Baca juga: Golongan Perempuan yang Wajib Bayar Fidyah Setelah Ramadhan
Mengutip tulisan ceramah Ustadz Abdul Halim Tri Hantoro, S.Pd.I, dikatakan bahwa sebab amal saleh yang dilakukan seorang hamba itu memang bisa saja tertolak karena tidak memenuhi syarat-syarat , rukun-rukun, sunah-sunah dan adab-adabnya. Atau bisa juga karena rusaknya hati dengan kerasukan virus riya’, sum’ah, ujub, dan lain sebagainya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
اِنَّ الَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ بِاٰيٰتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُوْنَ. وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَآ اٰتَوْا وَّقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ اَنَّهُمْ اِلٰى رَبِّهِمْ رٰجِعُوْنَ. اُولٰۤىِٕكَ يُسَارِعُوْنَ فِى الْخَيْرٰتِ وَهُمْ لَهَا سٰبِقُوْنَ
“Sungguh, orang-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 57-61)
Baca juga: Keutamaan Menafkahi Janda Menurut Ulama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan penjelasan akan ayat-ayat di atas dalam sabdanya. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ {الَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا أَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ} أَهُوَ الرَّجُلُ يَزْنِي وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ لَا يَا بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ أَوْ لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُ
“Wahai Rasulullah, firman Allah yang berbunyi ‘Dan orang-orang yang menginfakkan apa yang telah mereka infakkan, dengan hati yang takut’, apakah maksudnya adalah seseorang yang berzina, mencuri dan meminum khamr?”
Baca juga: Inilah Asal Mula Perayaan Idul Fitri
Maka beliau menjawab: “Tidak wahai putri Abu Bakar—atau tidak wahai putri Ash-Shiddiq, tapi maksud ayat itu adalah seseorang yang mengerjakan shaum, melaksanakan shalat dan mengeluarkan sedekah, namun ia khawatir jika amal kebaikannya tersebut tidak diterima Allah.” (HR. Ahmad, Sanad hadis ini dhaif)
Menurut Ustadz Abdul Halim Tri Hantoro, kesedihan melanda diri juga karena khawatir apakah mampu istiqamah dalam ketaatan saat Ramadhan telah berlalu. Apakah kita masih akan tetap konsisten dengan amalan sebagaimana yang kita lazimi di bulan Ramadhan?
Baca juga: Ada Potensi Kebocoran 1 Juta Pemudik, Ganjar Minta Bupati dan Wali Kota Siaga
Karena pemandangan yang kita lihat di sekeliling kita adalah banyak orang yang giat di bulan Ramadhan tapi kemudian bermalas-malasan saat Ramadhan telah selesai. Padahal para ulama menjelaskan kepada kita bahwasanya tanda diterimanya amal adalah konsistennya seseorang dalam amal tersebut,
إِنَّ مِنْ عَلاَمَةِ قَبُوْلِ الْحَسَنَةِ، الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا
“Sesungguhnya diantara alamat diterimanya kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.”
Baca juga: BKN Jamin Independensi dan Objektivitas Tes Pegawai KPK
Maka, waktu akhir Ramadhan adalah kesempatan untuk muhasabah diri. Mari kita koreksi kualitas amalan kita sejak hari pertama Ramadhan hingga detik ini. Bagaimana kondisi puasa kita? Bagaimana kondisi shalat lima waktu kita? Bagaimana kondisi sedekah kita? Bagaimana kondisi tilawah kita? Bagaimana kondisi qiyamul lail kita?
Mumpung masih tersisa beberapa hari, mari maksimalkan kesempatan ini untuk mendongkrak kualitas dan kuantitas amal ibadah kita. Sebab, kita tak akan pernah tahu kapan umur ini akan berakhir. Kita tak pernah tahu apakah tahun depan masih Allah beri kesempatan berjumpa dengan bulan Ramadhan. Hal yang pasti adalah waktu tidak akan pernah bisa kembali. Dan tak ada yang dapat kita lakukan ketika datang hari penyesalan.
Baca juga: Aliran Modal Asing Rp1,97 Triliun Mengguyur Indonesia dalam Sepekan
Wallahu A’lam
(wid)