Kiyai itu akan menjawab: “ikutilah perkataanku ini!”: “aku tobat kepada Allah SWT, aku kembali kepada-Nya, aku menyesali dosa yang telah aku lakukan, dan aku berjanji untuk tidak melakukan maksiat lagi selamanya, serta aku membebaskan diri dari seluruh agama selain agama Islam”.
Baca juga: 7 Keutamaan Bertobat dan Memperbanyak Istighfar
Dan ketika ia telah mengikuti ucapan kiyai itu dan pulang, ia menyangka bahwa ia telah selesai melakukan tobat!.
Syaikh Yusuf al Qardhawi dalam bukunya at Taubat Ila Allah yang diterjemahkan Abdul Hayyie al Kattani (1998) menyebut ini adalah bentuk kebodohan dua pihak sekaligus: kebodohan orang awam itu, serta sang kiyai juga. Karena tobat bukan sekadar ucapan dengan lidah saja, karena jika tobat hanya sekadar berbuat seperti itu, alangkah mudahnya tobat itu.
Tobat adalah perkara yang lebih besar dari itu, dan juga lebih dalam dan lebih sulit. Ungkapan lisan itu dituntut setelah ia mewujudkannya dalam tindakannya. Untuk kemudian ia mengakui dosanya dan meminta ampunan kepada Allah SWT.
Baca juga: Begini Cara Tobat Setelah Menuduh Orang Zina dan Ghibah
Sedangkan sekadar istighfar atau mengungkapkan tobat dengan lisan –tanpa janji dalam hati– itu adalah tobat para pendusta, seperti dikatakan oleh Dzun Nun al Mishri. Itulah yang dikatakan oleh Sayyidah Rabi’ah al ‘Adawiyah: “istighfar kita membutuhkan istighfar lagi!” Hingga sebagian mereka ada yang berkata: “aku beristighfar kepada Allah SWT dari ucapanku: ‘aku beristighfar kepada Allah SWT'”. Atau tobat yang hanya dengan lisan, tidak disertai dengan penyesalan dalam hati!
Sementara hakikat tobat adalah perbuatan akal, hati dan tubuh sekaligus. Dimulai dengan perbuatan akal, diikuti oleh perbuatan hati, dan menghasilkan perbuatan tubuh. Oleh karena itu, al Hasan berkata: “ia adalah penyesalan dengan hati, istighfar dengan lisan, meninggalkan perbuatan dosa dengan tubuh, dan berjanji untuk tidak akan mengerjakan perbuatan dosa itu lagi.”
Baca juga: Dukung Ustaz Adi Hidayat, Din Syamsuddin: Tukang Fitnah dan Buzzer Bertobatlah
(mhy)