Para teolog cenderung beranggapan bahwa interpretasi Al-Qur’an hanya bisa diterima jika sejalan dengan cara agama konvensional. Sementara para ahli sejarah cenderung mencari sastra atau sumber-sumber agama zaman dulu dalam Al-Qur’an; selain itu juga sebagai bukti peristiwa-peristiwa kontemporer yang direfleksikan dalam tiap-tiap halaman.
Baca juga: Begini Adab Orang yang Berpuasa dan Tingkatan Puasa Menurut Para Sufi
Bagi Sufi, kata Idires Shah lagi, Al-Qur’an merupakan suatu dokumen yang disampaikan melalui tradisi riwayat, ayat yang disampaikan memiliki makna yang sesuai dengan kapasitas pemahaman pembacanya.
“Sikap terhadap Al-Qur’an seperti inilah yang memungkinkan orang dapat memahaminya, baik yang berlatar belakang Kristen , Pagan atau Yahudi –suatu pengertian yang tidak bisa diterima kalangan ortodoks. Oleh sebab itu, Al-Qur’an pada dasarnya adalah dokumen yang memiliki kandungan psikologis,” tulisnya.
Surat al-Ikhlash adalah contoh terbaik tentang kapasitas sintesis kitab ini:
Katakanlah, hai Rasul, kepada orang-orang itu,
“Allah itu Esa! Allah Mahakekal!
Tidak beranak dan tak diperanakkan,
dan tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.”
Bagi kalangan Muslim yang saleh, ayat ini merupakan pernyataan dasar keimanan. Allah adalah Tuhan dan tiada yang menyerupai-Nya, Dia kekal abadi.
Baca juga: Canda Ala Sufi: Anggur Berumur 40 Tahun
Menurut Idries Shah, para komentator kaum Kristiani beranggapan bahwa ayat tersebut menjadi serangan langsung atas doktrin ketuhanan agama Kristen, sehingga mereka menanggapi ayat tersebut dengan sangat sengit. Ayat tersebut merupakan salah satu yang paling banyak dikutip oleh jutaan kaum Muslimin dalam bacaan salat tiap hari.
Berdasarkan dari sudut pandang ini, ayat tersebut cenderung menggambarkan suatu garis pembatas antara orang-orang beriman dengan orang kafir.
Kaum Muslim bisa menggunakan ayat tersebut untuk menentang kaum Kristiani yang dianggap telah menyelewengkan prinsip monotheisme.
Sedangkan kaum Kristiani beranggapan bahwa ayat tersebut menentang konsep Trinitas (keyakinan utamanya).
“Situasi yang demikian ini bagaimanapun hanya terjadi di suatu iklim psikologis tertentu –yakni suatu perbedaan antara dua kelompok yang selama Abad Pertengahan berupaya memperoleh kekuasaan dengan cara-cara pada waktu itu,” jelas Idies Shah.
Bila kita menerima asumsi-asumsi ini, maka kita terlibat dalam konflik itu, dan menurut Sufi, tidak ada harapan bagi orang-orang yang memilih suatu konflik dalam keadaan psikologis ini.
Menurut Idries Shah, interpretasi terhadap Surat al-Ikhlash tersebut tidak pernah diterima oleh para Sufi. Di samping itu, Sufi merasa mampu menafsirkan arti sebenarnya dari ayat itu, oleh karena itu kita menemukan suatu jembatan antara pemikiran biasa dan juga suatu maksud yang tepat dari ayat itu dengan merujuk pada pendapat al-Ghazali .
Baca juga: Hal-Hal yang Harus Dikerjakan Dalam Perkawinan Menurut Imam Ghazali
Al-Ghazali menyatakan bahwa seperti semua Surat dalam kitab Al-Qur’an, kitab ini tidak bisa direduksi seperti kitab-kitab yang lain dengan asumsi bahwa ia mempunyai makna tunggal dan sederhana bagi pemikir biasa. Keesaan itu tidak mempunyai makna sederhana, tunggal dan semata-mata superfisial. Dampaknya bergantung pada pemahaman dan pengalamannya, sebagaimana dampak ritme puisi.
Ia merujuk pada konteks ayat ketika ia diwahyukan. Ayat itu merupakan jawaban yang ditujukan kepada orang-orang Arab Badui yang mendatangi Nabi Muhammad SAW dengan maksud ingin bertanya, “Apakah boleh kita membandingkan Allah?” Bukan ditujukan semata kepada orang Kristiani ataupun orang Muslim.