Melecehkan Bahasa Indonesia melalui Kegiatan Literasi – – SastraMagz.com – Bagyanews.com
Connect with us

News

Melecehkan Bahasa Indonesia melalui Kegiatan Literasi – – SastraMagz.com

Published

on

Melecehkan Bahasa Indonesia melalui Kegiatan Literasi – – SastraMagz.com


Holy Adib *
Haluan, 26 Feb 2017

Salah satu cara melecehkan bahasa Indonesia melalui kegiatan literasi adalah menyelenggarakan acara literasi, seperti diskusi dan pameran buku, dengan menamai acara tersebut menggunakan bahasa Inggris.

Salah satu acara seperti itu sedang berlangsung di Sumatra Barat (Sumbar), yakni Minang Book Fair (MBF) 2017. MBF adalah pameran buku yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar, Yayasan Gemar Membaca Indonesia (Yagemi), dan Perpustakaan Nasional RI (PNRI) di Masjid Raya Sumbar pada 24 Februari sampai dengan 5 Maret. Mereka bukan hanya menamai acaranya dengan bahasa Inggris, melainkan juga susunan kegiatannya, seperti opening ceremony, talkshow buku, launching buku, roadshow buku Penerbit Diva, dan closing ceremony. Entah apa susahnya penyelenggaranya menggunakan upacara pembukaan, bincang-bincang atau gelar wicara buku, pertunjukan keliling atau safari keliling buku Penerbit Diva, dan upacara penutupan.

Saya tidak tahu apa yang dipikirkan oleh para penyelenggaranya sehingga membuat nama dan susunan acara berbahasa Inggris. Padahal, mereka adalah pemerintah dan yayasan yang mengaku gemar membaca. Pemerintah dan yayasan atau organisasi bidang literasi seharusnya mencontohkan sikap menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia (baca UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan).

Lagi pula, apa pentingnya membuat acara dan susunan kegiatannya dengan kata-kata bahasa Inggris seperti MBF itu kalau semua pesertanya adalah orang Indonesia? Siapa sasaran acara tersebut? Ini adalah hal mendasar yang perlu dijawab sebelum menggunakan bahasa asing. Apabila sasaran acara literasi adalah orang Indonesia, tidak ada satu pun alasan yang membenarkan acara tersebut dinamai dengan kata bahasa Inggris, kecuali jika penyelenggaranya mau disebut melecehkan bahasa Indonesia dan membangkang terhadap undang-undang.

Di Sumbar, hal itu dilakukan oleh pemerintah provinsinya. Pemprov Sumbar bukan pada MBF saja memperlihatkan kebanggaannya menggunakan bahasa Inggris pada kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan orang asing. Pada Mei 2016, Pemprov Sumbar meluncurkan program bernama Minang Mart. Minang Mart bukan hanya program, melainkan juga nama kedai yang tergabung dalam program itu. Artinya, kata bahasa Inggris, yakni mart, pada Minang Mart akan terus digunakan selama kedai itu ada. Akibatnya, kata mart akan terus disebut dan diingat masyarakat Sumbar, baik disengaja maupun tidak disengaja, dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, masyarakat Sumbar diajari secara tidak sadar untuk tidak menganggap asing kata bahasa Inggris. Masyarakat Sumbar juga “dihipnnotis” bahwa menggunakan bahasa Indonesia bukan sesuatu yang penting.

Sikap bangga menggunakan bahasa Inggris tampaknya menjadi bagian misi Pemprov Sumbar. Setelah Minang Mart dan Minang Book Fair, Pemprov Sumbar dan Yayasan Minang Bandung akan menyelenggarakan Minangpreneur Festival di Padang pada 22—23 April. Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno, menulis di akun Facebooknya, “Minangpreneur Festival: Kami memanggil jiwa start up dan entreprenur muda Minang untuk show up. Minangpreneur Festival adalah suatu rangkaian kegiatan yang diinisiasi Yayasan Minang Bandung Indonesia untuk melatih pengusaha muda Minang agar bisa lebih baik dalam berusaha.” Masyarakat tidak bisa diharapkan memiliki kebanggaan berbahasa Indonesia kalau gubernur dan pemprovnya memelopori penggunaan bahasa asing.

Mengenai sikap tidak menghargai bahasa Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah, bukan hanya Pemprov Sumbar yang melakukannya, melainkan juga Pemerintah Kota Padang yang membuat acara tahunan, yakni Padang Fair. Jakarta Fair saja sudah lama diganti menjadi Pekan Raya Jakarta, tetapi Pemerintah Kota Padang masih juga memakai nama Padang Fair. Padahal, sukses atau gagalnya sebuah kegiatan atau program tidak ditentukan oleh nama berbau bahasa Inggris, tetapi oleh pelaksanaannya.

Selain pemerintah di Sumbar, beberapa akademikus dan perguruan tinggi di provinsi ini juga berkontribusi mencontohkan sikap bangga memakai bahasa Inggris. Akademikus tersebut (tidak perlu saya sebutkan namanya di sini) adalah penggagas Minangkabau Business School and Entrepreneurship Center (MBS EC). MBS EC adalah sekolah yang bertujuan menghasilkan wirausaha muda mandiri yang mampu memanfaatkan potensi ekonomi dan bisnis Sumbar secara kreatif. Sekolah, yang namanya susah dilafalkan dan belum tentu dipahami artinya oleh orang awam, itu juga bekerja sama dengan pemerintah daerah (termasuk Pemprov Sumbar), kementerian, perusahaan, dan lembaga lain. Sementara itu, perguruan tinggi yang latah menggunakan bahasa Inggris di lingkungan kampusnya adalah Universitas Andalas (Unand) yang memiliki Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Unand membuat Minangkabau Corner di perpustakaan kampus tersebut pada 2015 sebagai pusat informasi tentang Minangkabau. Anehnya, pusat informasi tentang Prancis di lokasi yang sama dinamai Warung Prancis. Selain itu, Unand juga menamai gedung pertemuannya dengan kata bahasa Inggris, yakni Convention Hall. Hal yang sama dilakukan Universitas Putra Indonesia (perguruan tinggi swasta di Padang) yang menamai gedung pertemuannya dengan UPI Convention Center.

Sebagian penulis atau pegiat literasi di Sumbar juga gemar dan bangga berbahasa Inggris. Bila ada peluncuran buku atau peluncuran kegiatan literasi, acaranya dinamai dengan kata launching, misalnya launching buku anu, launching kegiatan anu. Penulis dan pegiat literasi tersebut seharusnya menyadari bahwa mereka bukan kucing kurap, melainkan pelopor pemakaian bahasa Indonesia.

Simpulan tulisan ini adalah bahwa sikap tidak menghargai bahasa Indonesia di Sumbar, termasuk di dunia literasi, dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya mencontohkan kebanggaan memakai bahasa Indonesia, seperti pemerintah daerah, perguruan tinggi, yayasan/organisasi bidang literasi, akademisi, dan penulis. Maka, tidak mengherankan apabila masyarakat umum latah menggunakan bahasa Inggris beserta hukumnya (hukum menerangkan-diterangkan) dalam menamai acara, program, dan merek dagang.

Saya ingatkan melalui tulisan ini bahwa hal paling utama yang harus diluruskan terlebih dahulu dalam dunia literasi Indonesia ialah menjunjung bahasa Indonesia. Kalau hal itu tidak dilakukan oleh pegiat literasi, tetapi malah gemar menggunakan bahasa asing, tidak perlu berkoar-koar dan sok memperjuangkan dunia literasi Indonesia karena hal itu adalah penghinaan terhadap dunia literasi Indonesia.

Mengenai orang-orang yang gemar menggunakan kosakata Inggris kepada sasaran komunikasi yang merupakan orang Indonesia, saya kira mereka mengidap xenomania bidang bahasa. Xenomania adalah kesukaan yang berlebihan terhadap segala sesuatu yang asing (berasal dari luar negeri). Bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional dan bahasa paling populer di dunia adalah bahasa asing yang sering digunakan oleh penutur bahasa Indonesia. Jadi, pengidap penyakit xenomania bidang bahasa tersebut mungkin ingin mencitrakan dirinya sebagai orang intelektual, dianggap keren, atau apa pun yang berkaitan dengan sesuatu yang dapat menimbulkan kebanggaan diri. Padahal, yang mereka lakukan tersebut adalah hal yang memalukan dan kampungan.

Sebagai penutup tulisan ini, saya kutip status Facebook Saut Situmorang (sastrawan Indonesia) pada 13 Februari: Bahasa Indonesia adalah harga diri terakhir bangsa (Indonesia) yang tersisa setelah yang lainnya rusak dan jatuh ke comberan dekadensi moral dan intelektual. Ayo kita jaga.
***

*) Wartawan, tinggal di Padang.



Sumber Berita

Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2021 BagyaNews.com. . All Rights Reserved