Baca juga: Begini Kaitan Ilmu Falak dalam Penentuan Awal Waktu Sholat
Buya HAMKA dan Kiai Idham secara bergantian mengimami salat di Kapal dalam perjalanan tersebut. Menariknya, keduanya tidak menjalankan tradisi ibadah masing-masing. Bagi kalangan Nahdliyin, qunut diyakini sebagai sunnah haiat dalam salat Subuh. Pasalnya, mayoritas warga NU, termasuk Kiai Idham, merupakan penganut mazhab Syafi’i .
Sebagaimana diketahui, Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i dan ulama yang mengikuti pendapatnya berpandangan bahwa qunut bukan sekadar sunnah biasa, melainkan sangat dianjurkan. Bahkan, kalau ditinggal atau tertinggal, sengaja ataupun lupa, maka disunnahkan sujud sahwi bagi orang tersebut.
Sebaliknya, kalangan Muhammadiyah tidak memandang qunut sebagai suatu sunnah dalam salat Subuh. Artinya, mereka pada umumnya tidak melakukannya dalam salat dua rakaat di waktu pagi itu.
Namun, Subuh di kapal itu berbeda. Kiai Idham yang notabene tumbuh sejak kecil dalam lingkungan yang melakukan qunut, secara sengaja tidak melakukannya.
Pun Buya Hamka. Saat didapuk menjadi imam, ketua pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu justru tanpa ragu membaca doa qunut.
Baca juga: Isra Miraj (7): Naik ke Sidratul Muntaha Bertemu Allah dan Mendapat Keringanan Sholat
Kedua ulama itu tidak lain menerapkan akhlakul karimah. Mereka saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Tidak ada ‘perang dalil’ yang menuntut keabsahan, menilai diri paling benar dan menuduh pandangan orang lain yang berbeda salah.