Perdebatan antara Islam dan tradisi lokal rupanya masih menjadi sasaran empuk bagi para tokoh agama ortodoks. Beberapa waktu lalu, seorang penceramah kondang bernama
Khalid Basalamah, dalam salah satu ceramahnya, mempersoalkan strategi dakwah yang menggunakan kebudayaan sebagai medium.
Saya kutipkan secara verbatim, begini:
“Harusnya Islam dijadikan tradisi dan budaya. Jangan kita balik, budaya di Islamkan. Susah. Mengislamkan budaya ini repot, karena budaya banyak sekali, standar yang mana yang harus dipegangi?”
Pernyataan tersebut keluar pada saat Ustadz Khalid menjawab pertanyaan salah satu jama’ah yang bertanya seputar hukum wayang dan bagaimana cara tobat dari profesi seorang dalang. Dalam pernyataannya, tradisi yang dimaksud Basalamah adalah wayang. Sebuah tradisi nenek moyang bangsa Indonesia yang telah mengakar, bahkan menjadi salah satu identitas kuat di bumi putra nusantara.
Ada dua aspek yang sedang dibincang oleh Basalamah dalam ceramahnya terkait wayang. Pertama, lebih baik meninggalkan tradisi-tradisi yang menyelisihi ajaran Islam, termasuk wayang. Kedua, metode penggunaan tradisi dan budaya sebagai medium dakwah merupakan cara yang salah karena Allah telah memberikan standar-standar khusus bagaimana seorang Muslim seharusnya berdakwah.
Memang, tidak ada kata ‘haram’ terucap dari mulut Basalamah dalam video berdurasi 2 menit itu. Namun dua aspek di atas sudah jelas mengindikasikan bahwa menurut Basalamah, wayang tidak selaras dengan Islam sehingga perlu ditinggalkan. Ia juga mengatakan bahwa jika seseorang, utamanya dalang yang ingin bertobat, masih mempuyai wayang, maka sebaiknya dimusnahkan karena itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Saya tidak paham, aspek wayang bagian mana yang dilihat Basalamah sehingga ia bisa menyimpulkan demikian. Memang benar, bahwa wayang tidak pernah tersebut di manapun dalam al-Qur’an dan hadis. Karena memang pewayangan bukan merupakan tradisi yang ada di Arab. Namun, naif rasanya jika kemudian menghakimi buruk sesuatu hanya karena ia tidak ada dalam al-Qur’an.
Seperti halnya pisau, wayang pada hakikatnya hanyalah sebuah benda yang bebas nilai. Manusia kemudian memberinya nilai-nilai yang menentukan apakah benda tersebut baik atau buruk.
Berbicara tentang wayang kulit, misalnya. Wayang kulit sendiri sudah tercatat ada sejak tahun 1.500 sebelum Masehi, jauh sebelum cerita Mahabarata dan Ramayana masuk ke Indonesia. Awalnya, wayang kulit digunakan sebagai medium untuk memanggil arwah leluhur dan melakukan pemujaan. Hal ini dihubungkan dengan kepercayaan masyarakat Jawa kuno, yang masih melakukan ritual penyembahan pada arwah leluhur. Pemujaan ini dilakukan melalui pagelaran wayang.
Kemudian seiring berjalannya waktu masuklah pengaruh Hindu ke Jawa. Pada era tersebut, pembawa agama Hindu melihat wayang kulit sebagai media penyebaran ajaran yang efektif. Baru kemudian epos Mahabarata dan Ramayana diadaptasikan ke dalam penceritaan wayang, Akulturasi tersebut bisa dikatakan berjalan lancar, karena pada akhirnya Hindu bisa diterima di Jawa pada masa tersebut.
Setelah berhasil digunakan oleh kebudayaan Hindu untuk masuk dan menyebarkan ajarannya, hal yang sama juga dilakukan oleh Wali Songo. Kesembilan Wali ini menjadi tokoh-tokoh besar penyebaran agama Islam di tanah Jawa, dengan cara yang serupa dengan agama Hindu.
Penyebaran agama dengan menggunakan wayang ini juga dianggap efektif karena pada masa tersebut wayang menjadi salah satu seni kerakyatan yang memiliki banyak sekali peminat. Dengan keahlian penceritaan dan penyisipan pesan ajaran agama Islam, penyebarannya berjalan sukses selama periode waktu tertentu.
Buya Yahya mengamini perihal wayang ini. Ia menuturkan bahwa selama wayang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan, maka tidak apa-apa digunakan. “Seni pewayangan, selagi masih bisa digunakan untuk berdakwah, maka gunakanlah untuk berdakwah selama masih dalam kerangka ajaran Islam.” Begitu ujar Buya Yahya.
Dalam pengertian ini, pewayangan mengandung nilai positif karena ia digunakan untuk berdakwah. Pewayangan juga bisa mengandung nilai negatif, jika ia digunakan, misalnya, untuk propaganda konflik antar suku atau promosi melakukan judi. Jikapun wayang pada akhirnya mendapatkan stigma negatif, maka yang perlu dievaluasi bukan wayangnya, melainkan moral si dalang atau pesan-pesan yang disampaikan.
Rasanya tidak perlu dalil al-Qur’an atau hadis untuk menjelaskan masalah ini. Jika mengacu pada metode dakwah, al-Qur’an dalam QS. an-Nahl: 12 hanya berbicara pada ranah prinsipil yang mengacu pada tiga hal, yaitu bil hikmah, artinya seorang penceramah harus secara bijaksana mengetahui tujuan dan mengenal sasaran dakwahnya. Tidak boleh semua masyarakat disamakan.
Kedua, bil mau izah hasanah. Artinya, dalam memberi nasihat, seorang dai harus menggunakan cara-cara yang baik, dimulai dengan memberikan teladan yang luhur hingga nasihat yang menyejukkan jiwa.
Ketiga, wajadilhum billati hiya ahsan, yaitu diskusi sesuai kondisi masyarakat setempat tanpa melukai perasaan mereka. Al-Qur’an sama sekali tidak berbicara mengenai “media dakwah”. Selama tiga prinsip utama tersebut terpenuhi, maka media apapun tidak akan menjadi masalah, termasuk wayang.
Di era sekarang, berbagai pemahaman Islam radikal mulai menginvasi Indonesia. Doktrin konservatif seperti yang diperagakan Basalamah tersebut pelan-pelan mengeliminasi satu-persatu identitas negeri yang justru pernah menjadi pagar pembuka bagi Islam untuk masuk ke Nusantara.
Dalam ceramahnya, Basalamah juga menyinggung bahwa Allah tidak menghendaki umat Islam yang terpecah-pecah. Jika kita meng-islamkan tradisi, maka nanti akan banyak muncul banyak tipe Islam.
“Berarti nanti akan ada ciri khasnya sendiri, Indonesia ada Islamnya sendiri, di Amerika ada sendiri Islamnya, jadi ini nanti masalah, padal sebenarnya Allah tidak menginginkan itu. Allah sebagai pencipta menginginkan kita punya standarisasi,” ujar Khalid Basalamah.
Pernyataan Basalamah tersebut mengantar pada satu pertanyaan, “lalu apa ukuran standarisasi itu?”, “apakah Islam yang ada di Arab itu standarnya?”, “apakah Islam di zaman Nabi dan Sahabat itu standarnya?”. Jika “benar”, maka artinya Islam tidak ramah dengan perkembangan zaman. Jika demikian, saya ragu Islam akan bisa diterima sebagai agama di masa depan bahkan di zaman sekarang sekalipun.
Bukan bermaksud menyepelekan Islam di zaman Nabi dan Sahabat, namun tentu kehidupan kita sekarang sangat berbeda dengan kondisi 14 abad yang lalu. Tidak usah berbicara waktu, secara sosial, tradisi dan geografi, kehidupan di Arab dan di Indonesia sangatlah berbeda. Secara akal, hal itu akan berpengaruh pada praktik sosial keagamaan masyarakat di dua wilayah tersebut. Oleh karenanya, cendekiawan muslim, Azyumardi Azra, menegaskan tentang pentingnya untuk tetap berlogika dalam beragama, agar tetap terus mendapat hikmah dalam kehidupan.
Wallahua’lam bisshowab.