Hampir semua perusahaan berkoar: manusia (karyawan) adalah modal mereka. Bahkan, tak sedikit yang menyatakan: manusia adalah modal terpenting mereka.
Melebihi modal dalam arti awal sebenarnya, yakni dana (financial capital). Namun, realitasnya berbeda. Kenyataan yang ada di dunia korporat umumnya, sumber daya manusia masih berada di belakang banyak fungsi lain.
Fungsi sumber daya manusia (SDM) memang ada; tetapi seringkali tidak menentukan. Ia ada sejauh untuk mendukung yang lain. Terutama fungsi operasional produksi.
Di dunia yang kian mementingkan pasar konsumen, maka fungsi pemasaran menjadi amat penting bagi banyak perusahaan. Fungsi SDM ada di situ untuk menunjang.
Sementara, di tengah-tengah kelangkaan pendanaan, maka fungsi manajemen keuangan perusahaan menyeruak ke tengah dan barisan depan sebagai elemen dalam bisnis yang teramat strategis. Bahkan, menjadi “life blood” perusahaan sehingga bisnis itu bisa jalan (hidup) terus.
Seberapa pentingnya fungsi SDM bagi perusahaan tercermin dari berapa besar anggaran yang didapat unit ini tiap tahunnya? Seringkali anggaran buat SDM jumlahnya di bawah (bahkan jauh di bawah) dari anggaran yang dialokasikan untuk fungsi-fungsi produksi, pemasaran, dan keuangan.
Bahkan, di beberapa perusahaan yang mengandalkan inovasi, budget SDM tertinggal dari anggaran untuk Litbang (penelitian – pengembangan). Kalau sudah faktanya begini, retorika tentang pentingnya SDM jadi tidak meyakinkan.
Indikator lain dari penting tidaknya fungsi SDM adalah berapa banyak pimpinan puncak perusahaan yang berlatar belakang bidang SDM.
Berapa banyak CEO yang sebelumnya pernah menjadi pimpinan bidang SDM. Misalnya, menjabat Director of Human Resources atau Kepala Divisi Sumber Daya Manusia atau yang lainnya. Jawabannya pasti sedikit, sebab kebanyakan pimpinan perusahaan berasal dari unit-unit yang mewakili tiga fungsi lain tadi: produksi, pemasaran, dan keuangan.
Quo Vadiz ?
Pertanyaan yang menyeruak kini dan untuk beberapa waktu ke depan adalah: apakah dan benarkah SDM masih relevan dalam format korporasi yang kini ada?
Selanjutnya, apakah peran SDM bisa dirasakan kehadirannya oleh unit-unit yang lain dan setiap karyawan dan awak perusahaan?
Sejatinya, itu semua pertanyaan eksistensial bagi SDM sebab jawaban negatif bermakna fungsi SDM tidak dibutuhkan perusahaan. Pada ajang persaingan dunia usaha, bisa-bisa fungsi SDM “dieliminasi” sehingga tidak maju ke babak berikutnya.
Untuk menghindari hal itu ada baiknya SDM ditinjau kembali supaya kembali ke fungsi awalnya. Istilah SDM itu sendiri merupakan metamorfosa dari kata-kata yang sederhana.
Permulaan dikenal istilah Personalia, diikuti Human Resources (SDM). Sempat muncul di perusahaan-perusahaan yang mengandalkan kreativitas-inovasi istilah Human Capital (Modal Manusia). Sekarang, menurut motivator Rene Hardono, jamak kata-kata Human Engagement atau (lebih baru lagi) People Analytics.
Apapun namanya, esensinya sama. Fungsi pengelolaan sumber daya manusia dilaksanakan oleh unit yang bertugas menjadi jembatan antara organisasi dan individu.
Suatu kesatuan yang mengurus berbagai aspek manusia dalam lembaga atau perusahaan. Kalau manusia menjadi titik sentral organisasi tersebut, maka sewajarnya unit SDM menjadi kunci utama bagi kelangsungan hidup perusahaan ini.
Namun, seringkali, hal itu tak muncul. Akhirnya yang merasa fungsi SDM penting bagi organisasi hanya orang SDM sendiri.
Di banyak organisasi SDM dipahami atau dirasakan kehadirannya sebatas sebagai penata atau pelaksana administratif saja. Utamanya, yang terkait dengan urusan manusia/pekerja saja.
Sangat jarang SDM mengambil peran sebagai inisiator atau inovator bagi terobosan-terobosan di perusahaan yang manfaatnya dirasakan fungsi produksi, pemasaran, maupun keuangan.
Cara kerja fungsi SDM di banyak perusahaan tidak beda dengan 10-20 tahun lalu – kecuali bahwa kini jumlah komputer yang digunakan jauh lebih banyak.
Ketidak-relevanan fungsi SDM semakin terasa, tatkal berbagai prosedur, program, piranti lunak, tatakerja, dan metodologi lainnya tidak lagi efektif atau bahkan berjalan.
Hal ini bisa dilihat lewat tiga indikator ini:
(1) Semakin sulit merekrut, mempertahankan, dan mengembangkan karyawan,
(2) Semakin sulit untuk memberdayakan karyawan di dalam organisasi,
(3) Semakin sulit untuk memenuhi peran sebagai unit pemberdaya manusia sekaligus juga sebagai pendorong di tingkat bisnis.
Agar fungsi SDM tetap relevan bagi organisasi manapun, retorika pentingnya manusia harus diimbangi dengan pelibatan fungsi manusia dalam berbagai tahapan strategis pada tingkat tertinggi perusahaan.
Manusia bukan sekadar resource (sumberdaya), tetapi juga source (sumber) bagi banyak hal esensial di perusahaan. Termasuk “ruh” dan life blood-nya. Mari kita pandang, pahami, dan terima fungsi SDM dengan proporsi seperti itu.