Tema ini menjadi perhatian besar di kelompok NU sendiri dan para budayawan, pasalnya seiring dengan berjalannya waktu, kebudayaan dan tradisi berupa nyadran sudah mulai terkikis dengan kebudayaan yang datangnya dari luar baik dari Barat ataupun dari Timur Islam itu sendiri. Seperti yang dipahami bersama kata Sadran, atau Nyadran yang sudah familiar dalam telinga kita ternyata berasal dari bahasa Sanskerta, yakni Shadrra yang artinya keyakinan. Dengan hal ini Nyadran atau Shaddra adalah kegiatan manusia yang berkaitan dengan prosesi ritual yang berhubungan dengan para leluhur.
Masuknya ajaran Islam di Nusantara khususnya Jawa membuat kegiatan semacam demikian oleh para Wali Songo dibalut dengan ajaran-ajaran Islam, sehingga dikenal dengan akulturasi antara kebudayaan atau tradisi dengan ajaran agama. Kecerdasan para wali ini yang membuat ajaran Islam bisa diterima dengan terbuka oleh kalangan masyarakat setempat, khususnya Jawa pedalaman Selatan. Bahkan tidak bisa dipungkiri keraton selaku pemangku kebijakan kebudayaan pada saat itu ikut andil dalam melakukan islamisasi dengan corak kebudayaan yang berlaku (Marx Woorward, 2006:4).
Uniknya adalah, keraton tidak hanya sebagai pemangku kebijakan politik dan ekonomi, melainkan juga harus memangku kebijakan terkait dengan proses penyebaran agama Islam. Bahkan tak ayal, semua pangeran yang mau menjadi raja harus mendapatkan pendidikan dari pesantren supaya paham betul dengan ilmu-ilmu agama sebelum menjadi raja sebagai pemangku kebijakan untuk rakyatnya. Dengan melihat hal demikian, sampai detik ini keraton menjadi patron pemangku kebijakan terkait dengan kebudayaan Islam, salah satunya terkait dengan Nyadran.
Sebagai patron yang menyebarkan tradisi Islam sejak dulu, maka, secara otomatis masyarakat Islam yang patuh dengan tata aturan keraton sudah barang tentu melalukan tradisi-tradisi yang sesuai dengan ke-diri-an mereka dan aturan yang dikeluarkan oleh pihak keraton. Kita lihat misalnya dalam tradisi nyadran pelaksanaan nyadran biasanya ada yang melakukan tanggal 10, 15, 20, dan 23 Sya’ban yang itu sesuai dengan kesepakatan dan tradisi mudhun dan munggah. Hal ini diartikan sebagai para arwah leluhur turun untuk melihat anak cucunya yang masih hidup di dunia. Maka tidak heran jika nyadran diartikan sebagai hubungan manusia dengan orang yang sudah meninggal.
Bahkan tidak hanya kesepakatan dan penetapan, yang sekarang sudah mulai terkikis dalam tradisi nyadran adalah aspek kenduri. Kenduri atau makan-makan adalah aspek penting dalam tradisi nyadran yang sekarang sudah mulai hilang dari penyajian makanan dalam tradisi nyadran. Dulu para kaum di desa setempat pasti akan memberikan keterangan secara filosofis aspek sajian yang ada di dalam kenduri. Misal ada ketan. Ketan itu berasal dari bahas Arab, khatha’an yang berarti menghindari dari sifat tercela, kemudian apem yang berasal dari kata affun atau afwan yang berarti memaafkan, kemudian ada lagi kolak, tumpeng, pisang raja, kemenyan dan bunga yang kesemuanya itu memiliki makna filosofisnya sendiri.
Sayangnya, sekarang para kaum yang menjelaskan hal itu sudah tidak ada lagi sehingga tradisi semacam demikian sudah menghilangkan dan kadang kendurinya digantikan dengan makanan yang bukan tradisi Nusantara dalam hal ini misalnya menggunakan tradisi arab islam dengan nasi kebuli misalnya. Bahkan kadang, ketika masih ada kaum, mereka rikuh dan tidak mau menjelaskan akibatnya ada seorang yang dari pesantren yang dianggap lebih mengetahui akan ilmu agama yang kadang mereka juga tidak memahami makna filosofis yang ada di dalam berbagai macam makanan kenduri. Hal ini menjadi dilematis sekaligus problematis di dalam ke-diri-ian umat Islam Jawa yang harus mempertahankan tradisi yang sudah diajarkan oleh para Wali Songo.
Bukan hanya hal itu, perlu dicatat bahwa dalam tradisi nyadran terdapat juga ajaran tasawuf atau sufisme yang melekat dalam setia tradisi keislaman Jawa, khsusunya nyadran. Pertama ada yang disebut dengan syauq (kerinduan) dalam hal ini adalah rindu yang bersumber dari hati yang merupakan buah cinta yang mendalam. Rindu yang dimaksud adalah cinta yang mendalam sebagai seorang pelaku nyadran harus bisa mencintai Tuhan, manusia, dan alam sebagai wujud hamba yang taat.
Taubat adalah unsur sufisme berikutnya yang ada di dalam nyadran. Ini sebagai tahap awal tempat pendakian orang yang mendaki maqam pertama bagi sang sufi. Melalui nyadran, masyarakat bisa sadar karena sudah introspeksi diri. Ketika melakukan proses nyadran masyarakat akan sadar ketika melakukan kegiatan nyarkub. Jika demikian akan berpotensi besar untuk melakukan taubat atas segala kesalahan yang pernah diperbuat. Kemudian ada zuhud, orang yang sudah bertaubat pasti akan melakukan maqamat berikutnya berupa zuhud. Dalam hal ini yang ditinggalkan adalah dunia secara batiniah karena dalam hal ini meninggalkan bukan berati tidak membutuhkan dunia.
Aspek yang lain adalah aspek al-Hikmah dan al-Iffah. Al-Hikmah berupakan aspek kearifan, sesuai dengan kearifan lokal di mana nyadran sendiri salah satu bentuk kearifan lokal. Sedangkan al-Iffah merupakan menjaga kesucian, meliputi kedermawanan, keteguhan hati, dan wara’. Aktualiasai al-Iffah termanifestasi dalam hablum minallah, hablum minalalam, dan hablum minannas. Bahkan yang lebih kompleks terdapat tasawuf sosial yang ada di dalam nyadran. Nyadran yang memiliki adiluhung, karena relasi antara manusia, leluhur, alam, dan Tuhan sebagai wujud laku tasawuf.
Sudah seyogyanya sebagai masyarakat Nusantara yang kaya akan tradisi dan kearifan lokal harus menjaga dan merawat tradisi yang sudah ada, lebih-lebih transisi yang ditorehkan oleh para Wali Songo. Sebagai masyarakat Jawa Islam sudah seharusnya kita bisa berasimilasi dengan kebudayaan yang datangnya dari luar. Karena tidak semua yang datangnya dari Barat itu buruk dan tidak semua yang datangnya dari Timur Islam (Arab) itu baik. Maka kita harus melakukan prinsip Jowo digowo, Arab digarap, dan Barat diruwat. Wallahhu a’lam.