TORONTO – Bulan Ramadan menjadi kesempatan bagi Dhafa meningkatkan ketakwaan sekaligus menyiarkan agama Islam kepada teman-teman kuliahnya. Mahasiswa asal Bali yang bernama lengkap Dhafa Ayatullah Anam ini sudah hampir empat tahun menuntut ilmu di Toronto, Kanada.
Menurut Dhafa, tidak ada kendala dalam beribadah sejak tiba di Toronto pada Januari 2019 silam, karena di kampusnya disediakan ruangan untuk salat.
Baca juga: Imam Masjid di Turki Ajak Anak-anak Bermain Usai Tarawih
Di dekat tempat tinggalnya di kawasan Scarborough juga ada masjid milik komunitas Srilanka. Hanya di pekan pertama Ramadan saja ia merasa sedikit kendala, karena padatnya jadwal kuliah dan harus beradaptasi dengan durasi puasa yang lebih lama dibandingkan di Tanah Air, yakni mencapai 16 jam.
Baca juga: Ramadhan dan Jumat Agung Harus Jadi Momen Membuang Arogansi Beragama
“Setelah berdiskusi dengan ayah di Bali dan merujuk fatwa-fatwa ulama Indonesia dan Amerika Utara, saya berpuasa sebagai musafir. Ada dua pilihan untuk waktu tidak normal, ikut durasi Indonesia atau satu daerah yang sebujur dengan Toronto. Saya pilih yang pertama. Tetapi hanya sepekan saja, setelah itu saya ikut durasi di sini (Kanada),” papar pemuda asal Dauh Puri Klod, Denpasar, Bali, ini, kepada KORAN SINDO, baru-baru ini.
Baca juga: Masjid Cambridge Inggris Gelar Buka Puasa Bersama, Undang Pembicara Kristen dan Yahudi
Pemuda berusia 22 tahun yang mengambil jurusan Robotic Automotion Engineering di Centennial Collage ini menuturkan, saat itu belum terjadi wabah Covid-19 sehingga aktivitas masyarakat masih normal.
Dia selalu salat tarawih dan buka puasa di masjid di dekat kediamannya. “Lumayan menghematlah,” ujarnya seraya tertawa.
Namun karena musim panas, jadwal salat terus mundur dan salat tarawih digelar hingga mendekati tengah malam, dan ia pun melaksanakannya di rumah.
Seiring dengan itu, ia mulai bekerja part-time di satu restoran di Toronto. “Tahun pertama puasa saya bolong-bolong juga karena masih adaptasi dan bekerja. Tetapi bila mulai kerja pukul 06.00 sore saya bisa puasa,” imbuh dia.
Saat berpuasa, Dhafa tetap bergaul dengan teman-teman kuliahnya yang nonmuslim. Terkadang seusai kuliah ia diajak nongkrong di restoran untuk ngobrol sembari makan siang.
Dia ikut saja, tetapi tidak menyentuh makanan di meja sehingga sang teman bertanya-tanya.
“Awalnya mereka heran melihat saya tidak makan dan minum. Tetapi setelah saya jelaskan, mereka mengerti dan memahaminya. Bahkan ada yang bertanya lebih jauh tentang Islam,” tutur pria yang menyelesaikan SMA-nya di Sunway Collage Subang Jaya Malaysia tersebut.
Keadaan berubah total pada masa pandemi. Tidak ada lagi aktivitas di tempat umum, termasuk masjid yang dibatasi operasionalnya.
Namun, kini sudah berangsur normal. Ramadan tahun ini, salat lima waktu sudah bisa digelar di masjid, juga tarawih.
Sejak menetap di Kanada, putra dari pasangan Choirul Anam dan Seska Mutiara, yang berasal dari Sidoarjo dan Banyuwangi, Jawa Timur ini, merasakan kerinduan dengan kemeriahan Ramadan di Indonesia ataupun di Malaysia.
Begitu masuk bulan suci, suasana sontak berubah, malam banyak kegiatan tadarus, kegiatan pengajian di siang hari di masjid-masjid digelar setiap hari dan banyak bazaar yang menjual takjil. “Di sini paling hanya buka puasa bersama,” tukasnya.
Soal makanan, Dhafa merasa cocok-cocok saja dengan menu iftar yang disajikan masjid komunitas Srilanka, tempat ia sering berbuka puasa.