Di lain waktu, Rasulullah kemudian mengizinkan salah seorang sahabat-dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah-untuk menziarahi makam ibundanya. Di kalangan ulama, masalah hukum ziarah kubur ini, dengan merujuk berbagai sumber, membuahkan perdebatan dan pertentangan mengenai hukumnya hingga sekarang.
Di Indonesia sendiri, ziarah sudah menjadi suatu jenis tradisi yang agaknya sangat sulit dilepaskan dari budaya kehidupan masyarakat Indonesia. Tradisi ini bahkan telah ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anaknya sejak masih terbilang kanak-kanak.
Biasanya, makam yang pertama-tama diziarahi ialah makam orang tua atau keluarga. Ini dilakukan dengan membaca surah Al-Fatihah, Yasin, dan lain-lain sambil mengirimkan sepucuk doa agar yang telah meninggal dapat diampuni dosa-dosanya dan dilapangkan kuburnya.
Selain dari orang tua dan keluarga tersayang, makam ulama dan tokoh agama adalah objek ziarah yang paling utama untuk dikunjungi. Di sini bisa lebih luas lagi. Peziarah akan membaca sepotong dua potong surah dalam Al-Quran kemudian menitipkan beberapa doa dan hajat yang dalam istilah lain disebut dengan Tawassul.
Terlepas dari berbagai problem pertentangan mengenai hukum, konten, dan tata caranya, ada hal yang sebenarnya lebih penting dan esensial dari sekadar ziarah ke makam ulama. Yakni ialah sisi historisitas dan personalitas dari sosok ulama yang makamnya diziarahi.
Ulama yang makamnya menjadi tujuan peziarah, tentunya semasa hidup adalah orang saleh nan karismatik serta memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat muslim. Ulama ini juga pastinya adalah seorang penuntut ilmu yang gigih dan memiliki kualitas adab dan akhlak yang tinggi. Sehingga orang-orang yang masih hidup pada saat ia wafat, menguburkannya pada tempat yang paling baik dengan makam yang megah.
Inilah yang kemudian seharusnya dijadikan oleh para peziarah sebagai media motivasi dan cerminan dalam belajar dan beribadah. Bagaimana agar para peziarah dapat tertanam dalam dirinya semacam perasaan gairah untuk berusaha mengikuti jejak langkah sang ulama.
Untuk itu, sebelum berziarah, setiap orang seharusnya tidak hanya melakukan persiapan materiil dan spiritual. Perjalanannya menuju makam tersebut harus dibarengi oleh persiapan pengetahuan mengenai siapa orang yang akan diziarahi, bagaimana kehidupannya, apa jasa dan karyanya, dan seperti apa pengaruhnya dalam masyarakat semasa ia hidup.
Sangat disayangkan, ketika saya berkunjung ke salah satu makam yang diyakini sebagai makam Syeikh Abdurauf As-Singkili di desa Kilangan, Aceh Singkil, tempat ini hanya menjadi objek ziarah semata oleh kaum spiritual dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Padahal, ulama yang satu ini karya-karyanya telah dikenal hingga ke luar negeri. Di antaranya ialah Kitab Tarjuman Al-Mustafid yang dianggap sebagai kitab tafsir berbahasa melayu pertama di dunia. Semasa hidupnya ia melakukan pengembaraan menuntut ilmu hingga ke banyak negara.
Hal yang sama juga terjadi dengan makam Syekh Hamzah Fansuri di desa Oboh, Aceh Singkil. Saya menyayangkan bagaimana sikap masyarakat setempat dan juga peziarah yang hanya memandangnya sebagai tokoh agama dan spiritual semata. Semasa hidupnya Syekh Hamzah Fansuri adalah tokoh sufistik yang punya peran besar dalam mengembangkan tradisi suluk dan tarekat di Indonesia. Pikiran sufistiknya bahkan dijadikan Tesis oleh SMN Al-Attas bertajuk The Mysticm of Hamza Fansuri. Ia juga merupakan sastrawan yang oleh A. Teeuw disebut sebagai Sang Pemula Puisi Indonesia.
Jika seorang peziarah membaca dan mencari tahu sedikit saja mengenai orang yang akan ia ziarahi makamnya, sudah barang tentu akan muncul suatu rasa tergugah untuk dapat mengikuti jejak sang ulama tersebut. Baik dalam hal spiritual, sosial, maupun intelektual. Inilah yang agaknya disebut sebagai pencarian berkah atau Tabarruk. Yakni melanggengkan kebaikan pada diri. Seperti itu.
Wallahu A’lam