Baca juga: Renungan: Meraih Suksesi, Belajar dari Pohon Jati
Salah seorang bijak di antara mereka menyarankan, “pergilah ke masjid dan dengarkan kultum agar ada kesejukan pada hati kita”.
Lalu mereka jawab: “Masjid terlalu berisik. Orang-orang salat, bak senam. Buru-buru seperti diburu peluru. Salat tarawih sudah menjadi ajang menekuk-nekuk pinggang. Kultum hanya sekadar basa-basi. Tujuh menit hanya sebagai panggung cas cis cus..”
Mengapa mereka begitu pemarah dan sulit menerima keadaan sekitar. Terhadap bos, mereka protes, terhadap jamaah masjid mereka menggerutu seakan mereka paling benar sendiri di dunia ini.
Si bijak di antara mereka tersenyum mendengar gerutuan rekan-rekannya itu. Dia lalu bercerita tentang masa lalunya di kampung halaman. Dia bicara tenbang burung.
Baca juga: Renungan: Mengupas Keburukan, Belajar dari Kisah Kaki Merak
Ya, di dalam hutan, di kampung halamannya, ia seringkali mendengar suara tok tok tok.. bertalu-talu. Itu adalah suara pohon yang sedang dipatuk burung pelatuk .
Burung jenis ini memiliki kaki zigodaktil, dengan dua jari kaki mengarah ke depan, dan dua lainnya ke belakang. Kaki-kaki itu, meski beradaptasi untuk berpegangan di permukaan vertikal, bisa digunakan untuk menggenggam atau bertengger. Beberapa spesies bahkan hanya memiliki tiga jari kaki.
Burung ini menyadap dan mematuk batang pohon dengan paruhnya. Begitulah cara burung pelatuk mencari dan menemukan larva serangga di bawah kulit kayu.
Mula-mula, burung pelatuk mencari terowongan dengan menyadap batang. Begitu terowongan itu ditemukan, burung pelatuk memahat kayu sampai menciptakan pembukaan ke terowongan.
Kecepatan burung pelatuk mengebor sebuah pohon kurang lebih mencapai 40 km/jam. Satu kecepatan luar biasa yang dapat mencederai dirinya. Sekalipun begitu, terdapat sebuah sistem penguncian istimewa pada paruh pelatuk sehingga paruh tersebut tidak terluka.
Jika sistem yang istimewa ini tidak ada, paruh burung pelatuk akan terbelah dua karena kecepatan tinggi saat mematuk.
Baca juga: Renungan: Ramadhan Semoga Saja Tanpa Luka Amarah
Selain itu, dampak dari patukan yang cepat itu akan langsung mengenai otak, sehingga burung akan kehilangan kesadaran. Namun, hal semacam itu tidak pernah terjadi karena Allah menciptakan burung sekaligus dengan kebutuhannya.
Otak burung pelatuk ditempatkan pada ketinggian yang sama dengan paruh burung. Otot-otot paruh bagian bawah bertindak seperti “peredam goncangan” dan mengurangi goncangan yang terjadi ketika burung pelatuk mengebor pohon.
Tidak seperti burung lainnya, burung pelatuk dapat berjalan lurus ke atas pohon. Ia dapat berjalan dari atas atau dari bawah, ke satu sisi atau berputar-putar.
Sedangkan kita jika ingin memanjat pohon, kita harus merangkul pohon dan harus berpegang erat-erat.
Burung pelatuk dapat berjalan tegak, hampir tidak menyentuh kulit. Jika burung pelatuk harus memeluk pohon, ia tidak akan bisa mematuk dan takkan memperoleh makanan dalam kayu. Tidak ada burung lain yang mampu melakukan pekerjaan, seperti burung pelatuk.