Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Di tengah upaya saling bahu membahu antara Pemerintah, Ulama, Ilmuwan, dan kekuatan umat untuk menjaga jiwa manusia serta mendayagunakan segala kemampuan untuk meminamilisir kerusakan akibat pandemi Covid-19, selalu saja ada kelompok kecil yang suka menyimpang dari arus utama umat Islam sedunia.
Kelompok menyimpang Neo-Jabariyah “membajak” dalil-dalil agama agar umat mengambil sikap fatalistik dan tak perlu berikhtiar untuk kemaslahatan hidup dan kemanusiaan. Sementara kelompok menyimpang Ultra-Qadariyah dengan keangkuhan dan arogansi intelektualnya menyeru umat untuk menyatakan bahwa Covid-19 menunjukkan kelemahan Tuhan, bahkan lebih jauh lagi kesesatan mereka dengan mengatakan Tuhan tak pernah ada, hanya ilusi dan khayalan manusia.
Lain lagi irama teologis yang digemakan oleh kelompok menyimpang Neo-Khawarij. Di beberapa negara muslim umat dan ulama termasuk pemerintah dibuat kerepotan oleh pandangan menyimpang ini. Di Maroko, seorang Abu Nu’aim Al-Salafĩ menyatakan kebijakan menutup masjid sebagai upaya untuk melawan pandemi Covid-19 merupakan tindakan “riddah” (kemurtadan), dan menyatakan kekafiran bagi Pemerintah Maroko (https://www.alaraby.co.uk/).
Mesir tak luput dari serangan teologis semacam ini. Syekh Majda ‘Asyur, penasehat ilmiah dan akademik Grand Mufti, menyatakannya sebagai tindakan penyeru fitnah yang gemar mengkafirkan masyarakat, serta mengklaim kebenaran mutlak hanya milik mereka (https://www.shorouknews.com/).
Di Arab Saudi, Fatwa Dewan Ulama Senior (Hai’at Kibar al-‘Ulama) tentang penutupan masjid dan penghentian sementara aktivitas sholat Jum’at dan sholat berjamaah tak luput dari perlawanan oknum tertentu. Kerajaan mengambil sikap tegas dengan manangkap oknum tersebut (https://newsformy.com/news-39511.html)