasi yang paling baik adalah bukan dengan menggelar sidang untuk mengetahui siapa yang mukul duluan. Namun, mencari substansi atau hal-hal yang bisa disepakati agar kedua pihak mau saling memaafkan. Atau kalau ndak mau memaafkan, minimal berhenti baku hantam.

“Ngg anu kiai…” kata saya memberanikan diri untuk bertanya. “Nopo mboten diarahkan untuk menuju one state atau two state solutions, seperti yang selama ini kita upayakan? ”

“Lah dicari dulu akar masalahnya apa. Lapoó kok Muslim karo Yahudi kie nggak isok urip bareng. Masalahe opo? masalahmu opo? perkoro two state opo one state masalah gampang. Nek ikine ketemu (rokok dan jari telunjuk) ngisor-ngisorane katut!” jelasnya.

Benar juga. Harus dimulai dari pertanyaan yang paling substantif.  Kenapa nggak bisa rukun? apa masalahnya? ekonomikah? sosial kah? politik kah?  Kalau ini bisa ditemukan. Persoalan lain insyaallah bisa diurai.

Tapi aku pikir-pikir masalah diatas sebenarnya teknis dan relatif mudah diatasi. Ya bukang gampang begitu. Tapi ya bisa lah diatasi, bisa. Nah sekarang bagaimana jika yang bikin saling membenci adalah sesuatu yang amat sakral, kuno, dan transenden? misalnya, misalnya lo ya, perintah Tuhan, yang seakan-akan nyuruh kedua kaum penganut agama untuk gegeran forever?

Ini persoalan yang lebih¸rumit, mbingungi dan hayo kon. Lah wong yang nyuruh tukaran Tuhan kok. Apa bisa selesai? Maka dari itulah di forum Israel saat itu, Kiai Yahya menawarkan sebuah solusi yang lagi-lagi unprecedented.

Kalau hasil saduran dari nash-nash utama dalam islam melahirkan norma-norma yang nyuruh untuk memperpanjang konflik dengan Yahudi atau penganut agama lain, atau siapapun, maka rekontekstualisasi nash tersebut bisa dilakukan. Bahkan. Wajib dilakukan!

Yang jeli pasti bisa melihat message yang ingin disampaikan Kiai Yahya ke publik Israel dan komunitas Yahudi di seluruh dunia. Bahwa kami, Umat Islam, kepengen rukun kale njenengan sedanten. Bahkan kalau ajaran-ajaran agama kami terlalu kaku memusuhi njenengan, maka kami mau/willing untuk bermusyawarah untuk menafsirkan ulang rumusan-rumusan nash tersebut.

Lalu harapannya apa? Ya tolong anda-anda yang Yahudi melunaklah juga. Tolong konsep Y’erezt Israel dikompromikan sedikit. Janganlah membangun kejayaan agama dan negara diatas penderitaan orang lain. Mari mengutamakan kemanusiaan. Ayo sama-sama mbangun kehidupan yang adil tentram dan makmur dengan jaminan kebebasan menjalankan kewajiban agama bagi para pemeluk-pemeluknya. Saya yakin njngan semua manusia, fitrah manusia itu punya rasa kasih sayang. Dengan sesama manusianya. Ayo kita pilih “Rahmah” kasih sayang ke sesama manusia. Apapun agamanya.

Lagipula, menurut Gus Yahya percuma dibentuk dua negara atau satu negara bersama kalau ujung-ujunge gegeran maneh. “Misale didirikan negara Palestina, two state solutions. La wong wilayahe sepotong neng kene, terus sepotong neng kunu, lha piye ngurus negorone?”

Benar juga.

“Tapi kiai…” saya ngengkel juga akhirnya. Maap ngempet “Apakah kita ndak megupayakan sesuatu yang sia-sia? Apakah orang orang yang kita rangkul ini punya I’tikad baik? kan sudah diberi peringatan wa lan tardlo… (QS Al Baqarah ayat 120)”

“Ya urusan i’tikad baik atau tidak itu terserah masing-masing. Tapi apa konflik itu mbuk jarno? Kan nggak, tetep harus dicari solusi.”

Kiai Yahya menyebut, sejak kedatangannya ke Israel saat itu, kini publik barat dan komunitas Yahudi khususnya sudah mulai mau membuka saluran diskusi. Artinya mimpi perdamaian itu paling tidak sudah dibuatkan fondasinya. Dengan diskusi itu, Gus Yahya ingin membawa persoalan fundamental konflik berbasis agama ke ruang diskusi publik internasional. Biar jadi perhatian.

Harapannya, nanti muncul kesadaran dan terciptanya pressure politik yang cukup untuk memaksa orang-orang yang ingin melanggengkan konflik ke meja perundingan untuk menciptakan kedamaian. At least, kondisi damai meski sementara.

Memang tidak mudah, banyak rintangannya. Termasuk tandangan dari publik dalam negeri sendiri. “Tapi ya nek kene mikir rintangan teros, kapan mlakune pak? Apa mau marah-marah teros? Kita ini sering mengelola emosi-emosi yang nggak produktif. Terus nek kowe ngamuk-ngamuk teros uripe wong Palestina tambah apik ngunu?” cecar Gus Yahya.

Saya cuma bisa manggut-manggut…

BELUM Juga sehari, keputusan Munas sudah jadi kontroversi. Sangat emezing membayangkan bagaimana orang-orang di luar sana langsung bisa mengeluarkan analisis lengkap dengan vonis sesat pada keputusan yang belum mereka baca detailnya. Lah, anak-anak wartawan yang seharian nongkrong di Media Center saja belum dapat salinan putusannya.

Ini juga mungkin yang mendasari Gus Yahya mau menulis. Setelah semua modus kukerahkan untuk dapat nomer beliau, setelah berbagai macam bentuk komunikasi dilakukan. “Sebentar ya, saya renungkan dulu…” kata beliau membalas pesanku. Aku langsung melompat kegirangan. Teh anget tumpah ke kaki. Panas sih, lumayan. Loro pisan.

Ketemu Kiai itu tidak kalah deg deg ser dengan ketemu gebetan. Dengan alasan/modus saya mau mengcopy file, Kiai mengijinkan saya menemuinya di tempat menginap. Saya langsung mencelat dari kamar. Ojek mana ojeeeek.

“Biar nggak ada salah paham lagi,” kata beliau mempersilahkanku memegang laptopnya.

Aku buka file tulisan beliau. Kirain Kiai mau bikin daftar klarifikasi tentang apa yang jadi perdebatan di media sosial. Soal keputusan munas  yang memilih untuk meniadakan sebutan kafir pada non-Muslim yang hidup di Indonesia. Eh ternyata…

”Saya sebagai salah satu bagian dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tidak berkecil hati dengan perdebatan tanpa arah itu.” Translation : Kowe debat debato sak karepmu, ora urus.

Yap, benar resolve berani dari seorang Gus Yahya Staquf yang dulu mendatangi kandang Israel kini mulai tergambar dalam sikap ke jamiiyyahan Nahdlatul Ulama dalam menyambut berkembangnya sentimen keagamaan yang berpotensi menimbulkan konflik yang beliau sebut ”Memiliki daya rusak tak terperi”

Betapa tidak, srang-orang berlomba untuk menggali nash-nash agama mereka masing-masing. Mengelompokkan dan menginventarisir perintah-perintah agama yang mengandung nuasa “ayo gelut”, mengarsipkan episode –episode sejarah berisi dosa-dosa kelam dan kesalahan-kesalahan masa lampau pemeluk agama lain untuk kemudian dikumpulkan menjadi “List of reason why you people should all go to hell,”

Alih-alih berusaha mencari solusi perdamaian, para umat beragama pun di abad dua puluh mengunci diri dalam kubu-kubu pertahanan dengan mimpi dan anggapan bahwa agama mereka adalah pilihan sah tuhan dan satu-satunya yang berhak berjaya di muka bumi ini.

Beberapa, mungkin kebanyakan, berpikir bahwa konflik yang terjadi di dunia adalah takdir yang tidak dapat diubah, nubuat kitab suci, dan satu satunya outcome adalah perang akhir zaman dimana masing-masing berpikir merekalah yang akan menang. Sungguh sangat hadeh…

Kiai Yahya sendiri menyebut dalam tulisannya. Bahtsul Masail Maudluiyah itu tema raksasa. Negara, Kewarganegaraan, Hukum Negara dan Perdamaian. Artinya sedang dimusyawarahkan berbagai upaya untuk mendamaikan manusia. Menekan penyakit kambuhan kelas Ancient yang diidap anak adam. Yakni suka gelud.

Tak heran saat sore menjelang, semua petinggi NU, lengkap mulai Rais Am KH. Miftachul Akhyar, Ketum Tanfidziyah KH. Said Aqil Siroj, Kiai Yahya sendiri dan beberapa petinggi lain, ramai-ramai nimbrung di sidang komisi Maudluiyah. Komisi lain belum keruan dikunjungi.

“Kiai…” kataku memecah keheningan. “Saya pernah baca pemikiran beberapa orang barat. Katanya Islam ini agama gagal. Bagaimana tidak? Kata mereka ajaran islam itu bagus. Tapi entah mengapa gagal menciptakan kedamaian dunia. Alih-alih, mau mensejahterakan dan mengamankan pengikutnya sendiri aja ndak bisa. Apalagi mau kontribusi sama kemajuan peradaban dan Ilmu pengetahuan…”

“Ya karena mbosok semua” katanya. “Yang diterapkan di Timur Tengah itu islamnya mbosok. Nggak berkembang. Sementara di indonesia Islamnya berbunga. Mangkane nek kene melu kono (TimTeng,Pen) yo kene melu mbosok,” jelasnya.

“Makanya…” lanjut beliau “Islam yang bagus ya di Indonesia. Terlihat kan tren-nya. Ulama-ulama timur tengah mulai mengapresiasi dan muji-muji islam yang berkembang di indonesia. Karena di wilayahnya sendiri konflik terus.”

“Barangkali itu juga yang menjadi dorongan utama NU akan mulai berperan di kancah internasional…” kataku sekenanya. Sok iyes dan sok yo iyoó. Semoga nggak kleru.

“Ya harus dimulai. Nggak boleh diem. Pidato Rais Am sudah klir, kita butuh Rekonteksutalisasi. NU harus mulai berperan untuk menyelesaikan konflik-konflik di luar negeri itu. Karena dalam negeri sentimen itu berkembang terus, kene anti kristen, anti kapitalis segala macem. Ya karena konfliknya sendiri terus berkobar. Banyak korbannya. Kalau ndak diatasi, gimana bisa ngikis sentimen-sentimen itu,”

Hening.

Gus Yahya menghisap rokoknya dalam-dalam. Dan aku tenggelam dalam pikiranku sendiri : Mendamaikan dunia… nekat gila!  Barangkali tidak realistis. Too good to be true. Kalau saja bukan poro Kiai yang bikin resolve. Jalannya tak terbantahkan sangat terjal. Bahkan niatan mulia para kiai yang bermusyawarah di Bahtsul Masail Maudluiyyah saja belum-belum sudah dapat tentangan dimana-mana. Sebagian besar malah dari kalangan umat islam sendiri. Bayangkan, oleh agama disuruh memusuhi orang-orang kafir, lah ini sama NU malah disuru berbaik-baik. Mendamaikan.

Banyak yang mengatakan keputusan NU ngawur. Bukan asli pemikiran Kiai NU. Ada yang bilang barangkali kiai-kiai NU lagi gabut dan pingin bikin sensasi. Ada yang bilang NU mau menghapus surat Al-Kafirun.

Otak saya kepanasan mencoba mencerna situasi ini. Bagaimana mungkin  bukan asli pemikiran kiai NU. Yang menggedok mulai Rais Am, lengkap dari Syuriah hingga Tanfidziyah. Dan bagaimana mungkin umat islam di indonesia yang terkenal sangat taat pada patron Kiai mengatai poro Kiai “Gabut” alias tidak ada kerjaan.

Tapi itulah yang terjadi saat ini. Si vis pacem para bellum, kalau kau ingin menciptakan kedamaian, bersiaplah untuk berperang! Eits, tapi yang dimaksud disini bukan perang nisbi ala Kampanye pilpres. Artinya NU siap mengeksekusi cita-cita ini walaupun nantinya akan mendapat tentangan dimana-mana.

NU, mengutip Gus Yahya, ”dengan segala keringkihannya” artine wis siap babak belur, mau dikatain apapun, bangsat kek, gabut kek, caper kek, NU sudah bulat, poro Ulama sudah bulat untuk mengayunkan langkah ke arah upaya tiada akhir dan tiada batas untuk turut serta menciptakan perdamaian dunia. Meskipun ditentang dimana-mana.

Dan tekad Si Vis Pacem sudah ditunjukkan oleh seorang Staquf pertengahan tahun lalu dengan bertandang ke kandang lawan. Sendirian nglurug tanpo bolo. Assaulting without an army. Tekad dan semangat yang sama dengan yang ditunjukkan oleh Anwar Sadat dan Abdurrahman Wahid. Walau karihal kaafirun, walau karihal musyrikun, walau karihal munafikuun. Walau karihal Netizuuunn.

Lalu bagaimana dengan kita, orang awam yang tak tahu situasi, yang naif, sering dipermaikan kemarahan dan ketakutan tak berdasar, masih sering kagetan, gumunan, dan aleman? Kita punya track record yang buruk dalam mengapresiasi dan memahami keputusan-keputusan para pemimpin kita. Terutama yang revolusioner.

Apakah nanti akan terulang seperti masa Gus Dur, yang demikian bencinya kita ketika beliau jadi presiden, menuduh ini itu, lalu selepas wafatnya kita menyesal dan buru-buru mengagung-agungkan dan menyebutnya guru bangsa dengan seribu jasa?

Apa yang mesti diperbuat oleh ummat dan rakyat yang labil macam awak awak ni?

Kiai Yahya kulihat masih menatap layar hapenya. Sedari tadi belum dawuh lagi. Saya menimbang-nimbang apakah itu isyarat agar saya si-tidak penting—segera menyingkir? Tapi hiks, masih pengen diskusi lagi. Pengen mandi wejangan lagi.

“Njih pun ngeten mawon Kiai…” akhirnya kata-kata itu meluncur juga dari mulutku. “Nanti kulo kabari soal tulisannya,”

“Ya” jawab beliau singkat dan datar.

Aku segera meraih tangan beliau dan menempelkannya di dahi. Penyesalan mulai menyeruak di dalam hati. Aku pamit terlalu cepat.

Setiap langkah yang kuayunkan keluar hotel mengamplifkasi suara-suara bisikan yang menyatakan seharusnya aku stay lebih lama untuk mendapatkan lebih banyak nasihat. Sesal yang sama waktu aku tak cukup berani nembak pujaan hati dulu dan pamit terlalu cepat sebagai langkah kabur karena tak kuat menahan debaran hati. Tapi ya sudahlah, dipertemukan saja sudah syukur Alhamdulillah.

Aku segera cari ojek untuk kembali ke Pesantren lokasi Munas.

Belum pula memperkenalkan diri, belum pula dapet foto bareng Kiai. Hiks.



Sumber Berita harakah.id

#Gus #Yahya #Tekad #Vis #Pacem #dan #Mandat #Untuk #Perdamaian #Dunia

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved